Jalan Politik Boyang Baciri dan Katuju Mangguplah

0

Oleh: Noorhalis Majid

TAK sulit menilai yang sudah dikenali. Ketika diketahui sering melakukan kecurangan, menyalip di tikungan, menggunting dalam lipatan, semua orang berhati-hati.

TAPI begitulah politik, selalu saja ada yang memilih jalan curang. Berusaha menang dengan berbagai cara, bahkan cara licik.

Kalau suka main domino atau remi, ada istilah boyang baciri. Boyang atau kartu, sudah diberi tanda. Agar dikenali dan menang main kartu. Tanpa melihat isi kartu, dengan ciri, sudah diketahui isi kartunya.

Kalau peserta lain tahu bahwa kartunya sudah ada ciri. Permainan batal. Kartu dibuang. Tidak layak dipakai.  Diganti kartu baru. Karenanya, kartu baru selalu menjadi syarat dalam bermain. Kartunya juga bukan milik salah seorang pemain. Agar terjamin, tidak ada yang memberi ciri dan mendapat untung atas ciri tersebut.

Dulu, di kampung, di pos ronda. Orang suka bermain kartu, khususnya domino. Sekedar mengisi waktu. Hiburan selingan. Yang kalah digantungi baterai, atau dijepit dengan jepitan jemuran.

BACA : Saksi TPS Dilatih Bawaslu, KPU Yakin Potensi Kecurangan Pemilu Tipis

Banyak yang paham cara bermain kartu. Kartu atau boyang baciri, dipinjam melihat fenomena sosial. Dalam keseharian, ada banyak jenis manusia. Semua memiliki ciri dan sifat. Ada sifat baik, ada pula sifat buruk.

Ada yang memiliki sifat tertentu, suka menyusahkan orang lain. Ingin menang sendiri. Manimpakul. Umpat batang timbul. Track record-nya sudah diketahui tidak baik. Pada orang seperti ini, bila ikut kotestasi, muncul keraguan, sebab sudah diketahui sifatnya, sudah ada cirinya. Terhadap boyang baciri, orang akan berhati-hati, agar tidak terpedaya, tertipu.

Berhati-hatilah menjalani hidup. Segala sifat dan tindakan, selalu dilihat orang. Hidup ini seperti  berada di aquarium. Tanpa disadari, ada yang melihat dan mengawasi. Kesalahan, keburukan, menjadi rekam jejak yang sulit dihapus, dan bila melahirkan traumatik, kebudayaan Banjar menyebutnya “ada boyang baciri”

BACA JUGA : Kamirawaan; Apakah Masih Ada Kedaulatan dan Marwah Urang Banjar?

Politik itu ruang negosiasi, semakin piawai berpolitik, semakin hebat kemampuannya bernegosiasi.  Politisi hebat tidak akan “tatak batang”, dia akan terus berkomunikasi dan melakukan negosiasi sealot mungkin, sampai pada titik tertentu saat dirasa menguntungkan, keputusan pun diambil. 

Sebab kalau diteruskan, belum tentu mendapat hasil, bahkan boleh jadi kalah. Berspekulasi, menghentikan proses yang masih jalan, karena yakin kemenangan dapat diraih, itulah yang dimaksud katuju mangguplah.

Satu istilah dalam permainan domino. Mempertaruhkan kartu di tangan untuk ditarung dengan kartu lawan. Berpotensi menang atau sebaliknya kalah. Bila jumlah bilangan kartu lebih sedikit, akan menang. Sedangkan, kalau bilangannya banyak, dan kartu lawan lebih sedikit maka akan kalah, bahkan hukuman kekalahannya dilipatgandakan. Begitulah konsekuensi menghentikan permainan.

BACA JUGA : Pilkada, Memenangkan Integritas Politik

Dipinjam untuk melihat fenomena keseharian. Bahwa tiap orang bisa saja memiliki rahasia hidup. Bila rahasia tersebut diketahui orang lain, dan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, dapat berubah menjadi kartu truf yang dimiliki oleh orang lain untuk menekan, menyandra dan menegosiasikan berbagai kepentingan.

Kartu truf sendiri istilah yang dipinjam dalam permainan kartu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada dua pengertian, pertama jenis kartu yang dimenangkan atas ketiga jenis kartu dalam permainan (bridge). Kedua, kiasan, suatu pernyataan guna menghentikan perbuatan atau kesombongan seseorang.

BACA JUGA : Parpol dan Pengkhianatan Elite Politik Terhadap Rakyat

Aib bisa menjadi kartu truf bagi orang lain. Kalau memiliki aib, bisa saja tersandra oleh aib tersebut. Akibatnya tidak dapat melakukan apapun – bahkan tidak berkutik berbuat dan bertindak berbagai hal.

Dalam politik, ternyata ada orang yang suka menawar berbagai posisi dengan menyimpan keburukan atau bisa pula kebaikan. Dengan itu dipakai menegosiasikan kepentingannya agar tercapai.

Negosiasi memerlukan argument dan bahkan kartu truf. Saat argumen dapat menaikkan posisi, keputusan pun diambil dan menang, apalagi yang bersangkutan “katuju mangguplah”. (jejakrekam)

Penulis adalah Pemerhati Budaya dan Bahasa Banjar

Anggota Forum Ambin Demokrasi

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.