HOLISTIK COVID

0

Oleh: IBG Dharma Putra

SUDAH lama, saya tidak menulis tentang covid secara lebih detail, mungkin karena frustrasi dan kelelahan pandemi. Sebuah lelah yang disebabkan oleh pandemi yang terjadi terlalu lama.

KASUS covid yang selalu ada dan seakan tak pernah mereda, bahkan belakangan ini, terjadi pertambahan jumlah kasus yang mengindikasikan terjadinya percepatan penularan, cukup memprihatinkan kita semua.

Sebuah percepatan penukaran yang sangat mungkin karena penularan virus yang sudah bermutasi jenis B.1.1.7 tersebut, yang memang sangat menular dan dari penelitian, bahkan ditemukan bukan hanya lebih menular tapi juga lebih berbahaya untuk anak anak.

Kita tak perlu berdebat lama tentang kealfaan penangganan di satu tahun terdahulu, karena mutasi hanya bisa terjadi pada penularan kasus yang tidak terkendali dan kenyataan itulah yang tertampakkan saat ini.

Kata maaf, tak perlu lagi terucapkan tapi ditebus dengan optimalisasi kegiatan di masa sekarang dan yang akan datang. Sebuah optimalisasi yang didasari dengan sebuah kecerdasan pengetahuan tentang kejadian serta sejarah masa setahun yang telah berlalu.

Secara teoritis kita sudah terlalu banyak kompromi dengan hal yang tak perlu serta salah duga terhadap angka prosentase kepatuhan masyarakat hingga berakibat terjadi penularan didalam keluarga.

Masyarakat yang secara prosentase tampak patuh ternyata menyimpan individu individu yang sangat tidak patuh didalamnya, kesimpulan kepatuhan terhadap pelaksanasn protokol kesehatan di masyarakat ternyata tak berlaku untuk sebagian individu yang berada didalamnya, yang lazim dikenal dengan ekological fallacies

Kompromi, ekological fallacies dan adanya kluster keluarga yang terjadi di setahun belakangan inilah, yang mengakibatkan munculnya kejadian nyata di masa kini. Kejadian tak meredanya kasus covid dari hari ke hari. Dengan begitu maka hal itu pulalah yang harus segera dibenahi.

Pembenahannya harus dilakukan secara paripurna, terintegrasi, menyangkut aspek personal dari covid yang meliputi manusianya, virusnya serta lingkungannya. Ketiganya secara holistik wajib direkayasa sehingga dapat berada dalam keseimbangan equilibriumnya. Pada dasarnya itulah yang dikehendaki oleh teori dasar keberadaan penyakit menular.

Virus harus dihentikan kesempatan mutasinya dengan pengendalian penularan dan WHO telah memberi petunjuk bahwa pengendalian penularan terindikasikan dari besaran positivity rate dibawah 5 persen, artinya hanya kurang dari 5 persen populasi yang ditemukan mengidap virus covid.

Melalui perhitungan rumit WHO, menghitung positivity rate tersebut dapat dihitung dan menganggapnya sebagai data yang kridibel jika satu dari setiap seribu penduduk di testing dalam setiap minggunya dan hanya kurang dari 5 persen peserta testing itu, menunjukkan hasil testing positif.

Sementara dari sisi manusianya,harus dipertimbangkan cakupan vaksinasi, khususnya vaksinasi tenaga kesehatan dan penduduk usia lanjut serta pemantapan pelaksanaan protokol kesehatan disertai dengan optimalisasi penelusuran kasus, pemastian hasil laboratorium, pelacakan yang dilanjutkan dengan pemastian penanganan tuntas sesuai ketentuannya.

Pencapaian cakupan vaksinasi pada tenaga kesehatan dan masyarakat berusia lanjut, di banyak negara dan dibeberapa daerah di Indonesia, terbukti secara emperis diikuti oleh turunnya jumlah masyarakat yang sakit yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit dan juga, turunnya jumlah kematian.

Bukan hal yang mustahil, percepatan penularan yang dutandai oleh bertambah banyaknya kasus disebabkan oleh penularan virus yang sudah bermutasi yang memang menjadi lebih menular.

Karena daya gawatnya sangat meningkat di masyarakat yang masih anak anak maka ada baiknya jika upaya untuk membuka sekolah, harus benar benar dihitung kembali dengan pertimbangan yang sangat cermat.

Tetapi apapun jenis virus yang sedang berada di panggung penularan ini, entah birus jenis lama ataupun yang baru dan sudah bermutasi, percepatan penularan ini seharusnya segera diantisipasi.

Secara lebih teknis, optimalisasi survailan dan kinerja pelayanan kesehatan harus dilakukan, terrutama untuk 3T dan dalam mempersiapkan kembali rumah isolasi serta kesiapan rumah sakit untuk penangganan kasus.

Optimalisasi 3T wajib diikuti dengan pembenahan sistem pencatatan dan pelaporan dengan penugasan pengambilan data harian ke puskesmas ataupun ke rumah sakit sehingga data harian secara pasti bisa terkumpul.

Data yang telah terkumpul diolah, dianalisa dan dijadikan informasi untuk diebar luaskan ke masyarakat oleh penguatan tim survailan disemua tingkatan pelayanan kesehatan. Pemberian informasi umum secara lengkap kepada seluruh masyarakat diharapkan bisa mengungkit serta membangun peran sertanya

Adanya kluster keluarga sudah tak bisa diabaikan sehingga diperlukan untuk menghidupkan kembali rumah rumah isolasi sehingga risiko penularan dapat dikurangi.

Kesiapan tempat serta penanganan di RS harus segera dioptimalisasi hingga bertambahnya kasus tidak diikuti dengan bertambahnya kematian akibat covid.

Selanjutnya dilakukan pengawasan protokol kesehatan yang semakin ketat dan tanpa kompromi lagi

Masyarakat sendiri mengubah pola hidup untuk menghindari risiko, artinya jika memungkinkan risiko kerumunan dikurangi, misalnya ke pasar tidak setiap hari lagi tapi setiap minggu saja sehingga bisa memilih bahan yang lebih awet

Jangan keluar rumah, hanya untuk kalan jalan tapi dengan tujuan jelas serta terencana, dan sekali keluar, menyekesaikan banyak hal yang sudah direncanakan itu Dan sesampai di rumah langsung mandi sebelum beraktivitas lain didalam rumah

Aspek lingkunganpun perlu diperhatikan dengan memprioritaskan pengawasan pada kombinasi ventilasi, durasi serta jarak. Yang berarti jika ventilasi kurang memadai jarak antar orang dan waktu berkumpul harus dikurangi secara cermat untuk mengimbanginya.

Secara nyata, menyangkut kombinasi ventilasi, durasi dan jarak ini, disarankan untuk mengadakan pertemuan yang diperkirakan memerlukan waktu agak lama secara outdoor, dengan bermasker, serta menjaga jarak ideal. Bermasker itu juga berarti tidak makan dan minum ditempat pertemuan.

Jika pertemuan terpaksa di indoor dengan ventilasi sangat baik serta jarak yang terkontrol, sebaiknya pertemuan dilakukan selama lamanya hanya dalam sejam saja dan segera diakhiri dalam seperempat jam jika ventilasinya buruk wakaupun jaraknya terkontrol.

Untuk itu jajaran pemerintah harus menjadi contoh dan segera mengelola pertemuan seperti anjuran tersebut, menjadikannya kebiasaan sehingga dapat dibawa oleh individu ASN kedalam lingkungan di masyarakatnya masing masing.
Marilah berbenah… (jejakrekam)

Penulis adalah Direktur Rumah Sakit Sambang Lihum dan Ahli Epidemologi.

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.