Ketika Ada Salome Anggaran

0

Oleh : Anang Rosadi Adenansi

ISTILAH Salome sebenarnya adalah bernada negatif. Sebab, Salome sebenarnya sebutan jorok akronim’ SAtu LObang Rame RaMe menggambarkan sebuah peristiwa pemerkosaan sadis. Kosa kata ini lahir karena berpuluh tahun yang lalu, ketika banyak kasus kejahatan seksual yang menistakan.

LANTAS apa kaitannya dengan istilah Salome untuk sebuah penentuan kebijakan. Sebuah kebijakan pemerintah tidak akan terlepas dari dewan. Karena pemerintah itu jika ajal pikirnya berfungsi simetris dengan amanah, maka seorang pemimpin berpikir lalu merencanakan dan meningkatkan dalam pelaksanaan berbingkai kebijakan berbasis program.

Pemimpin yang baik pasti dia berhitung apa manfaatnya untuk rakyat dari sebuah program anggaran. Sebaliknya, pemimpin yang tidak berpikir, maka akan berhitung berapa besar yang didapat dari sebuah proyek. Dari olah pikir para pemimpin ini maka disusunlah program. Program itu kemudian dibawa kepada wakilnya rakyat atau anggota dewan di parlemen.

Wakilnya rakyat sebenarnya berfungsi untuk melihat, mencermati, hingga menghitung kembali apa manfaat dari usulan pemerintah. Jika tidak, maka bisa diperbaiki atau ditolak.

BACA : Habiskan 2 Tahun Anggaran Capai Rp 39,1 Miliar, Gedung Baru DPRD Banjarmasin Diresmikan

Karena itu memang fungsi dewan terfokus pada kewenangan legislasi, anggaran dan pengawasan. Jelas, tugas pokok fungsi dan kewenangan itu lebih tinggi derajatnya daripada pemerintah.

Nah, orang yang derajatnya lebih tinggi sejatinya memiliki kehormatan bukan sebaliknya menjual kehormatan. Itu ketika kehormatan dijual memang bukanlah pemerkosaan dengan istilah “Salome” tadi, tapi melangkah kepada pelacuran intelektual. Mereka sudah tidak lagi memperdulikan orang yang diwakili. Pokoknya apa saja bisa dijual. Dilacurkan asal asal syahwat duniawinya terpenuhi. Bisa pula berdagang peraturan perundang-undangan kalau di parlemen pusat, atau peraturan daerah (perda) kalau skala daerah. Bisa berdagang pula hak anggaran, atau bisa pula berbisnis dengan kewenangan pengawasannya. Intinya kadang jadi makelar.

BACA JUGA : Jangan Mengulang Kasus Dermaga Apung dan Film JSS, Ini Porsi Anggaran SKPD Terbesar di Banjarmasin

Makelar kasus dan makelar anggaran. Bisa pula jadi broker. Inilah sejatinya gambaran terjadi di republik  yang kita cintai bersama. Diksi atau frasa ini sepertinya buruk. Memang di lembaga eksekutif dan legislatif, maupun yudikatif sebagai tiga pilar utama negara demokrasi, tentu pasti masih ada orang baik.

Namun, akibat keyakinan kurang, dengan alasan kalah jumlah dan kalah suara, hingga memilih berdiam diri tidak menunjukkan kepada pemiliknya (rakyat) di mana berpihak dalam hidup ini. Artinya simple, ditambah tidak meningkatkan jumlah dikurangi tidak menghilangkan bilangan atau justru bermuara pada kesia-siaan belaka.

BACA JUGA : Rekomendasi Tak Digubris Di Proyek Dermaga Apung, Ketua LSM Mamfus: Marwah DPRD Banjarmasin Dipertaruhkan!

Semua ini terjadi memang saling berkelidan. Lahirnya pemimpin oleh rakyat yang makan ‘suap’, ketika dalam pemilihan suaranya dibayar dengan uang, jelas merasa tidak bersalah. Hal ini karena telah dilakukan banyak orang, bahkan berbangga dengan suap atau istilah kerennya politik uang. Inilah awal kerusakan fundamental yang menjauhkan  kerahmatan Allah SWT datang sehingga bala datang bertubi-tubi. Satu di antara bala itu adalah penggunaan anggaran yang bukan bicara skala prioritas. Mata pejabat seakan buta mata, telinga tuli dan seakan hatinya pun membeku sekeras batu.

BACA JUGA : Ditreskrimsus Polda Kalsel Bidik Dugaan Korupsi Pembebasan Lahan Rumdin Walikota Banjarmasin

Padahal, mereka lalu lalang di Pasar Sudimampir, Pasar Lama, Pasar Lima, Pasar Ujung Murung dan lainnya dengan kondisi seperti sekarang, justru seakan tidak ada rasa malu dengan melihat kota yang kian terpuruk. Bandingkan saja, dengan anggaran untuk membangun gedung baru; gedung dewan yang megah atau mampu membangun sebuah rumah mewah untuk ditempati atau dijadikan rumah dinas jabatan walikota.

Dari awal kebijakan anggaran itu disiapkan untuk membeli tanah dalam skema pembebasan lahan demi dalih kepentingan publik atau negara dengan beragam alasan lainnya. Inilah yang dikatakan dengan istilah Salome, melakukan ‘pemerkosaan’ terhadap duit rakyat, sehingga rakyat hanya bisa gigit jati menungu mati di lumbung padi.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua DPW Gerakan Jalan Lurus Kalsel

Mantan Anggota DPRD Kalsel dari Fraksi PKB

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.