Obituari Zulfansyah Bondan

0

Oleh : Y.S Agus Suseno

SAYA pertama kalinya kenal dengan Zulfansyah Bondan (yang saya panggil “Kaka”, “Ka Zulfan” – tanpa “k”) tahun 1990-an, ketika menempuh hidup bohemian — “balantak” berkesenian di GOS (sekarang UPTD Taman Budaya Provinsi Kalimantan Selatan, Jalan Brigjend. H. Hassan Basry, Banjarmasin).

PERTEMUAN terakhir saya dengan cicit (zuriat) Amir Hasan Bondan (penulis buku “Suluh Sejarah Kalimantan” yang terkenal) ini sekitar lima tahun lalu, di rumahnya, Jalan Cendrawasih (persis di belakang rumah sanak saudara dan keluarga Radius Ardanias Hadariah) saat menemani adik-adik penari merekam testimoninya (yang kemudian ditayangkan) di malam puncak peringatan Hari Tari Sedunia (di halaman Taman Budaya).

Ka Zulfan cukup menaruh perhatian pada orang-orang muda yang mengenalnya (penari maupun bukan — seperti saya). Dengan nada bicaranya yang meledak-ledak dan agak gagap, pimpinan Sanggar Tari Kambang Baranteng ini selalu bersemangat, sering mengomel, menggerutu, “curhat” kapada saya tentang sejumlah tari klasik dan tari tradisi Banjar (Baksa Kambang, Baksa Lilin, tari topeng, tari kuda gipang, wayang gung, rudat, dan lain-lain) yang, dari garapan penari/penata tari alumni pendidikan/sekolah seni tari masa kini, menurutnya kian menjauh dari aslinya.

BACA : Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin Dukung Sanggar Perpekindo Dokumentasikan Tari Kreasi Banjar

Saat bertemu dan ngobrol dengan Ka Zulfan (di bangku beton, pintu masuk Bengkel Tari Gumilang Kaca, UPTD Taman Budaya Kalsel), saya lebih banyak diam, mendengarkan uneg-uneg dan keluh-kesahnya terhadap pemerintah daerah yang dianggapnya minim perhatian pada penari/penata tari/sanggar/komunitas tari klasik dan tari tradisi Banjar.

Seminggu sekali — sore sampai sebelum Maghrib — dengan sepeda motor (atau pick up) bututnya (pick up pribadi; yang digunakannya untuk mengangkut peralatan gamelan Banjar), Ka Zulfan (dari rumahnya di Jalan Belitung — kemudian saat bermukim di Jalan Cendrawasih) melatih tari pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum di Bengkel Tari Gumilang Kaca, UPTD Taman Budaya Kalsel.

BACA JUGA : Punya Koleksi 700 Benda Bersejarah, Museum Banjarmasin di Teluk Kelayan Segera Terealisasi

(Karena rusak parah, pick up butut itu jadi besi tua, sempat teronggok berbulan-bulan di halaman terbuka, samping Bengkel Tari Gumilang Kaca, ditutupi terpal yang, sambil bercanda, saya sebut sebagai “benda keramat”.)

Adakah yang merasa kehilangan dengan meninggalnya Ka Zulfan (lebih-lebih sebagai penari/penata tari laki-laki yang kian langka di Kalsel)? Keluarga, kerabat, teman dan murid-murid menarinya, pasti. Institusi/lembaga dan komunitas tari? Entahlah.

BACA JUGA : Benarkah Banjarmasin Itu Lahir pada 24 September 1526?

Saya tahu Ka Zulfan meninggal dunia saat nongkrong di Kampung Buku (Jalan Sultan Adam, Banjarmasin), Sabtu malam, 7 Mei 2022. Mengingat kondisi fisik, kesehatan dan umurnya, saya tidak terkejut. Ingat Ka Zulfan, saya tiba-tiba teringat nama bangunan di kampus FKIP ULM yang dinamakan Gedung Amir Hasan Bondan.(jejakrekam)

Penulis adalah Budayawan dan Sastrawan Kalimantan Selatan

Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.