PSBB Terbukti Gagal? Saatnya Pakar Epidemiologi Berada di Garda Terdepan Atasi Wabah Covid-19

0

PAKAR hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Fikri Hadin menilai dalam penanganan pandemi virus Corona (Covid-19) perlu sebuah ketegasan dan konsisten dalam menegakkan aturan.

NAMUN, dalam catatan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) Unlam ini menekankan pentingnya pendekatan persuasif nan humanis, ketimbang cara-cara yang terkesan arogansif.

“Dengan begitu, ada kesadaran massal dari masyarakat yang lebih tinggi, bukan akibat keterpaksaan,” ucap Ahmad Fikri Hadin kepada jejakrekam.com, Jumat (19/6/2020).

Menurut dia, secara terminologi konstruksi hukum, penanganan pandemi Covid-19 harus lebih dulu melihat kewenangan yang dimiliki masing-masing, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

BACA : Takut Imej Buruk, Presdir BLF Catat Keberhasilan PSBB Banjarmasin Hanya 30 Persen

“Memang pemerintah pusat tidak mau menerapkan lockdown atau karantina wilayah, maka dipilihnya pembatasan sosial berskala besar (PSBB), termasuk di empat daerah di Kalimantan Selatan. Namun, penerapannya tidak optimal, sehingga kurva kasus Covid-19 justru melonjak naik,” kata lulusan magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Padahal, menurut Fikri, tujuan PSBB untuk melandaikan kurva kasus Covid-19, namun hasilnya justru bertolak belakang.

“Siapa yang disalahkan, yang merupakan tanggungjawab bersama, walau pemerintah tentu paling bertanggungjawab karena harusnya menerapkan aturan tegas ketika penerapan PSBB itu,” cetusnya.

BACA JUGA : Walikota Banjarmasin Didesak Umumkan Tiga Kali PSBB Berhasil atau Gagal?

Pegiat anti korupsi dan hak asasi manusia (HAM) ini mencatat selama PSBB berlangsung baik di Banjarmasin, Banjarbaru, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Barito Kuala (Batola) justru mencuat perlakuan petugas yang agar kasar terhadap masyarakat dan lainya.

“Padahal, sanksi administrasi dan pembebanan denda bisa diterapkan. Termasuk, sanksi sosial seperti kerja membersikan got atau lainnya. Tapi itu tidak diterapkan, sehingga PSBB seperti biasa-biasa saja,” ucapnya.

Fikri juga mengamati pelibatan level terendah seperti RT atau RW tidak maksimal, sehingga edukasi mengenai protokol kesehatan pencegahan Covid-19 seperti sekadar imbauan. Yang mencuat, beber dia, justru soal pembagian sembako yang ditengarai tidak tepat sasaran.

BACA JUGA : Bikin SE, Walikota Ibnu Sina Tegaskan Bukan New Normal, Hanya Tanggap Darurat Pasca-PSBB

“Inilah mengapa pemerintah itu jangan lagi berpikir top down, tapi bisa bottom up. Sebab, masalah Covid-19 yang kita hadapi bersama ini merupakan  kasus luar biasa, karena penyebaran begitu laju,” katanya.

Dari segi hukum tata negara, Fikri juga menyinggung justrru yang jadi rujukan selama ini hanya berupa peraturan pemerintah (PP), bukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), sehingga posisi hukumnya tidak terlalu kuat.

“Inilah mengapa perlu kepastian hukum. Padahal, jika dilihat dari aspek tata hukum negara yaitu dijalankan dengan hukum administrasi yaitu kewenangan.  Siapa yang paling berhak atau kompeten tentunya pemerintah,” cetusnya.

BACA JUGA : Walikota Tunjuk Dandim Banjarmasin Pegang Komando Tanggap Darurat Pasca-PSBB

Fikri juga mengatakan ketika awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, pemerintah justru menetapkan PSBB, maka UU karantina dan kesehatan yang berlaku. Berbeda, jika seandainya yang diterapkan itu UU Karantina Wilayah, maka bisa saja diambil langkah darurat sipil menurut militer jika kondisi benar-benar dalam keadaan darurat. Ini pernah diambil negara seperti Italia dan Amerika Serikat.

“Yang jadi ukuran sekarang adalah apakah PSBB yang sudah berlangsung itu berhasil atau gagal? Buktinya, justru kasus Covid-19 meningkat dengan tingkat kematian yang juga tinggi terjadi di Indonesia, khususnya lagi Kalsel,” cecarnya.

BACA JUGA : Anggaran PSBB Membengkak Jadi Rp 75 Miliar, Banggar DPRD Kota Banjarmasin Malah Tidak Tahu

Teranyar, kata Fikri, pemerintah pusat menerapkan kebijakan baru yaitu “new normal”, yang mengharuskan masyarakat mengikuti standar kesehatan (SOP) atau protokol kesehatan pencegahan Covid-19. 

“Adanya aturan ini, mau tak mau pemerintah daerah harus menjalankannya. Kendati ada beberapa daerah yang tak mengikutinya karena ada catatan-catatan statistik untuk belum bisa menerapkan new normal,” ucapnya.

Bagi Fikri, dalam mengatasi pandemi Covid-19, tidak bisa mengandalkan aturan, namun harus berbasis sains atau ilmu pengetahuan.

“Dalam mengatasi wabah penyakit, maka ahli epidemiologi yang berada di garda terdepan, bukan ahli hukum atau apalagi bukan ahlinya,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.