Antara Diksi Mehual dan Kritik Membangun

0

Oleh : H Dudung A Sani, SH, M.Ag

DISKI hual atau mahual atau dalam bahasa pergaulan di masyarakat Banjar Kalimantan Selatan menjadi mehual kian mengemuka di tengah perbincangan di jejaring media sosial khususnya chat di WA.

BERDASARKAN arti dalam Kamus Bahasa Banjar dari laman Webonary.org maupun Kamus Bahasa Banjar-Indonesia, hual bisa berarti masalah, bertengkar, bersusah payah atau pertanyaan atau sebuah perlawanan, pertentangan maupun kontradiksi. Sebab, dari kata dasar hual bisa menjadi kata kerja lainnya seperti bahual, dihual, mahual, dan tahual yang mengandung makna sebuah perkataan atau perbuatan tidak setuju atau adanya pertentangan dari pihak yang pro maupun kontra.

Nah, mehual kini menjadi kata dalam bahasa Banjar yang dilontarkan tokoh aktivis senior Banua dan mantan anggota DPRD Kalimantan Selatan, Anang Rosadi Adenansi dalam video pendeknya terkait beberapa proyek yang dianggapnya tidak sesuai harapan atau ekspektasi.

Sebut saja, soal bangunan dermaga atau jembatan apung di bawah Jembatan Dewi yang menghubungkan kawasan Siring Patung Bekantan dengan Kampung Ketupat, Sungai Baru, Banjarmasin yang menelan dana Rp 4,5 miliar bersumber dari APBD tahun anggaran 2022 lalu.

BACA : Rencana Bangun JPO Berbiaya Mahal Versus Terpenuhnya Hak Publik

Masalah mehual itu pun mengemuka soal rencana lawas membangun jembatan penyeberangan orang (JPO). Dari rencana awal, ada lima titik JPO yang akan dibangun di Jalan A Yani Banjarmasin dengan tiga titik, Jalan Pangeran Samudera dan Jalan Brigjen H Hasan Basry, Kayutangi, Banjarmasin. Lagi-lagi, soal urgensi dan kemanfaatannya yang menjadi sorotan banyak kalangan.

Sebagai masyarakat asli daerah (Kalsel) tentu butuh kepedulian terhadap Banua. Hal itu menjadi sesuatu sangat wajar dan layak. Sebab, kritik yang dilontarkan bukan untuk kepentingan pribadi tetapi untuk kemajuan dan perkembangan daerah sebagai warisan amanah leluhur nenek moyang kita. Jelas, menjadi hal yang wajib dijaga dan dilestarikan sehingga sebagai masyarakat daerah tak bisa menutup mata dan menutup telinga terhadap kekeliruan dan kejanggalan yang dilakukan oleh para penguasa atau pejabat daerah, utamanya lagi para pengampu kebijakan.

BACA JUGA : Demokasi dan Kepedulian ‘Mahual’

Dengan demikian, kritik membangun itu adalah bentuk kepedulian terhadap penyelenggara pemerintahan di daerah agar berjalan sesuai aturan, bukan sebagai bentuk protes atau mahual atas program kerja pemerintah tetapi sebagai bentuk aspirasi masyarakat.

Jelas, pada prinsipnya masyarakat berkeinginan agar daerahnya maju dan pesat berkembang terutama dalam segi infrastruktur, sosial ekonomi kebudayaan dan pemerintahan, pemanfaatan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM). Semua itu harus dapat dipertanggungjawabkan menurut aturan perundang- undangan yang berlaku.

BACA JUGA : Hampir Habis Masa Jabatan, Anang Rosadi : Dewan Harus Tinggalkan Jejak Yang Baik, Jangan Dapat Gelar ‘JPO’

Jelas, salah kaprah kalau pejabat daerah atau pemimpin daerah justru menganggap kritik membangun itu bagian dari perbuatan mehual atau alih-alih mempersalahkan program atau kebijakan yang dijalankan pemerintah, terkhusus di daerah.(jejakrekam)

Penulis adalah Dewan Pembina LBH Patriot Borneo Muda Kalsel

Advokat dan Praktisi Hukum di Banjarmasin

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/07/02/antara-diksi-mehual-dan-kritik-membangun/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.