Menepis Politik Ketakutan dan Perangkap Ruang Gema

0

Oleh: Noorhalis Majid

“BANYAK orang baik yang terjun ke politik, tidak berani berterus terang. Takut berkabar kepada tetangga, kawan, handai tolan, kerabat jauh, dan semua kenalan. Khawatir reaksinya berbeda, atau mengganggu hubungan yang selama ini sudah sangat baik,”

DEMIKIAN kata kawan pengajar ilmu politik di sebuah perguruan tinggi. “Apapun reaksinya, berterus terang itu penting. Jangan pedulikan respon orang yang mungkin senang – optimistis, atau sinis – pesimistis. Jalan saja, kalau itu memang sudah keputusan. Karena untuk mengubah kebijakan agar berpihak pada warga, salah satu jalannya adalah politik’, lanjut kawan tadi.

Memang, sering kali ada pertanyaan yang menakutkan. Terutama terkait logistik. Berapa dana yang disiapkan?  Bahkan ada ulasan, sekaligus kesaksian, untuk menjadi caleg DPRD Kabupaten/Kota, minimal perlu dana Rp 500 juta. DPRD Provinsi minimal Rp 1 miliar. Dan DPR RI mesti ada dana minimal Rp 3 miliar. Yang tidak memiliki dana dan bermental rapuh, seketika ciut dengan kesaksian tersebut.

BACA : Politik; Ketika Ada Kamuflasi dan Dewan Kecolongan

Padahal, kesaksian itu mengandung hinaan kepada warga pemilih. Seolah semua memilih berdasarkan duit, dan berlaku rezim duittokrasi. Lupa bahwa sudah banyak warga yang tercerahkan, pemilih sudah didominasi generasi milenial dan generasi Z, yang karena idealismenya, tidak mudah tergoda uang. Belum lagi idealisme penyelenggara, terutama Bawaslu yang semakin serius, karena disoroti pemantau, saksi, media massa dan tentu masyarakat dengan kekuatan media sosial.

Takut berterus terang, bahwa modal paling susbstansial yang dimiliki adalah integritas, janji berlaku jujur, komitmen pada kinerja, setia pada norma – didasari jejak rekam dengan segala prestasi. Semua itu kalau dikonversi dengan materi, pasti lebih mahal dari apapun, bahkan lebih dari Rp 3 miliar. Tepis politik ketakutan. Jangan sungkan berkabar, memberi tahu dan jangan lupa bangun konsolidasi, agar semua orang baik bisa terpilih.

Politik, Perangkap Ruang Gema

Bagaimana mungkin mencerdaskan pemilih, kalau media sosial (medsos) memupuk dan menumpuk bias konfirmasi, sebab fungsi dasarnya memang menghubungkan kelompok pengguna yang berpikiran sama berdasarkan preferensi konten bersama. Begitu kata seorang kawan pengamat media sosial.

BACA JUGA : Politik Dinasti dan Berharap Demokrasi dari Kalangan Anak Muda

Ditambah kecenderungan pemilih yang suka menutup diri, hanya senang mendengar sesuatu yang sudah sepemikiran. Kalau tidak cocok dengan pemikirannya, walau pun benar akan ditolak, sehingga yang diterima hanya yang memperteguh pemikiran, itulah yang disebut ruang gema.

Ruang gema ini terutama berlaku pada media sosial. Ketika seseorang menemui pengalaman media yang bias, akan menghilangkan sudut pandang berlawanan dan suara berbeda. Seperti gema suara di ruang tertutup, suara memantul berulang-ulang. Pikiran yang berulang memperkuat pandangan, lalu mengental dan ekstrim, sulit diubah.

BACA JUGA : Terdata 58,38 Persen, Pemilih Milenial dan Generasi Z Dominasi DPT Pemilu 2024 Kalsel

Hoaks dan media yang tidak jelas keakuratannya, dianggap sebagai kebenaran, karena sesuai dengan suara yang bergema. Sebagaimana pendapat Paul Joseph Goebbels, Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Nazi, yang mengatakan satu kalimat sangat terkenal, ‘kebohongan yang diulang-ulang, membuat publik percaya bahwa kebohongan tersebut menjadi kebenaran’.

Sistem yang berlaku di internet, ketika mencari sebuah berita, akan terus di-link ke berita sejenis, membuat terjebak di ruang gema dan tidak menyadari hal tersebut terjadi.

BACA JUGA : Demokrasi Liberal, Ongkos Politik Mahal dan Perilaku Zombie

Kondisinya semakin parah, karena saat ini memasuki era post truth, sebuah kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal, sehingga hoaks semakin subur.

Maka untuk dapat mencerdaskan pemilih, cara strategis dengan menghujani media sosial informasi yang menyejukkan dan mencerdaskan. Tugas itu mesti dilakukan penyelenggara Pemilu dan partai politik (parpol). Syaratnya, pemilih mesti mau membuka diri, membaca berbagai informasi, walau hal tersebut berbeda selera dan pemikiran.

Politik harus cerdas, jangan ‘ragap papan’, sehingga tidak terperangkap ruang gema – yang suaranya memantul, berulang mengabarkan kebohongan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Forum Ambin Demokrasi

Pembina Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.