Somasi Akademisi Uniska Uhaib As’ad, Komnas HAM Nilai Tim Hukum Birin-Mu Cederai Demokrasi

0

WAKIL Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia, Hairansyah angkat suara soal somasi kepada akademisi Universitas Islam Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, Dr Muhammad Uhaib As’ad yang disampaikan tim kuasa hukum paslon Cagub Kalsel Sahbirin Noor – Muhidin (BirinMu).

KOORDINATOR SubKomisi Penegakan HAM ini menegaskan pernyataan Uhaib As’ad merupakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Hal utu merupakan syarat mutlak bagi seseorang mengembangkan diri secara penuh.

Menurut dia, menilai kebebasan ini penting bagi masyarakat mana pun. “Kebebasan merupakan batu fondasi bagi setiap masyarakat yang bebas dan demokratis. Kedua kebebasan tersebut terkait erat, dengan kebebasan berekspresi yang menyediakan wahana untuk pertukaran dan pengembangan opini,” kata Hairansyah lewat siaran pers yang diterima jejakrekam.com, Minggu (20/6/2021).

Komisioner Komnas HAM yang akrab disapa Ancah ini menyebut kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan salah satu aspek penting demokrasi. “Negara yang demokratis tercermin dari adanya perlindungan terhadap kebebasan berkumpul, mengemukakan pendapat, dan diskusi terbuka,” ucap mantan komisioner KPU Provinsi Kalimantan Selatan ini.

BACA : Metamorfosis YADAH; Para Pentolannya Bentuk YDH’HAM Siap Advokasi Kasus Kriminalisasi

Ancah berkata hal ini terkait erat juga dengan salah satu tujuan dari negara demokrasi adalah membentuk situasi perlindungan dan penegakan hak asasi manusia (“HAM”). Hal itu tercermin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (“DUHAM”) Pasal 21 ayat (3):

Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah. Kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, ditegaskan Ancah, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi dan informasi publik, merupakan hak asasi manusia yang paling hakiki.

“Perlindungan akan kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat mendukung pengawasan, kritik, dan saran terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Perlindungan ini penting untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa,” ujar mantan Direktur Yayasan Dalas Hangit (Yadah).

BACA JUGA : Dosen Uniska Uhaib As’ad Disomasi Tim Hukum BirinMu Usai Kritik PSU

Ia menyebut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Pasal 19 menegaskan bahwa setiap orang memiliki hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup pula kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa adanya intervensi dan ditujukan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah.

Konvenan Internasional Hak Sipil Politik (KIHSP) yang telah diratifikasi Indonesia. Pasal 19 ayat (1) dan (2) menjamin bahwa setiap orang memiliki hak untuk berpendapat tanpa campur tangan dan memiliki hak atas kebebasan menyatakan pendapat, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun.

“UUD 1945 menjamin kebebasan berekspresi. Pasal 23 ayat (2) UU 39/1999 tentang HAM menjamin bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum,dan keutuhan bangsa,” paparnya.

“Kebebasan berpendapat meluas ke hak untuk mengubah pendapat kapanpun dan untuk alasan apapun yang dipilih dengan bebas. Tidak ada orang yang dapat dirugikan hak-haknya berdasarkan KIHSP atas dasar pendapatnya yang sebenarnya, yang dipersepsikan atau diduga. Semua bentuk opini dilindungi, termasuk opini yang bersifat politik, ilmiah, sejarah, moral atau agama,” ucap mantan wartawan ini.

BACA JUGA : Buku Demokrasi Dan Predator Negara Karya Uhaib As’ad Dibedah, Walikota Banjarmasin: Ngeri-Ngeri Sedap

Ancah berpendapat bentuk pelecehan, intimidasi atau stigmatisasi terhadap seseorang, termasuk penangkapan, penahanan, pengadilan atau pemenjaraan karena alasan pendapat yang mereka miliki, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 19 ayat 1 KIHSP.

“Bila dilihat dalam konteks kebebasan Pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang merupakan upaya melegitimasi kemerdekaan pers, serta sebagai wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-pinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum,” urainya.

“UU Pers menjamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan menjamin pers nasional dalam melaksanakan peranannya,” imbuhnya.

Ancah pun merincikan bila dilihat dalam konteks kebebasan Pers berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang merupakan upaya melegitimasi kemerdekaan pers, serta sebagai  wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-pinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

BACA JUGA : Pengamat Politik Uniska Sebut Putusan PSU Imbas dari Praktik Culas Pilkada

Ia menegaskan UU Pers menjamin bahwa kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara dan menjamin pers nasional dalam melaksanakan peranannya meliputi: (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; (b) menegakkan nila -nilai dasar demokrasi , mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan;  (c) Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; (d) Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; dan  (e) Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Ancah yang merupakan lulusan Fakultas Hukum ULM in menegaskan penyelesaian kasus kebebasan pers, terutama terkait suatu pemberitaan pers yang merugikan pihak-pihak tertentu, maka mekanisme yang pertama harus ditempuh adalah menggunakan Hak Jawab.

“Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, bukan dengan somasi,” ucapnya.

Atgas hal itu, Ancah menilai somasi yang dilancarkan kepada Uhaib As’ad terkait pernyataannya berpotensi terjadi pelanggaran. Ada lima potensi pelanggaran itu. Yakni, kebebasan per situ sendiri, HAM berupa Hak Rasa Aman  sebagaimana diatur dalam UU 39/99 tentang HAM Pasal 30 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

BACA JUGA : Beber Keterlibatan Penyelenggara Pemilu, Prof Hadin : Dipicu Keserakahan karena Uang

“Kemudian, hak kebebasan berpendapat dan ekspresi sebagai HAM. Hak Mengembangkan diri sebagaimana diatur dalam UU 39/1999 tentang HAM Pasal 14 (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya. (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia,” paparnya.

Kemudian, beber Ancah lagi, kebebasan akademik yang secara konstitusional dilindungi dengan penafsiran meluas (extensive interpretation) atas ketentuan Pasal 28, 28C, 28E, 28F UUD Negara RI 1945.

“Sedangkan dalam perundang-undangan, kebebasan akademik dinyatakan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi (“UU Dikti”),” ucapnya.

Ia menjabarkan dalam Prinsip Surabaya tentang Kebebasan Akademik (2017), meliputi lima prinsip: salah satu prinsipnya adalah Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.(jejakrekam)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.