Ritual Pemilukada dalam Perspektif Teori Dramaturgi

0

Oleh : Muhammad Uhaib As’ad

ADALAH Erving Goffman, seorang sosiolog yang  terkenal karena Teori Dramaturgi yang diciptakan sebagai pisau analisa untuk mengetahui motif dan  tindakan seseorang atau kelompok sosial. Bagi Goffman, dunia politik tidak lebih sebagai sebuah panggung dari pada realitas sesungguhnya yang dapat dipahami oleh publik.

PANGGUNG (arena Pemilukada) adalah arena atau ruang instrumen untuk menampilkan atau mementaskan peran-peran tertentu tidak terkecuall peran politik fan ekonomi dalam kehidupan. Membaca penampilan para aktor atau elite di atas panggung sesungguhnya bukan penggambaran sesungguhnya tetapi sekadar imitasi atau replika dari kehidupan di luar panggung.

Bagi Erving Goffman, panggung identik dengan sandiwara, kamuflase,  dan kebohongan, kepura-puraan dalam bungkus keseriusan. Semua itu hanyalah realitas semu, artifisialistik di atas panggung yang menghipnotis struktur imajinasi publik.

BACA : Demokratisasi Pilkada dalam Cengkeraman Oligarki Lokal

Sementara bagi Abdul Halim dalam karyanya Politik Lokal (2014) menyebutnya sebagai sebagai sandiwara karena panggung hanya digunakan sesekali untuk memainkan peran yang artifisial. Disebut kebohongan berbalut realitas, sebab panggung adalah realitas yang nyata sekaligus tidak nyata. Nyata karena ada dinamika di atas panggung. Tidak nyata karena dinamika tersebut hanyalah permainan atau sandiwara belaka.

Penggambaran atau metapora performa teatrikal (theatrical performance) itu memperjelas argumen bahwa aktor atau elit melalui panggung artifisial itu menyembunyikan motif dan makna sesungguhnya. Panggung menjadi instrumen legal mempertemukan sejumlah motif kepentingan para aktor dengan berbagai pola dan karakter yang dimainkan.

Penghipnotisasian massal terhadap publik dalam konteks politik dan ekonomi di negeri ini nyaris sempurna melalui performa teatrikal (theatrical porformance) oleh aktor politik atau partai politik. Ritual Pilkada adalah salah satu performa teatrikal formal – konstitusional untuk meneguhkan kesaksian (syahadat bangsa – negara)  bahwa negeri ini adalah negara demokrasi bukan negara kerajaan (monarki) atau totaliter.

BACA JUGA : Persengkongkolan Para Aktor Berwatak Oligarki-Predator

Apa pun bentuk kualitas demokrasi  yang diproduksi melalui  ritual kontestasi elektoral dengan biaya mahal sesungguhnya tidak sebagai theatrical performance menurut Ervin Goffman.

Teori Dramaturgi (Teori Panggung) membantu kita untuk membaca peta bumi politik (landscape politik) mengenai pola dan perilaku aktor politik. Oleh karena itu, Teori Dramaturgi menjadi pisau analisa dalam membaca tindakan perilaku aktor di atas panggung. Di atas panggung itulah para aktor politik daerah berlomba-lomba melakukan political marketing, mewartakan harapan-harapan terhadap rakyat, menginjeksi struktur kesadaran politik rakyat di tengah ketidak mengertian pazzle-pazzle narasi para aktor.

Kerumunan rakyat hanya sekadar  obyek di depan panggung untuk membangkitkan libido politk secara musiman dalam gemuruh Pilpres, Pilkada, Pileg, atau betuk lain dari ritual demokrasi.

Adalah Daniel Bumke melalui tulisannya, Challenging Democratization: Money Politics and Local Democracy in Indonesia. Tulisan setebal lima belas halman itu secara tajam menyoroti praktel demokrasi paska Orde Baru atau populer disebut era demoktasi.

BACA JUGA : HRS dan Gerakan 212 dalam Pusaran Politik Indonesia

Melalui riset mendalam, Bumke menjelaskan bahwa praktik demokrasi saat ini tidak lebih meneguhkankan kembali kekuasaan oligarki yang diproduksi melalui kontestasi elektoral yang diwarnai politik transaksional. Politik transaksional ini sangat rentan melahirkan praktek penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi politik. Korupsi politik ini seperti dikemukakan oleh Buchanan (1980) dalam Rent-Seeking and Profit Seeking, bahwa korupsi politik adalah form of rent-seeking where a public official receives a bribe from an outside actor for granting access to public resources.

Sebagai leading argument dari tulisan adalah ingin menegaskan bahwa  panggung Pilkada jangan sampai menjadi Dramaturgi atau Panggung yang dimainkan oleh sejumlah aktor untuk melahirkan pemimpin (daerah) dalam Payung Agung Demokrasi. Payung Agung Demokrasi jangan sampai sekedar menjadi arena kapitalisasi dan artifisial.

Yang saya maksudkan arena kapitalisasi dan artifsial adalah para politisi daerah saat berlomba-lomba meraih kekuasaan di daerah secara instant  menggunakan struktur kesempatan gemuruh politik dan panasnya libido politik menjadi sosok  Sinterkelas.

Menampilkan sosok diri sebagai Sinterkelas yang dikemas dalam bungkus pura-pura menjadi seorang humanis, sosial, agamis, nasionalis, atau apa pun sebutan lainnya. Semua kemampuan dan strategi dikerahkan, seperti Modal Sosial, Modal Politik, dan Modal Uang agar menarik simpatik rakyat  sembari rakyat bertepuk tangan dalam dalam kegembiraan semu.

BACA LAGI : Pasar Politik di Tengah Demokrasi yang Melelahkan

Yang harus dipahami adalah bahwa aktor atau kandidat penguasa daerah tidak lain adalah sirkus yang sedang mempertunjukkan  kebolehan alias akrobatik politik di atas panggung pilkada.

Tentu saja, harapan terbesar rakyat adalah bahwa pemilukada bukanlah arena pembabtisan yang melahirkan penguasa korup seperti diungkapkan Buchanan, dan juga bukan menjadi arena Dramaturgi yang sekedar menampilkan kegenitan dan kelucuan politik sembari kita bertepuk tangan dalam kegembiran semu.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti pada Institute of Politics and Public Policy Studies Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.