Politik Uang, Haram atau Maklum?

0

Oleh: Noorhalis Majid

ENTAH pesimis atas kemampuan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dalam mengawasi politik uang hingga Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja, menaruh harapan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI).

WADAH besar ormas umat Islam yang diisi para ulama dan cendikia itu diminta Bawaslu RI agar menyosialisasikan kembali fatwa Haram politik uang di tengah-tengah masyarakat.

Benarkah politik uang terjadi karena masyarakat tidak tahu bahwa hal tersebut hukumnya haram? Atau sebaliknya, karena paham sifat fatwa tidak mengikat, menganggap masih terbuka ruang perbedaan pendapat, boleh mengatakan haram, boleh pula memakluminya dengan berbagai alasan?

Tidak dapat dipungkiri, masih ada perbedaan pendapat dan penyikapan. Padahal, ketua MUI waktu itu, terang benderang mengatakan apa yang dimaksud politik uang, termasuk di dalamnya mahar politik dan memberi imbalan dalam bentuk dan nama apapun.

BACA : Politik Uang Sama Saja Merendahkan Martabat Manusia

Sisi lainnya betul bahwa fatwa tersebut belum tersosialisasi secara masif. Masih banyak yang tidak tahu ada fatwa terkait politik uang, padahal sudah ditetapkan sejak 2018. Melihat dampaknya yang begitu buruk, tentu mayoritas sepakat terhadap substansi fatwa haram politik uang, apalagi fatwa tersebut hasil Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI dengan melibatkan 34 MUI seluruh Indonesia.

Tentu pencegahan politik uang, bukan hanya tanggung jawab Bawaslu. Sehingga harapan yang disampaikan ketua Bawaslu, pasti dalam rangka mengajak semua pihak bertanggungjawab – berpartisipasi, agar tidak terjadi, atau setidaknya tidak masif terjadi.

Maruah pemilu hancur karena praktik politik uang dan hasilnya tidak refresentatif. Sebab politik uang mengabaikan kapasitas, rekam jejak, bahkan mengangkangi kejujuran dan integritas.

BACA JUGA : Hadapi Politik Uang di Pemilu 2024, Akademisi ULM Sarankan Bawaslu Bisa Dekati Ulama

Keliru bila memaklumi politik uang. Apapun alasannya, termasuk sebab “kemiskinan”, “krisis ekonomi”, sehingga memanipulasi politik uang dalam berbagai bentuk seperti hibah, hadiah, sumbangan, pasar super murah, cinderamata, bahkan zakat, infak, sedekah – padahal sudah jelas ada keterkaitan dan kepentingannya dengan politik, maka menurut fatwa ini hukumnya haram. Memakluminya, justru merendahkan martabat dan harga diri warga.

Di lain sisi, ada yang beranggapan jika politik itu sebenarnya mengemas dusta atau karamput dalam bahasa Banjar. Hal ini terekam secara tidak sengaja, di sebuah warung kecil di sudut jalan, dalam satu obrolan santai, kami menggali pendapat umum, kenapa tingkat kepercayaan terhadap apapun yang disebut “politik”, baik terimplementasi dalam bentuk institusi, maupun orangnya yang disebut politisi, mengalami krisis kepercayaan yang begitu dalam? Jawabanya secara simpel, karena “politik” identik dengan “karamput” yaitu kebohongan.

BACA JUGA : Bukan Menakuti Masyarakat, Pakar Hukum ULM Sebut Politik Uang Sumbernya dari Peserta Pilkada

“Janji politik”, “dipolitikinya” atau ungkapan yang lebih sinis “cah politik”, semuanya dipersepsi sebagai kebohongan. Lalu meluncurlah segala data dan fakta oleh orang-orang yang duduk di warung itu, dan kami menikmati ceritanya dengan segelas kopi.

Mungkin benar, bahwa politisinya sering kali memang tidak jujur. Sibuk membangun citra – klaim sana, klaim sini. Sudah tahu bahwa politik dalam lembaga legislatif merupakan keputusan kolektif, tetap saja mengaku seolah perjuangan sendiri.

Semua paham, politik itu pertarungan kepentingan, arena perjuangan tentang apa yang dianggap “penting”, namun pada ujungnya, diputuskan dan dipertanggunjawabkan secara kolektif. Bila bermasalah, ditanggung bersama. Tapi tetap saja seakan buah perjuangan sendiri. Muncullah ke-akuan, “kapiragahan”, merasa karya pribadi yang tidak melibatkan peran dan pendapat orang lain.

BACA JUGA : Itjima Ulama ke-6 Hasilkan 25 Fatwa, Politik Uang Haram dan Definisi Perzinahan Diperluas

Lebih parah lagi, ide, gagasan serta karyanya seratus persen orang lain, namun karena pandai mengolah kata, tanpa malu “bakaramput”, mengakui sebagai perjuangan sendiri. Segala bentuk praktik kebohongan, termasuk “ingkar janji, janji palsu” dan segala macam yang disandarkan pada politik, akhirnya menumpuk, menyebabkan krisis kepercayaan pada apa yang disebut “politik”.

Kenapa tidak jujur saja? Katakan soal peluang dan keterbatasan kewenangan. Ceritakan langkah dan perjuangan yang sudah dilakukan, dan kabarkan capaian serta keberhasilannya. Sekecil apapun capaian, apresiasi sebagai bentuk keberhasilan yang harus terus diperjuangkan.

Mestinya, berpolitik itu santuy – apa adanya, tidak perlu berlebihan, tidak penting mengaku diri paling segalanya, sampai mengemas “karamput” sedemikian rupa.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Staf Senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.