Beber Keterlibatan Penyelenggara Pemilu, Prof Hadin : Dipicu Keserakahan karena Uang

0

KETERLIBATAN penyelenggara pemilihan dalam desain oligarki kekuasaan jadi topik hangat yang dibedah para akademisi, aktivis dan kalangan insan pers dalam diskusi terpumpun helatan Yayasan Demokrasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (YDH’HAM) di Hotel BW Kindai Banjarmasin, Rabu (31/3/2021).

MENGHADIRKAN tiga narasumber berkompeten; Guru Besar Hukum Administrasi Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Prof Dr HM Hadin Muhjad, pakar hukum tata negara FH ULM Dr H Ichsan Anwary, dan pakar komunikasi politik FISIP ULM, Dr Fahrianoor, dipandu Wakil Ketua Komnas HAM RI, Hairansyah.

Hadin Muhjad membedah soal posisi keterlibatan penyelenggara pemilihan dalam desain politik oligarki. Menurut hadin, dalam konstitusi, jelas berdasar Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 22e ayat (1) UUD 1945 menghendaki agar pilkada dilaksanakan secara langsung, umum, bebas rahasia (luber) dan jujur adil (jurdil) .

“Inilah pilkada demokratis konstitusional, artinya pilkada yang tidak curang (non electoral froud) atau electoral integrity. Sebab, dalam pilkada yang jujur dan adil itu terberat adalah kecurangan politik uang (money politics),” kata Hadin.

BACA : Banyak Ungkap Dugaan Politik Uang di Pilkada Kotabaru, Bawaslu Minta Hormati Putusan MK

Pria yang juga pernah aktif sebagai Ketua Panwaslu Kalsel ini mengungkap modus operandi money politics. Pertama, dilakukan antara peserta pemilu atau tim sukses dengan pemilih. Hadin menyebut modus itu kadang terjadi dengan sebaran yang diindikasikan semakin luas.

“Publik kadang tidak berdaya menerima, tidak dasar sebagai politik uang. Mereka menerima demi kepentingan publik, dan sebagian kecil proaktif meminta karena desakan ekonomi,” ucap mantan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalsel ini.

Modus kedua dijabarkan Hadin adalah antara kandidat atau tim sukses dengan penyelenggara mulai KPPS hingga KPU. Ia mengatakan modus ini terjadi di antara kandidat dengan penyelenggara berjalan dua arah. “Hal itu akibat upah penyelenggara yang dianggap rendah dan iming-iming peserta yang menggigurkan. Imbalan politik uang biasanya manipulasi suara dalam rekapitulasi,” ucapnya.

BACA JUGA : Warga Alalak dan Kuin Deklarasi Gerakan Masyarakat Anti Politik Uang

Fakta di lapangan, kata Hadin, ketika penyelenggara pemilihan merencanakan kecurangan pemilu dengan celah hukum guna memenangkan calon terentu tanpa dapat dipersalahkan secara hukum dan nyata sebagai pelanggaran hukum.

“Caranya dengan mengubah sertifikat hasil rekapitulasi perhitungan suara, menghilangkan formulir C1, tidak membagikan petikan atau salinan hasil rekapitulasi suara. Kemudian, penggunaan formulir C6 untuk menambah suara pasangan calon tertentu oleh yang bukan berhak, melakukan rekapitulasi penghitungan di tempat tertutup, politik uang dan sebaginya,” papar Hadin.

Bahkan, mantan Pembantu Rektor I ULM ini menegaskan praktik money politics oleh penyelenggara pemilu masih murni karena perlu uang untuk tujuan keserakahan tidak terkait dengan tujuan politik. Namun, kata Hadin, salah satu pelaku money politics pasti ada tujuan untuk politik mendesain oligarki.

“Untuk itu, kerangka hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk penegakan hak pilih, karena memberikan suara merupakan hak asasi manusia. Penyelesaian hukum terhadap pelanggaran hak memberi suara  harus menetapkan ketentuan-ketentuan terperinci dan memadai dalam melindungi hak hak pilih. Kerangka hukum harus menetapkan bahwa setiap pemilih, kandidat, dan partai politik berhak mengadu kepada lembaga penyelenggara pemilu atau pengadilan yagn berwenang, apabila terdapat dugaan pelanggaran atas hak pilih,” beber pakar hukum ini.

BACA JUGA : Cipayung Plus Kota Banjarmasin Ajak Warga Tolak Politik Uang

Bagi Hadin, jika jarak hukum dan praktiknya kian jauh, hukum itu akan jadi aturan yang sekarat bahkan mati. Ini terjadi, ketika pelanggaran berkali-kali tapi tidak bisa dijatuhkan sanksi, maka akan menjadi sia-sia pengaturannya.

“Ketentuan pidana terkait money politics justru menimbulkan ironi. Di satu sisi sulit membuktikan praktik politik uang dalam jumlah besar oleh pelaku elite dengan mengatasnamakan berbagai jenis sumbangan atau sayembara. Sementara, pelaku kelas bawah mudah terkena pasal politik uang hanya karena tindakan-tindakan sepele,” urai Hadin, dalam fakta yang terjadi.

Tak mengherankan, beber Hadin, dari data yang diambil dari jumlah dan sebaran percakapan di media sosial seperti twitter, ditemukan bahwa total 13.030 percakapan, lebih dari 50 persen menuding KPU tidak netral, tersandera dan berpihak.

“Ini mengekpresikan ketidakpercayaan pada KPU yang dilakukan sepanjang periode pemilu, baik sebelum, saat dan sesudah hari pemungutan suara,” tandas Hadin.(jejakrekam)

Penulis Rahim/Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.