Tapahuya, Praja, dan Gubernur Kalsel

0

Oleh: Budi ‘Dayak’ Kurniawan

INI kisah tentang jurnalis lokal yang tersesat dan kebingungan ketika memasuki gedung parlemen di Senayan, Jakarta.

KISAH ini bermula pada akhir tahun 1997. Kala itu, saya dikirim Surat Kabar Harian Banjarmasin Post –koran lokal terbesar di Kalimantan kala itu—untuk mengikuti ‘magang’ di Harian Kompas di Jakarta.

Sejak Kompas “membeli” Harian Banjarmasin Post pada tahun 1995, sebagai salah satu investasi pada kualitas sumber daya manusia, secara bergiliran para jurnalis dikirim belajar ke Kompas.

Ada yang belajar soal membangun divisi penelitian dan pengembangan. Ada yang belajar soal peliputan, periklanan, dan sebagainya. Umumnya segala hal ditanggung Banjarmasin Post.

Dari soal biaya kost, transportasi, hingga gaji yang tetap berjalan normal, walau yang magang tak berada dan bekerja seperti biasa di daerah. Yang penting tugas utama kala di Jakarta, seperti mengikuti pelatihan, liputan, dan segala hal yang menyangkut redaksional tetap dilaksanakan.

BACA : Sandang Status Ibukota Kalsel dan Penyangga IKN, Raperda RTRW Banjarbaru Disesuaikan

Sebagai jurnalis lokal yang saban hari di Banjarmasin meliput peristiwa politik, pertahanan, dan keamanan (Polkam), saya tentu senang dikirim belajar ke Kompas. Di koran besar yang didirikan Jakob Oetama dan PK Ojong itu saya bertemu orang-orang hebat. Para jurnalis Polkam bernama besar dengan jam terbang tinggi. Sebelumnya saya hanya mengetahui nama-nama mereka dari tulisan bermutu di Kompas, tempat mereka bekerja.

Sebut saja nama Rien Kuntari, J Osdar, atau James Luhulima. Nama-nama besar di dunia politik dan keamanan.Tentu ada rasa rendah diri ketika bertemu mereka pertama kali. Namun karena niat ingin belajar, rasa itu saya tepiskan.

BACA JUGA : Banjarbaru Tetap Menjadi Ibukota Kalsel, Ini Kata Walikota Aditya Mufti Ariffin

Saya kemudian mengikuti alur kerja Kompas. Ikut mendengar dan menyaksikan bagaimana rapat perencanaan dilakukan saban pagi. Suasana tegang menjelang deadline. Dan mendapatkan kode inisial sebagai jurnalis daerah yang magang di Kompas. XX, begitu inisial yang diberikan kepada saya untuk dicantumkan di akhir tulisan atau berita yang turut saya buat.

Dari sekian banyak penugasan di ‘Desk Polkam’, hanya satu yang selalu membingungkan. Yaitu ketika diperintahkan liputan di gedung DPR/MPR di Senayan. Kalau rute menuju Senayan dari kantor Kompas di Palmerah tentu bukan hal sulit. Karena dengan berjalan kaki –menyeberangi rel kereta—dari Palmerah ke gedung DPR/MPR hanya menghabiskan waktu sekitar 15 menit.

BACA JUGA : Ahli dan Hakim Konstitusi MK Berdebat, Pemindahan Ibukota Kalsel Disebut Kudeta Konstitusional

Yang jadi masalah adalah ketika mencari ruangan di gedung DPR/MPR, tempat acara yang harus diliput. Jauh sebelum Reformasi 1998, nama-nama ruangan di gedung DPR/MPR sangat Jawa sentris. Bahkan Sansekerta sentris. Di gedung DPR/MPR yang dibangun atas perintah Presiden Soekarno untuk penyelenggaraan ‘Conference of the New Emerging Forces (Conefo)’ itu diubah nama ruangannya sejak Orde Baru berkuasa.

Usai Bung Karno tumbang, pembangunan gedung sempat terhenti. Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera mengintruksikan melanjutkan pembangunan gedung Conefo. Namun peruntukannya berubah menjadi gedung parlemen. Di bawah Badan Pelaksana Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR RI, pembangunan dilanjutkan. Pembangunan gedung selesai secara bertahap dan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal DPR. Main Conference Building diserahkan pada Maret 1968. Secretariat Building dan Gedung Balai Kesehatan diserahkan pada Maret 1978. Banquet Building diserahkan pada Februari 1983.

BACA JUGA : Banjarmasin Tak Lagi Ibukota Kalsel Bisa Hilangkan Budaya Sungai dan Identitas Kebanjaran

Nama-nama beraroma Inggris itu pun diubah pada era Orde Baru menjadi berbahasa Sansekerta. Lalu nama-nama ruangan itu pun menjadi Grhatama, Lokawirasabha Tama, Ganagraha, Lokawirasabha, Pustaloka, Grahakarana, Samania Sasana Graha, dan Mekanik Graha.

Tak pelak nama-nama ruangan ini membuat ruwet. Jangankan bagi orang Dayak seperti saya, bisa jadi nama-nama dari bahasa Sansekerta ini bagi lidah orang Jawa sekalipun bisa membingungkan. Lalu muncul semacam petisi dari anggota-anggota DPR/MPR untuk mengganti nama-nama Sansekerta itu. Pada 14 Desember 1998, nama gedung-gedung DPR/MPR pun resmi diganti.

BACA JUGA : Berawal dari Agenda Murdjani, Rekam Sejarah Banjarbaru Disiapkan Jadi Ibukota Kalsel

Grahatama menjadi Gedung Nusantara. Lokawirasabha Tama menjadi Gedung Nusantara I.  Ganagraha menjadi Gedung Nusantara II. Lokawirasabha menjadi Gedung Nusantara III. Pustaloka menjadi Gedung Nusantara IV. Grahakarana menjadi Gedung Nusantara V. Samania Sasana Graha menjadi Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, dan Mekanik Graha menjadi Gedung Mekanik.

***

Dalam tensi yang relatif sama, kebingungan juga dirasakan ketika memasuki jalan menuju kantor Gubernur Kalimantan Selatan di kawasan Jalan Trikora di Banjarbaru. Selain lokasi yang relatif luas dan rambu penunjuk arah yang juga relatif sedikit, nama-nama jalan di perkantoran itu juga mirip.

Semuanya menggunakan nama-nama yang dekat dengan dunia sebuah lembaga pendidikan pemerintahan dalam negeri. Misalnya: Bina Praja, Dharma Praja, Karya Praja, Abdi Praja, Banua Praja, dan Praja-Praja lainnya.

BACA JUGA : Daripada Pindah Ibukota Kalsel ke Banjarbaru, Pakar Kota ULM : Lebih Baik Bangun Kota Satelit!

Dari sebuah sumber saya mengetahui, nama-nama itu datang dari alumni sebuah lembaga pendidikan pemerintahan dalam negeri ketika mereka terlibat dalam kebijakan pemberian nama jalan-jalan di komplek kantor Gubernur Kalsel.

Sebelumnya, ketika masa Gubernur Kalsel H Rudy Ariffin menjabat dan menjadi salah satu pemrakarsa pemindahan kantor gubernur dari Banjarmasin ke Banjarbaru dalam kebijakannya masih menggunakan nama-nama lokal dan tokoh lokal sebagai nama jalan-jalan itu. Namun semua berubah. Nama-nama lokal dan tokoh lokal hilang diganti nama-nama Praja itu.

Bagi orang yang akrab dengan istilah-istilah pemerintahan dalam negeri bisa jadi nama-nama yang sekarang digunakan itu tak membingungkan. Namun bagi orang kebanyakan, persoalannya jadi lain. Apalagi nama yang digunakan sangat mirip. Orang yang mencari alamat kantor dengan nama-nama yang ada itu sangat mungkin akan ‘Tapahuya’. Istilah Banjar untuk menyebut kecele karena segala hal sangat mirip. 

BACA JUGA : Kebun Raya Banua Milik Pemprov Kalsel Raih Penghargaan Terbaik

Mungkin ada baiknya –apalagi kantor atau lembaga pemerintah lokal terutama menggambarkan atau mewakili identitas daerah– mengadopsi hal-hal lokal yang khas dan bernilai. Misalnya nama-nama tokoh atau Pahlawan besar asal Kalimantan Selatan (bisa dari kalangan orang Bukit atau Dayak Meratus, Banjar, atau Bakumpai).

Misalnya nama Pahlawan Nasional, gubernur-gubernur, atau mitologi Meratus, atau nama para Panglima Bakumpai yang turut andil dalam Perang Banjar. Selain menghindari ‘Tapahuya’, setidaknya dengan memberi nama dengan identitas lokal yang kuat, reproduksi nilai-nilai dan mengabadikan sejarah dengan cara “sederhana” bisa dilakukan.(jejakrekam)

Penulis adalah Penulisn (Jurnalis) dan Aktivis

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2023/10/31/tapahuya-praja-dan-gubernur-kalsel/
Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.