Pilkada Melodrama dan Lingkaran Setan Politik Uang

0

Oleh: Muhammad Uhaib As’ad

PILKADA melodrama? Sebuah diksi penamaan dan penggambaran terhadap realitas sosiologis  peta bumi perpolitikan lokal dan nasional di era demokratisasi saat ini.

ERA demokratisasi dalam kemasan dan struktur panggung dramaturgi. Relitas Pilkada adalah panggung dramaturgi, drama yang dilakonkan para aktor politik di hadapan rakyat. Rakyat pun bertepuk tangan sembari berjingkrak-jingkrak dalam ayunan melodrama.

Ayunan Pilkada melodrama itu telah menusuk-nusuk jantung struktur kesadaran kolektif rekyat. Betapa dahsyatnya panggung dramaturgi itu telah  membutakan rasionalitas rakyat. Rakyat (political citizen) termehek-mehek larut dalam ornamen altar.

Ornamen altar adalah arena pembabtisan para rahib-rahib, para akabir, para tuan-tuan. Ornamen altar itu bernama Pilkada. Altar sakral tidak semua tangan secata bebas bisa menggapai. Tangan tak sampai.

BACA : Bau Amis Politik Uang

Sensitivitas aroma altar sakral itu sangat menggoda. Siapa saja bisa tergoda. Libido syahwat kekuasaan dipertaruhkan. Sumber daya politik dan finansial dikuras habis demi libido syahwat kekuasaan.

Altar Pilkada membuat rakyat mengalami orgasme semu dalam ketidak sadaran. Ketidak sadaran dalam desain kepengapan dan pasar gelap politik. Pasar gelap politik itu telah merusak rasionalitas dan ideologi rakyat bahwa kontestasi elektoral itu telah berubah menjadi pasar kekuasaan, kekuasaan yang diperjual bukan oleh  para kapatalis.

Altar Pilkada adalah arena adu nyali para kapitalis, arena adu nyalia para tuan-tuan   cukong Pilkada. Para cukong, para tuan-tuan kapitalis itulah pemilik demokrasi telenovela. Ritual pilkada telah menjadi demokrasi telenovela. Telenovis lucu,  menggemeskan, dan terkadang memuakkan.

BACA JUGA : 74 Persen Pemilih Banjarmasin Tergiur Politik Uang? Bawaslu : Sanksi Tegas Menanti

Di tengah fragmented society (masyakat bercera berai), cara pandang terhadap kontestasi demokrasi (Pilkada) itu beragam pandangan. Cara pandang beragam itu berikaitan erat latar belakang pendidikan dan takaran sosial politik masyarakat.

Sejumlah survei dan literatur memperlihatkan bahwa tingkat pragmatisme, literasi politik, dan politik uang dalam kontestasi demokrasi masih mendominasi di era demokratisasi (Burhanuddin Muhtadi, 2020, dan Puadi, 2020).

Menjelang detik-detik pendaftaran para kandidat bupati, walikota, dan gubernur ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), bagi mayoritas rakyat tidak terlalu peduli. Ada kenyinyiran, ada apatisme dan bahkan kemuakan.

Mengapa demikian? Apakah ini pertanda bahwa literasi politik rakyat masih rendah? Atau ini sebagai bentuk kegagalan partai politik (Parpol) memberikan pendidikan politik bagi warga (civic education)? Kalau pertanyaan ini betul, lalu demokrasi macam apa yang akan dibangun bangsa ini?

BACA JUGA : Terbukti Politik Uang, Komisi II DPR Minta Kontestan Pilkada Didiskualifikasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa selepas kekuasaan otoriter Orde Baru, seiring perjalanan waktu,  realitas sturktur ekonomi dan politik terperangkap dalam kekuasaan oligarki. Kekuasaan oligarki lahir dari proses demokrasi yang tidak sehat dan transaksional.

Politik transaksional, perburuan rente, korupsi telah mendera negeri. Coba kita baca sejumalah tulisan dari Professor Jeffery Winters dan Professor Vedi R Hadiz secara jelas bercerita mengenai sejumlah fakta tersebut.

Fakta sangat menyakitkan bangsa ini di era demokrasi. Demokrasi yang diperjuangkan berdarah-darah oleh anak bangsa 22 tahun lalu. Perjuangan untuk keluar dari sangkar besi otoritarianisme dan oligarki kekuasaan Orde Baru.

Potret demokrasi saat ini tidak seindah harapan. Harapan yang dirakit dan  diimaginasikan anak bangsa 22 tahun lalu justru semakin jauh dari kenyataan. Demokrasi semakin meredup. Senjakala demokrasi.

Demokraai telah dibajak oleh para pemilik modal. Demokrasi tersandera para oligarki. Negara tidak berdaya dihadapan kuasa kapitalis. Negara sudah menjadi klien pemilik modal. Kekuasaan didikte menurut selera para oligarki alias para cukong.

BACA JUGA : Ragukan Netralitas Penyelenggara Pemilu, Politik Uang Makin Brutal

Rakyat hanya menjadi obyek dari pasar politik dan bersedakah suari dalam bilik suara. Inilah model partisipasi semu. Partisipasi setiap event Pilkada ada Pemilu. Selapas itu nyaris tidak ada lagi relasi sosial dan relasi politik (political relationship).

Rakyat betul-betul tidak dicerdaskan oleh partai politik. Tingkat literasi politik rakyat dibiarkan apa adanya. Rakyat pada umumnya tidak ada rasa bangga terhadap partai politik. Apatis, nyinyir dan bahkan muak.

Parpol menjadi oligarkis, karetel dan pelembagaan politik dinasti. Pada hal kata ilmuwan politik, salah satu fungsi partai politik adalah membangun komunikasi dan pertisipasi politik serta memberikan literasi politik bagi warga negara. Bukan mengeksploitasi memoblisasi rakyat dalam kesemuan demokrasi.

Parpol sejatinya bukan  sekedar menjadikan rakyat sebagai angka-angka untuk kemenengan para calon penguasa dalam altar Pilkada. Pilkada sejatinya menjadi momentum membangun demokrasi bermartabat bukan mementaskan.

BACA JUGA : Lawan Politik Uang, Bawaslu Banjarmasin Gandeng KAMMI dan PMII

Pilkada melodrama yang mengharu biru. Pilkada bukan menjadi sekedar akal-akalan yang penuh kecurangan dan permainan politik uang. Oleh karena itu, bilamana world view anak bangsa memahami Pilkada sebagai struktur kesempatan arena politik transaksional dan arena politik uang.

Maka sesungguhnya event demokrasi tidak lebih hanya sebagai demokrasi telenovelis yang diwarnai teluk tangan dan hiruk-pikuk yang pada akhirnya membaptis calon penguasa koruptip dan pengkhianat rakyat.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua Pusat Studi Politik dan Kebijakan Publik, Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.