Bau Amis Politik Uang

0

Oleh : M Rezky Habibi R

SAAT transisi demokrasi dari rezim Orde Baru awal reformasi di bawah kepemimpinan BJ.Habibie dalam rangka melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila melahirkan Pasal 18 ayat (1) UU 22 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan kepada DPRD sebagai representasi dan kepanjangan tangan rakyat daerah untuk memilih kepala daerahdengan bentuk pemilihan tidak langsung.

TENTU saja kewenangan besar yang diberikan kepada DPRD tersebut harus dibaca dalam semangat untuk memutus mata rantai new order syndrome yang bersifat sentralistik dalam rezim UU 5 Tahun 1947 dengan kekuasaan besar Presiden untuk mengangkat kepala daerah.

Upaya untuk melahirkan pilkada yang demokratis substansial pada faktanya masih jauh antara das sollen dan das sein. Pilkada tidak langsung melalui DPRD yang diadopsi dalam UU 22 Tahun 1999 memunculkan praktik subur money politic (politik uang). Paling tidak, kasus pemilihan Bupati Karanganyer dan Brebes Jawa Tengah menjadi catatan penting (Bambang Purwoko,2003).

BACA : Tiga Opsi Pilkada Ditunda, Dana Hibah Pemda Dialihkan Perangi Corona

Harapan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan di daerah melalui otonomi daerah dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus sendiri sebagai wujud kemandirian daerah berasaskan desentralisasi secara empirik justru melahirkan fenomena praktik money politic dan desentralisasi korupsi kedaerahaan yang sebelum reformasi tersentralisasi pada pemerintah pusat.

Lebih dari itu, sistem tertutup yang dijalankan UU 22 Tahun 1999 melalui model pemilihan oleh DPRD menimbulkan kecurigaanyang akan membatasi pelaksanaan demokrasi ditingkat lokal itu sendiri. Kewenangan besar yang dimiliki DPRD dalam semua tahapan pilkada jauh dari akses keterbukaan terhadap masyarakat dalam menentukan siapa yang pantas menjadi pemimpin daerah melalui elected officials menjadikan pilkada tak ubahnya catur monopoli DPRD.

Semangat untuk melahirkan pilkada yang demokratis dibawah payung hukum UU 22 Tahun 1999 hanya bertahan kurang lebih 4 (empat) tahun, arus kencang serta political will untuk mengakhiri gejala money politic di tingkat DPRD dan tinjauan kritis atas pelaksanaan pilkada tidak langsung melahirkanUU 32 Tahun 2004.

BACA JUGA : Gonta-Ganti Syarat Calon (Mantan Terpidana) (2-Habis)

Hal itu sebagai pengejewantahan kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945, dengan memberikan akses seluas-luasnya kepada masyarakat untuk memilih langsung kepala daerah sebagai wujud dari otonomi daerah yang dimaknai tidak hanya mandiri dalam mengatur dan mengurus daerah, akan tetapi juga berotonomi dalam menentukan kepala daerah sebagaimana semangat reformasi yang melahirkan otonomi politik kedaerahaan.

Secara efektif, otonomi politik kedaerahaan ini pertama kali dilaksanakan untuk memilih kepala daerah Kutai Kartanegara pada tahun 2005. Lahirnya Pasal 24 ayat (5) UU 32 Tahun 2004 menjadi tonggak awal sejarah pertama kali pilkada secara langsung oleh rakyat daerah paska amandemen UUD NRI 1945. Dalam konteks demokrasi lokal, perubahan sistem pilkada tidak langsungmenjadi pilkada langsungdiyakini dapat menghentikan praktik money politic dengan memberikan akses langsung kepada rakyat daerah.

BACA JUGA : Ikhwal Pilkada Langsung (1)

Akan tetapi faktanya dalam perjalanan pilkada langsung itu sendiri dari tahun 2005-2018, perubahan hingga penggantian payung hukum pilkada dari UU 32 Tahun 2004 sampai dengan UU 10 Tahun 2016 yang menjadi dasar hukum pilkada langsung tidak menjadikan secara mutatis mutandis persoalan money politic  itu sendiri terhenti.

Fakta empirik di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, atas tangkap tangan 4 (empat) anggota tim sukses pasangan calon (paslon) yang diduga membagi-bagikan uang ke sejumlah warga di 16 (enam belas) desa, uang yang telah disebarkan berjumlah Rp 372,8 juta.

Kondisi serupa juga terjadi di Pati, Jawa Tengah. Ribuan amplop berisi uang Rp 15 ribu telah disita. Amplop berisi uang itu beredar di 12 kecamatan.Di Pangkalpinang, Bangka Belitung, modus money politic berupa pembagian beras.

Di Kabupaten Kulonprogo, DIY, money politic  dilakukan dengan modus pemberian kalender, biscuitdan uang (Sindikasi Pemilu dan Demokrasi,04/14/2017).

BACA LAGI : Demokrasi dan Oligarki Lokal: Refleksi Kritis Menyongsong Pilkada di Kalsel

Bahkan kasus yang paling mutakhir adalah operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bowo, dimana KPK menemukan 400 ribu amplop dengan total Rp 8 miliar yang siap digunakan Bowo untuk “serangan fajar” pemilu (Detik.com,29/03/2019)  dankasus Wakil Bupati Padanglawas Utara Hariro Harahap atas dugaan praktik money politic (Kompas,16/04/2019).

Sejumlah kasus di atas paling tidak merupakan gambaran secuil pertunjukan praktik money politic dipanggung pilkada.

Dalam pada itu, money politic menjadi penyakit bawaan penghambat bangunan peradaban demokrasi lokal di Indonesia yang digunakan sebagai alat untuk memobilisasi dukungan.Oleh karenanya maka, upaya untuk menghentikan lajupraktik money politic di setiap hajatan pilkada tidak tepat benar jika hanya mengandalkan substansi hukum melalui norma-norma hukum berupa larangan dan sanksi terhadap pelakunya, baik dengan menggunakan UU 10 Tahun 2016 sebagai aturan hukum lex spesialis maupun KUHP sebagai aturan hukum lex generalis.

BACA JUGA : 74 Persen Pemilih Banjarmasin Tergiur Politik Uang? Bawaslu : Sanksi Tegas Menanti

Mengingat jika meminjam istilah dalam kajian ilmu kriminologi bahwa “seseorang yang dilarang untuk melakukan sesuatu maka semakin kreatif pula seseorang tersebut untuk mencari celah atas norma larangan yang berlaku”.

Beberapa kasus yang penulis uraikan diatas paling tidak menjadi bukti tentang kreatifitas pelaku money politic dalam mencari celah setiap aturan substansi hukum.

Oleh sebab itu, menegakkan substansi hukum tanpa diimbangi dengan struktur hukum berupa aparat penegak hukumdari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian dan kejaksaan yang tergabung dalam sentra penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) melalui amanatoleh UU untuk memproses tindak pidana dalam konteks penegakkan hukum kepemiluan dan hakim sebagai ujung tumbak dalam penegakkan hukum tersebut maka, sedetial apapun substansi hukum yang mengatur larangan dan sanksi praktik money politic tidak lebih hanya tulisan hitamputih diatas kertastanpa implementasi jika tidak dibarengi dengan integritas personal dan keberanian penegak hukum dalam menegakkan hukum kepemiluan tanpa pandang bulu.

Lebih dari itu dalam konteks efektifitas penegakkan hukum,jika hanya mengandalkan substansi hukum dan struktur hukum saja tanpa dipadukan dengan menumbuhkembangkan budaya hukum dimasyarakat juga akan menjadikan penegekkan hukum kepemiluan tersebut tidak efektif atau dengan kata lain tidak tepat sasaran.

Untuk menumbuhkan budaya hukum tentu tidak seperti membalikan telapak tangan, dibutuhkan proses waktu dankomitmen yang gigih serta upaya nyata dari KPU dan Bawaslu dalam memberikan pendidikan politik terhadap rakyat daerah sebagai subjek penentu demokrasi lokal itu sendirijuga peran partai politik,agar tumbuh kesadaran dan kepedulian tentang politik khususnya diakar rumput (masyarakat kelas menengah ke bawah)untuk tidak terlibat aktif maupun pasif dalam praktik money politic.

BACA LAGI : Terbukti Politik Uang, Komisi II DPR Minta Kontestan Pilkada Didiskualifikasi

Misalkan saja, Amerika Serikat yang sering disebut dalam pelbagai literatur sebagai mother of democracy membutuhkan waktu ratusan tahun dalam menumbuhkembangkan budayaberdemokrasi.

Kendati apa yang terjadi di Amerika Serikat tersebut tidak dapat dijadikan indikator mutlak, mengingat karakteristik budaya bangsa masyarakat yang berbeda antar negara menjadikan tidak ada penerapan demokrasi yang mutlak sama diantara beberapa negara.

Hemat penulis adalah halefektif untuk menumbuhkan budaya hukum (kesadaran untuk tidak terlibat money politic) guna memutus mata rantai money politic salah satunyamelalui peran pemerintah daerah dalam membangun ekonomi di daerah, tanpa adanya pertumbuhan ekonomi secara merata pada masyarakat kelas menengah kebawah maka praktik-praktik money politic akan selalu subur dimusim pilkada.

Survei yang dilakukan oleh Polling Center yang didanai The Asia Foundation pada tahun 2017 menujukkan bahwa masyarakat cenderung sangat permisif dengan praktik money politic.

Bahkan sebanyak 59 persen responden menilai money politic adalah rezeki. Singkatnya adalah jika masyakarat kelas menengah kebawah masih berkotat pada persoalan untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam kelangsungan hidup maka selama itu pola praktik money politic akan selalu diterima sebagai rezeki dan disisi lain oleh para kandidat calon, masyarakat kelas menengah kebawah akan selalu menjadi objek sasaran praktik money politic.

Sehingga budaya hukum sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang baik daritugas Pemerintah Daerah maka akan menjadi pekerjaan sulit dalam menumbuhkan kesadaran budaya hukum.Akhir kata, tanpa keterpaduan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum niscaya bau amis money politic atau politik uang akan selalu menyengat disetiap hajatan demokrasi lokal.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum ULM

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Demokrasi (PuSdiKraSi)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.