Antropolog ULM Sebut Perda Ramadhan Bisa Jaga Suasana Khas Kebatinan Bulan Puasa

0

ANTROPOLOG Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah menilai eksistensi Perda Ramadhan secara budaya jelas mengentalkan suasana bulan puasa, terutama di daerah yang dihuni mayoritas muslim.

DI KALIMANTAN Selatan, selain Kota Banjarmasin yang memiliki Perda Nomor  Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadhan, kemudian direvisi dengan Perda Nomor 4 Tahun 2005.

Ada pula, Kabupaten Banjar khususnya di Kota Martapura mempunyai perda syariah serupa yakni Perda Nomor Nomor 10 Tahun 2001 tentang Membuka Restoran, Warung Rombong dan yang Sejenis serta Makan Minum atau Merokok di Tempat Umum pada Bulan Ramadhan yang kemudian diubah lagi dengan Perda Kabupaten Banjar Nomor 5 Tahun 2004.

Banjarmasin dan Martapura merupakan dua kota yang sebelumnya pernah menjadi ibu negeri Kesultanan Banjar, bahkan lembaga kemuftian sebagai simbolik penerapan syariah Islam tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

BACA : Pemkot Banjarmasin Tetap Berlakukan Perda Ramadhan, Ini Aturan dalam SE Wakil Walikota!

“Jadi, tidak ada yang salah dari penerapan Perda Ramadhan itu, terutama dalam mengentalkan suasana kebatinan Ramadhan di wilayah yang mayoritas muslim, baik saat ibadah shalat sunah khusus seperti Tarawih dan peribadatan lainnya di malam hari, suasana sahur, dan siang hari saat berpuasa hingga jelang berbuka puasa,” tutur Nasrullah kepada jejakrekam.com, Selasa (21/3/2023).

Dengan adanya kekhasan dan kearifan lokal ini, mahasiswa doktoral antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengatakan maka suasana itu harus dikawal dengan adanya belied atau payung hukum berupa perda.

BACA JUGA : Nasib Pengganti Perda Ramadhan ‘Menggantung’, Ketua Bapemperda DPRD Mengaku Tak Kuasa

“Suasana Ramadhan seperti itu kalau berkaca di masa lalu sebenarnya dijaga oleh pihak keluarga. Ada istilah dalam masyarakat Banjar dijaga oleh kuitan (orangtua), terutama ayah atau garis keturunan ke atas seperti kai (kakek),” tutur dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi FKIP ULM ini.

Masih kata Nasrullah, di komunitas atau masyarakat jelas ada kontrol itu ada pada tetuha kampung (tokoh masyarakat) yang berani menegur orang yang tidak berpuasa atau jadi pergunjingan masyarakat, jika melakukan ‘pertunjukkan’ tidak berpuasa di depan publik.

BACA JUGA : Inisator Awal Perda ‘Sakadup’ Jadi Perda Ramadhan Tentang Jika Dicabut Pemkot- DPRD Banjarmasin

“Nah, ketika kontrol sosial itu diperluas, diperlukan sebuah peraturan daerah. Namun, jika boleh jujur, hadirnya Perda Ramadhan sebenarnya menunjukkan lemahnya kontrol dari pihak keluarga batih, keluarga luas hingga masyarakat,” imbuh aktivis Hapakat Bakumpai ini.

Senada itu, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah Kalsel, dr Meldy Muzada Elfa berharap daerah-daerah yang sudah punya Perda Ramadhan seperti Kota Banjarmasin dan Kabupaten Banjar bisa menegakkan aturan itu dengan tegas.

BACA JUGA : Tegakkan Perda Ramadhan, MUI Kalsel Serukan THM Tutup Total dan Balapan Liar Dicegah

“Jika ada penolakan itu hanya disuarakan oleh segelintir orang atau boleh dibilang hanya pernyataan khusus, bukan asumsi atau pernyataan umum mewakili mayoritas masyarakat. Apalagi, masyarakat Kalsel ini mayoritas pemeluk agama Islam, jadi jelas aturan itu sudah tepat diberlakukan,” kata Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Kalsel ini.

Menurut dia, Perda Ramadhan juga berlaku secara khusus hanya satu bulan, di luar 11 bulan yang ada tidak diterapkan oleh pengampu kebijakan.

“Harus kita akui saat bulan puasa, intensitas dan frekuensi peribadatan umat muslim itu meningkat tajam dibanding bulan-bulan biasanya. Makanya, Perda Ramadhan itu juga hadir dalam suasana yang khusus, sehingga semua pihak harus menghormatinya,” imbuh dokter spesialis penyakit dalam RS Islam dan RSUD Ulin Banjarmasin ini.(jejakrekam)

Penulis Fery Oktavian
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.