Buya Syafii Ma’arif, Sang Matahari bagi Pertiwi

0

Oleh: Swary Utami Dewi

SUATU saat aku sedang duduk memegang buku terjemahan karya penulis kawakan Mesir, Naguib Mahfouz. Judulnya Sang Pengembara. Kala itu, aku sedang berada di lounge Garuda, menunggu waktu boarding ke Banjarmasin.

SEINGATKU itu terjadi tahun 2004 atau 2005. Saking asyiknya membaca, aku tidak memperhatikan orang-orang di sekitarku.

Seorang bapak yang ternyata duduk di meja tepat di depanku, menegur perlahan.  “Oh, Anda membaca buku bagus itu,” ujarnya. Aku menoleh dan langsung sedikit membelalakkan mata. Takut keliru melihat. Benar, ternyata lelaki itu memang Buya Syafii Ma’arif. Tokoh setenar itu menyapaku karena melihat buku yang sedang kubaca. Kami pun berbincang sesat. Tentang apa yang kulakukan dan tentang Kalimantan. Lalu aku meminta nomor beliau, yang dituliskannya di secarik kertas kecil.

BACA : Milad ke-109, Sejarah dan Peran Muhammadiyah di Indonesia Tak Perlu Diragukan

Dari situlah awal aku mengenal Buya Syafii Maarif, meski tidak terlalu intensif. Buya, sejak pertama bertemu, lalu mengenalku sebagai Tami, atau terkadang Tami dari Kalimantan. Meski jarang bertemu beliau secara fisik, tapi lumayan sering menyapa melalui handphone (HP). Dulu melalui teks Short Message Service (SMS).

Sesudah ada HP pintar, nampaknya juga Buya beralih menggunakan WhatsApp (WA) Dan kemudian aku sesekali berkomunikasi via WA untuk menanyakan kabar, minta pendapat, atau pun mengucapkan ulang tahun beliau (pada 31 Mei), juga mengucapkan selamat Ramadhan atau Idul Fitri.

Buya yang sangat baik itu, meski kadang terlambat, hampir selalu berkenan membalas WA-ku. Aku terkadang menanyakan isu-isu yang sedang jadi perbincangan di tanah air. Pernah aku bingung melihat riuh rendah politik di Indonesia, lalu menulis WA ke beliau. Buya menjawab singkat, “Terus saja Tami. Jangan pedulikan politik.”

BACA JUGA : Muhammadiyah Kalbar Belajar Tata Kelola Amal Usaha ke Masjid Al Jihad Banjarmasin

Beberapa bulan kemudian, aku tidak sengaja bertemu Buya di Bandara Yogyakarta, tepatnya pada 26 Januari 2017. Aku kembali menyatakan kegelisahanku melihat kondisi negeri ini. Saran beliau ternyata tetap sama, “Tidak usah pusing memikirkan politik. Jalan saja terus.” Aku terdiam, berusaha mencermati perkataan beliau tersebut.

Saat Buya berulang tahun 31 Mei 2020, aku khusus membuatkan tulisan untuk Buya. Judulnya “Sang Negarawan”. Tulisan itu merupakan imajinasiku tentang sosok Buya yang memang seorang negarawan sejati. Aku lalu memasukkan tulisan tersebut ke suatu media online dengan link sebagai berikut: https://m.nusakini.com/news/sang-negarawan

BACA JUGA : Jenguk Syafii Maarif, Surya Paloh Ungkap Kekagumannya

Pada 31 Mei 2021, Buya Syafii Maarif berusia 86 tahun. Aku, seperti biasa, memberikan ucapan dan doa via WA. Buya membalas dengan ucapan terima kasih. Buya sempat juga menuliskan satu hal yang menurutku sangat istimewa ,”Bertindaklah seperti matahari yang memberikan sinarnya untuk seluruh mahluk, tanpa pilih kasih.” Aku lalu memasukkan ucapan tersebut ke laman FB-ku.

Hari ini, 27 Mei 2022, Allah memanggil Buya pulang, kembali ke haribaan-Nya. Innalilahi wa innailaihi raji’un. Aku memang menitikkan air mata. Lalu aku mengingat kembali beberapa hal istimewa (bagiku) tentang Buya, terutama pesan-pesannya. Aku sadar, tidak akan ada lagi WA-ku pada ulang tahun beliau, pada 31 Mei 2022 nanti.

BACA JUGA : Gus Dur, Sang Kosmopolit dan Pemikiran Islam yang Universal

Namun Buya akan selalu kuingat lekat sebagai sosok negarawan yang sangat baik dan rendah hati. Syafii Maarif sejatinya memang sosok “matahari” yang memberikan sinarnya untuk seluruh mahluk, tanpa pilih kasih – persis yang pernah dipesankannya untukku.Selamat kembali ke pangkuan Ilahi, Buya. Al Fatihah! (jejakrekam)

Penulis adalah Pegiat Aksi Literasi, Perhutanan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat

Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS) Kementerian LHK

Wakil Sekretaris Jenderal Satupena

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.