83 Tahun Silam Banjir Besar Melanda Martapura, 23 Jiwa Jadi Korban

0

Oleh : Iberahim

TERHITUNG sudah tiga minggu banjir melanda Provinsi Kalimantan Selatan di 11 Kabupaten/Kota dari  13 kabupaten/kota. Meski di sebagian wilayah sudah menyurut dan dalam masa pemulihan dan rehabilitasi pasca banjir.

NAMUN kekhawatiran dan keprihatinan masih menyelimuti warga provinsi yang menurut catatan  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Kalimantan Selatan 50 persen wilayahnya yang seluas 3,7 juta hektare  sudah dibebani izin tambang dan sawit.

Dimana 33 persen izin tambang dan 17 persen  izin perkebunan kelapa sawit. Belum termasuk izin HTI dan HPH. Ini yang menyebabkan Walhi Kalsel mengingatkan bahwa Kalsel dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis.

Salah satu kabupaten terparah yang dilanda banjir adalah Kabupaten Banjar. Kondisi terkini disebagian wilayahnya terutama disebagian kawasan Kota Martapura dan sekitar bantaran Sungai Martapura arah menuju sebelah Timur Kota Banjarmasin masih digenang air. Bantuan dari berbagai pihakpun masih mengalir ke kawasan tersebut.

Sebenarnya banjir besar yang saat ini melanda Kabupaten Banjar, pernah terjadi 83 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 1937. Saat itu namanya masih Onderafdeeling Martapoera yang dikepalai oleh Controleur. J. Wentholt sejak 11 September 1934.

BACA : Banjir Terus Mengintai, Pengamat Minta Pemkot Banjarmasin Siapkan Kebijakan Mikro dan Makro

Menurut Harian Arnhemsche Courant terbitan 08 Juli 1937 di halaman 3 memberitakan bahwa banjir besar  membawa bencana di Zuid Oost-Borneo atau Kalimantan Tenggara. Banjir yang terjadinya sangat mendadak ini telah menewaskan 23 orang. Jalan pos telah hancur di 10 titik. 150 rumah telah hanyut di enam kawasan.

Di Martapura sendiri di  kawasan pertokoannya airnya rata dengan pintu depan, ketinggian air 1 meter dimana-mana. Jembatan besi miring dan berbahaya. Begitu juga dengan landhoofd atau abutment (kepala jembatan yaitu bagian konstruksi bawah jembatan yang terdapat pada kedua ujung pilar-pilar jembatan yang berfungsi untuk mendukung atau memikul seluruh beban bangunan di atasnya) pada Jembatan Stamboel (Astambul) telah tersapu banjir.

Dua puluh tiga orang tewas di kampung Sei Alang. Kepala kampung dan keluarganya hilang. Tambakanjar (Tambak Anyar), Udjoengmoerong dan Bintjau (Bincau) rusak parah. Puluhan rumah telah hanyut. Area yang rusak belum bisa diakses.

BACA JUGA : Tanpa Perlindungan Hukum, Rumah Berarsitektur Banjar di Sungai Jingah Bisa Punah

Di Martapoera sendiri dimana sebagai ibukota adalah salah satu kawasan yang dilanda banjir terparah. Wilayah ini dikatakan sebagai kawasan yang makmur yang terletak di Sungai Martapura, tepat di persimpangan titik Soengei (sungai) Riam Kiwa dan Soengei Riam Kanan. Jaraknya sekitar 30 km sebelah timur Bandjermasin.

Martapoera adalah pusat perdagangan intan dan pusat budi budaya buah-buahan untuk pasar di Bandjermasin. Penduduknya sebagian besar terdiri dari Pribumi; selain itu, sejumlah kecil orang Eropa dan sejumlah besar orang Cina dan Arab tinggal di sana.

Menurut laporan Aneta, penyebab banjir itu adalah Riam Kanan (bukan karena keladi atau luapan Sungai Barito-red). Banjir berasal dari Goenoeng Koekoesan, yang merupakan bagian dari pegunungan Meratoes. Ini sebagian besar merupakan aliran pegunungan dengan banyak halangan, dangkal dan aliran air yang cepat. Makanya namanya: riam berarti jeram – dan oleh karena itu tidak bisa dimanfaatkan untuk sarana transportasi seperti kano dan pelayaran.

BACA JUGA : Jembatan Coen, Penghubung Dua Tepian dan Kutipan Tol Sungai

Tentu saja apabila terjadi hujan lebat di daerah pegunungan, dimana Riam Kanan menerima airnya. Air dalam jumlah yang besar, yang dalam waktu singkat mencapai dasar sungai yang relatif sempit, tidak bisa mongering atau meresap dengan begitu cepat, dan kemudian muncullah luapan air yang disebut banjir. Banjir ini mencari jalannya meruak dan menggelegak, menyeret segala sesuatu yang ditemuinya di alirannya dengan kecepatan tak terkendali. Dan itu tidak hanya mencapai tempat tidur atau tempat tinggal, tapi juga menggenang wilayah.

Banjir biasanya tidak bertahan lama di sungai-sungai wilayah Hindia. Air yang tinggi segera mencapai level tertinggi, dan jika hujan tidak berlanjut, level air normal segera pulih.

Kemudian dilaporkan juga oleh Aneta bahwa air di Sei Alang telah surut. Namun, kampungnya tidak kering/bebas air. Sebagaimana juga diberitakan dalam koran De Volksrant Edisi 9 Juli 1937 bahwa Jalan pos (Postweg) hancur sepanjang  lima ratus meter.

BACA JUGA : Banjarmasin, Kota Sungai Dihantui Bayang Krisis Air Bersih ‘Abadi’

Jalan ini memiliki panjang lima kilometer yang tak bisa dilalui. 150 rumah hanyut di enam kampung. Beberapa kampung belum bisa diakses. Di Tambakanjar, tanggul sepanjang 600 meter telah hancur. Ketinggian banjir di kawasan Martapoera mencapai 3,6 meter di atas rekor yang tercatat pada tahun 1932. Mengenai keadaan banjir di kampung Sei Alang juga dilaporkan bahwa air sudah turun 7 meter.

Bataviaasch nieuwsblad terbitan 19 Juli 1937 merincikan bahwa banjir di Martapoera merupakan banjir terparah yang pernah terjadi. Martapoera porak poranda saat Riam Kanan meluap secara  tiba-tiba pada pukul satu malam tanggal 6 hingga 7 Juli 1937. Jaringan telegraf dan telepon terputus. Sedangkan jalan pos tersapu di sepuluh tempat.

Di ibu kota Martapoera air naik hingga ketinggian satu meter di alun-alun. Sebuah jembatan besi miring dan abutment dari jembatan Stamboel tersapu seluruhnya. Di kampung Sei Alang 21 orang kehilangan nyawa akibat banjir. Kepala kampung dan keluarganya hilang. Beberapa kampung lain juga rusak parah, namun di sini jumlah korban belum bisa ditentukan. Puluhan rumah hanyut dan pintu polder (kanal) Liang harus dibuka.

BACA JUGA : Berita Teror Buaya, Monster Air Sungai Barito dan Atraksi Paaliran Pukau Pejabat Hindia Belanda

Dua pria tenggelam di ibu kota Martapoera. Sementara Jalan Pos  bahkan terputus di sepuluh tempat. Jalan ini hancur total sejauh 500 meter. Sementara air tergenang di badan jalan dan jalan pun tidak bisa dilalui sepanjang 5 kilometer. Kampung Karangintan, Malei-Malei dan Pinarang belum bisa diakses, namun upaya terus dilakukan untuk mengatasi keterisolasian tersebut. Di kampung Soengei Alang, Mandikapau, Soengei Asam, Palangpangkal Tiwigan dan Astamboel, total 150 rumah telah hanyut’. Air di Soengei Alang sudah turun tujuh meter, tapi kampung yang berdekatan masih ada kebanjiran.

Berbarengan dengan di Martapoera, banjir juga terjadi di Pulau Laut. Rumah dan perkebunan di kampung Soengei Taip dan Djelapat hancur, sementara delapan orang tenggelam, termasuk lima anak. Lalu lintas telepon dan telegraf antara Bandjermasin dan Hulu Soengei telah pulih, tetapi lalu lintas transportasi tetap tidak memungkinkan hingga 20 Juli.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Soerabaijasch Handelsblad tanggal 9 Juli 1937 sebagaimana dikutip oleh koran Nieuwe Apeldoornsche courant 23-07-1937 menceritakan bagamana kondisi banjir. Korespondennya di Bandjermasln menulis: – Pada Rabu dini hari tanggal 6 Juli, ketika penduduk masih dalam keadaan tidur nyenyak, tiba-tiba karena derasnya hujan lebat di daerah pedalaman, Riam Kanan meluap.  Air bah muncul secara tiba-tiba dengan derasnya. Apapun yang dilaluinya tidak mungkin untuk mempertahankan diri terhadapnya. Banjir menciptakan malapetaka.

Bagaimanapun, air mengalir dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, membuat jalannya melalui tempat mengalirnya yang agak sempit yaitu Sungai Riam Kanan. Alirannya menyeret segala sesuatu, sehingga tidak ada  sesuatupun dan tidak ada manusia di sekitar alirannya yang aman.

Kami melihat sejumlah besar kayu berukuran besar mengapung dan  hanyut ke sungai dengan kecepatan tinggi, dikelilingi oleh air yang bergelombang dan deras. Sampai kayu tersebut jalannya terhalang oleh dua pemecah jembatan di atas Sungai Martapura di Martapura.

BACA JUGA : Denyut Kota Kanal Warisan Belanda yang Terabaikan

Kayu yang mengapung itu menumpuk di sana dan terus menerus menghancurkan pemecah arus itu. Awalnya mereka mencoba menyingkirkan kayu ini, namun akhirnya menjadi terlalu berbahaya dan pada akhirnya salah satu pemecah arus tidak bisa lagi menahannya dan jembatan itu tak bisa lagi menahan arus yang deras sendiri.

Mengakibatkan besi jembatan menjadi bengkok  seluruhnya. Mungkin karena salah satu balok besi yang besar bengkok. Lalu lintas Bandjermasin dengan daerah pedalaman, yang belakangan ini meningkat pesat, telah sepenuhnya terhalang, yang akan berdampak pada perdagangan.

Pada peta di atas wilayah dimana banjir terjadi baru-baru ini, terlihat jelas aliran sungai yang terjadi banjir besar telah menyebabkan kerusakan besar pada kampung dan perkebunan penduduk.

Begitulah gambaran banjir di wilayah Martapoera ketika itu. Lalu berapa perkiraan kerugian akibat banjir pada saat itu?

Koran Tionghoa Peranakan yang menyuarakan Indonesia merdeka  “Sin Po” edisi Sabtu 31 Juli 1937  Tahun ke XV Nomor 748 memuat foto karya Njoo Biauw Hing asal Bandjermasin tentang suasana banjir di kawasan Kota Martapura. Di foto tersebut terlihat jelas bagaimana perahu jukung berada di jalan raya. Total kerugian akibat banjir tersebut sekitar f 150.000. Jika harga jual emas batangan (12,5 kg perbatangan) pada saat itu di Amsterdam  f 2035 per kg, maka jika dikonversikan kerugian saat itu sekitar 73,71 kg emas .

BACA JUGA : Kehidupan Sungai Banjar dalam Jurnal Penjelajah Belanda

Dihitung dengan harga emas saat ini misal seharga Rp. 830.039.683/Kg maka kerugian saat itu mungkin sekitar Rp. 61.182.225.000,-. Begitu juga Pom Bensin Socony yang juga terendam air sehingga bisa diperkirakan berapa ketinggian banjir saat itu di jalan besar.

Peristiwa banjir yang terjadi sejak era kolonial maupun sekarang ini menjadi renungan kita bersama. Kerusakan alam tidak mungkin terus dibiarkan. Ketika zaman dulu hutan masih lebatpun, banjir sering terjadi. Apalagi saat ini ketika semua hasil bumi dikeruk habis maka bencana alam tak bisa dihindari. Inilah tanggungjawab kita bersama untuk melestarikan alam sekitar sehingga Kalsel ke depan tidak lagi dalam kondisi darurat ruang dan darurat bencana ekologis.(jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Sejarah Banjar

Ketua Lembaga Adat Kerajaan Pulau Laut Korwil Banjarmasin

Sekretaris Syarikat Adat, Sejarah dan Budaya (SARABA) Hulu Sungai

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.