Kamirawaan; Apakah Masih Ada Kedaulatan dan Marwah Urang Banjar?

0

Oleh; Sri Naida

UMA abah bahari managur mun sudah dawuh babunyi dan adzan sudah terdengar, jangan tatawaan kalo kamirawaan, artinya kalau beduk sudah dipukul dan adzan terdengar, jangan tertawa lagi, bisa kena sakit gila atau kamirawaan. Itu dulu kalimat yang sering di sampaikan orang tua, menegur anak-anaknya yang terlalu bersuka ria.

KATA kamirawaan ini disampaikan dengan keberadaan Urang Banjar saat ini. Dalam pembuka tor diskusi, Setia Budhi, seorang dosen FISIP Universitas Lambung Mangkurat, menyebutkan, seorang jurnalis pernah menuliskan bahwa keberadaan sungai dan keberadaban Urang Banjar sebagai berikut: “Jauh sebelum periode kesultanan Banjar, rakyat Bumi Lambung Mangkurat adalah urang bahari atau hidup dengan sungai dan laut, sangat paham pentingnya sungai sebagai urat nadi kehidupan.

Teknologi membuat kanal multi fungsi, sebagai hasil olah karya kebudayaan, membuktikan sebuah peradaban tinggi yang dimiliki komunitas ini, terbentuk tidak jauh dari mediasi sungai. Eksistensi keberadaan rumah lanting dan pasar terapung, yang hingga kini masih bisa kita saksikan, hanyalah sedikit bagian yang tersisa dari kebudayaan itu.”

BACA : Urang Banjar Kamirawaan; Diskusi Kontroversi Tersaji di Ambin Batang Banjarmasin

Apalagi saat ini pada abad ke-21, orientasi pembangunan yang seringkali tak lagi berpihak pada kelestarian budaya, lingkungan, bahkan manusianya, hingga mewariskan realita menyedihkan, membuat mereka menjauh dari  identitas aslinya. Tak ayal, jika sejumlah nama semisal Tatah, Handil, dan Saka yang sebenarnya mengandung arti berkenaan dengan fungsi dan luasan sebuah kanal pada masa lalu, kini tidak lebih dari sekedar simbol tanpa makna.

Fakta pada tahun 1520 ketika Kesultanan Banjar di tetapkan, tercatat seribu anak sungai di Banjarmasin. Saat ini tertinggal 200 buah saja yang masih ada airnya, sisanya membusuk jadi tempat sampah, jadi tempat hunian pinggir sungai dan yang paling parah tercemar polutan. Tak ada lagi kejayaan Pelabuhan terbesar di pulau Kalimantan.

BACA JUGA : Di Negeri Jiran, Generasi Muda Banjar Malaysia Bangga dengan Identitas Diri Urang Banjar

Kalau urang Banjar sudah lupa budaya sungai apakah masih pantas di sebut Urang Banjar? Apakah urang Banjar sudah kamirawaan? Sehingga telah melupakan marwah dan kedaulatannya sebagai urang Banjar. Menanggapi pertanyaan yang menohok ini, maka digagas oleh Ambin Batang Banjarmasin bersama Dayak-Banjar Bahadat, dengan One legacy- Satu Dayak Banjar- Forum Diskusi Kontroversi, yang untuk pertama kali dilaksanakan pada bulan Ramadhan, tepatnya Sabtu, 1 April 2023, di Ambin Batang, Kuripan, Banjarmasin.

Tak sengaja kegiatan ini dilaksanakan saat April mop, sebuah tradisi di Inggris, untuk berdusta pada orang lain tapi tak bisa marah, ini untuk mengingatkan bahwa orang mudah sekali dilecehkan dan dihinakan.

BACA JUGA : Ahmad Ulya Hidayat; Kisah Sukses Urang Banjar Bekerja di Freeport Indonesia

Diskusi kontroversi ini dimulai dengan paparan kesejarahan Urang Banjar di tanah Banua atau Kalimantan Selatan, menurut Hariyadi, dosen Senior Sejarah, Universitas Lambung Mangkurat ini, harusnya setiap orang memegang lagi atlas tentang peta dan sejarah banua. Disitulah apa dan siapa Urang Banjar? Budaya batang banyu adalah garis nadi darah Urang Banjar, jauh sebelum sejarah-sejarah kerajaan terbentuk. (silakan tambahi, rekamannya kdd)

Hadir pada diskusi ini Gusti Nur Aina, dari keturunan Pangeran Suriansyah, Sultan Banjar pertama dari Kesultanan Banjar pada tahun 1520. Narasi sebagai keturunan Sultan, papadah urang tuha untuk badiam dan kada banyak pander, atau berdiam diri, telah menjadikan adat budaya dan keturunan sultan akibatnya melunturkan marwah itu sendiri. Selama ini hanya aktif dalam keluarga, dan pernah terlibat dalam pembuatan mata uang nominal Rp 2.000 (dua ribu rupiah). Saat ini gagasan besar adalah untuk kembali aktif dalam memberikan lagi muatan tentang Kesultanan Banjar.

BACA JUGA : Petaka Perjanjian 26 Ramadhan Bikin Kesultanan Banjar Tergadai

Kembali Setia Budhi, selaku pegiat seni budaya Dayak Bakumpai, menyebutkan aksi tutup mulut ini atau sikap apatis ini membuat kita dijajak urang. Selain tidak ada kekuatan berkelompok atau berjaringan, banyak pihak yang merasa sendirian dalam mencapai karir atau puncak jabatan. Apalagi ditambah sikap apatis dan tak mau tahu, semua diukur dengan harta benda yang didapatkan seperti peribahasa mun kada jadi baras kada usah bapander. Seakan-akan semua harus diharpiahkan dengan pendapatan bukan hasil pendapat untuk solusi masalah.

Hal ini juga dikaitkan dengan aras globalisasi yang sudah terjadi di dalam politik banua. Mengutip Samuel P. Huntington, dalam globalisasi sendiri terkandung ketidaksamaan, ketidakadilan dan ketidaksetaraan, bahwa budaya merupakan komponen yang bakal menentukan kejayaan sebuah masyarakat dan bukannya komponen politik, meskipun politik bisa mengubah dan menyelamatkan budaya. Lalu kenapa Urang Banjar seakan kalah peradapannya di tanah sendiri. Fakta saat ini banyak para pemimpin Lembaga, universitas bahkan kepala daerah di Banua, bukan lagi Urang Banjar apalagi sub etnis Dayak. Bahkan para pegiat sektor ekonomi yang menguasai bukan lagi para pedagang Banjar.

BACA JUGA : Primbon dan Hitungan Mistis 1525; Jejak Hari Jadi Kota Banjarmasin ke-496

Menurut Sri Naida, kepala ahui Ambin Batang, aras diskusi mengenai suku besar di tanah Banua ini tidak untuk menyederhanakan menjadi primordialisme sempit. Namun mengenali jadi diri sendiri dapat menjadikan kekuatan akar sosial budaya dan kolegial politik di Banua menjadi kokoh. Dia sepakat dengan Profesor Ramlan Surbakti, primordialisme adalah sebuah keterkaitan seseorang di dalam sebuah kelompok atas dasar ikatan kekerabatan, adat istiadat, dan suku bangsa. Sehingga hal tersebut mampu melahirkan pola perilaku dan cita-cita yang sama. Artinya wajar orang Dayak Banjar Bahadat, atau mempunyai kekuatan untuk menjadi pimpinan di wilayahnya agar akselerasi tujuan politik mensejahterakan warga dan menjaga alam segera tercapai.

BACA JUGA : Sistem Pemerintahan Desa di Kalsel, Sejak Era Kesultanan Banjar hingga Kolonial Belanda (2-Habis)

Pernyataan berbeda disampaikan oleh Khairidi Asa, jurnali senior dan Penulis lagu Banjar, bahwa tetap optismis dari segi seni budaya dan sastra Urang Banjar masih diakui dan mendapat tempat bagi urang Banjar itu sendiri. Terbukti lagu Banjar, tarian dan seni, sastra modern terus saja digaungkan, baik binaan Pemerintah, maupun aktivitas komunitas yang menjaga.

Masih mengenai kontroversi, gagasan kekuatan kologial Urang Banjar sangat jauh dalam perpolitikan, Sukhrowardi, politisi, menyampaikan bahwa sangat sulit mancari kawan sepergerakan. Dia merasa sudah kehilangan sahabat seperjuangan. Urang Banjar identik dengan sebutan sungai, dia sering disebut sebagai urang Sungai Andai, Banjarmasin ini menyebutkan bahwa, sulit sekali menegakkan benang basah di rimba raya legislatif. Program untuk masyarakat bisa saja jatuh atas lobby politik, padahal nyata-nyata sangat bermanfaat untuk rakyat. Untuk itu dia berharap forum Kontroversi ini dapat mengikatkan kembali buhul kologial itu, agar Urang Banjar kembali memiliki kedaulatan dan marwahnya.

BACA JUGA : Blunder Van Twist Dudukkan Tamjidillah sebagai Sultan Muda Kerajaan Banjar

Menarik apa yang disebut oleh Didi Gunawan, seorang jurnalis senior, Koordinator AJI Biro Banjarmasin bahwa Urang Banjar tidak hanya kamirawaan, tapi sudah kapuhunan bahkan katulahan, sehingga menunggu saja lagi azabnya. Kalau semua lini kehidupan sudah kalah tadah, maka Urang Banjar akan menutup peradaban diri sendiri.

Seakan tak mau hanyut dalam kesedihan kamirawaan ini, Ali Syamsudin Arsi sang penyair legendaris Banua, mengemuruhkan syairnya kita jangan sampai tergerus. Jangan gaspol di awal, tapi diujungnya lemah apalagi lintuk atau lemah di tenganya. Dia menyebutkan, jangan sampai bergegaslah sebelum tutup lapak pasar, jangan sampai kita kalah merebut pasar. Harus menyiapkan onderdil, bukan hanya penjual, tapi pembelinya dan lokasi harus kita kuasai. Dari hulu hilir harus dirangkul seluruhnya. Semua lina harus saling melengkapi, di setiap wilayah harus ada tokoh, di Banjar, di hulu sungai dan seluruhnya.

BACA JUGA : Nuansa Bulan Puasa di Borneo Selatan Era Kolonial Belanda

Sebagai penutup, kalau urang Banjar sudah lupa budaya sungai apakah masih pantas disebut Urang Banjar? Bahasa yang dipakai juga disebut lebih banyak Melayu, bahkan budaya Melayu lebih unggul mendominasi musik (bergambus) atau sekedar gaya berpakaian juga Melayu. Bagaimana urang Banjar yang leluhurnya asli urang Dayak, selaku penduduk asli di bumi Kalimantan Selatan atau sebutannya Banua ini. Sepertinya jauh tersingkir kepelosok kampung, apalagi tanah-tanah pijakan mereka telah menjadi bancakan lahan tambang dan kebun sawit. Miskin dan tertinggal.

Kegalauan makin terkuak. Sejak 2014, dengan politik demokrasi terbuka, makin banyak pemain dan aktor atau para pihak yang terpilih lebih banyak orang luar daerah. Seakan-akan Kalsel for sale. Bupati/ Walikota atau wakilnya bukan lagi Urang Banjar, bahkan anggota Dewan juga demikian. Apalagi sektor usaha besar dikuasai pengusaha pendatang dari berbagai etnis seluruh Indonesia. Warga Banua cukup jadi pekerja, buruh dan usaha kelas UMKM saja.

BACA JUGA : Demang Lehman : Berpuasa dan Baca Quran di Antara Bayang Kematian

Banua sudah seperti Jakarta, padahal tidak pernah menjadi ibukota Negara Republik Indonesia. Budayanya di berangus, tanahnya diambil alih dan urang Banjar cukup jadi pelengkap penderita. Pangkal muaranya adalah ada oligarki, pemilik modal besar, dan penguasa jaringan baik vertikal (pusat/ internasional) dan horizontal (daerah dan para pihak) yang menguasai dan mencengkaram Banua.

One legacy- Satu Dayak Banjar dengan Forum Diskusi Kontroversi, pada diskusi kali ini, menyebutkan dua jejak mendasar: pertama berhenti menjadi pendiam apalagi apatis. Seperti kata urang bahari, bangkitkan lagi sanggah waring, kemarahan karena terus dihina dan dijajak urang, dan kedua, pisang kada babuah dua kali, artinya seorang tidak mungkin dihina dan tertipu untuk kedua kalinya.(jejakrekam)

Penulis adalah Kepala Ahui Ambin Batang, Banjarmasin

Alumni Fakultas Biologi dan MAP Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/04/18/kamirawaan-apakah-masih-ada-kedaulatan-dan-marwah-urang-banjar/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.