MUI Kalsel Gelar Workshop Perda Syariah

0

MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) Kalimantan Selatan menggelar Workshop terkait Fatwa MUI Kajian Perda Syariah dan Penguatan Demokrasi di Kalimantan Selatan Menjadi Hukum Positif, Kamis (31/8/2023).

WORKSHOP yang diselenggarakan di Hotel Pop Banjarmasin itu, mengahdirkan narasumber Akademisi ULM Prof Dr Ichsan Anwari, TPID DPRD Kota Banjarmasin, serta dimoderatori oleh Ahmad Fikri Hadin.

Ketua Bidang Hukum dan Perundang-Undangan MUI Kalsel Prof H Hadin Muhjad mengatakan, perda-perda bernuansa Syariah Islam adalah bagian dari demokrasi dan merupakan kemauan masyarakat. “Sehingga pemerintah sekalipun tak berhak untuk melarangnya, karena itu merupakan fatwa dari MUI,” ujarnya.

Syariah Islam sama sekali tak bertentangan dengan Pancasila ataupun UUD 1945, dan diingatkan pula, bahwa Pancasila merupakan ideologi religius yang dicerminkan dalam sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. 

BACA: Antara Pancasila, Keberagaman dan Perda Syariah

“Kalau perda itu dimaksudkan untuk kebaikan masyarakat, mengapa harus dilarang? Pihak-pihak yang mencoba mempertentangkan Pancasila dengan Islam adalah pihak yang ingin menjauhkan Pancasila dari agama,” katanya.

Hadin Muhjad mengakui adanya pro dan kontra. “Namun perda syariah itu minevestasi dari keinginan masyarakat, sebab itu ada kaitannya dengan fatwa, sehingga itu merupakan kebutuhan masyarakat,” ujarnya lagi.

“Kemudian seperti apa kita mengharmonisasikan ini? Tapi kita tetap negara Pancasila, tetap NKRI , tidak sekuler dan juga bukan  agamis. Jadi dalam posisi seperti itu, seperti apa perda syariah diterima dengan baik oleh masyarakat?” tanya Hadin Muhjad.

Guru Besar Fakultas Hukum ULM ini mencontohkan, seperti di Bali pada saat Nyepi, itu azan tidak boleh, umat Islam di sana tidak masalah. “Namun karena Kalimantan Selatan ini mayoritas muslim tentu perda syariah itu perlu ada,” ujarnya.

BACA JUGA: Antropolog ULM Sebut Perda Ramadhan Bisa Jaga Suasana Khas Kebatinan Bulan Puasa

Sementara itu, Sekretaris Umum MUI Kalsel Nasrullah AR mengatakan, kegiatan ini adalah sangat strategis, yakni mengkaji tentang Perda Syariah kemudian dikaitkan dengan demokrasi.

“Dengan Perda Syariah itu nantinya tentu kita harus menghormati penduduk mayoritas tanpa kita melakukan diskriminasi terhadap (penganut) agama lain,” ucapnya.

“Kemudian nanti bisa dijadikan hukum positif seperti perda, tentunya pentolannya UU yang ada di atasnya, kemudian demokrasi dibahas, demokrasi itu bagaimana kalau pemilu itu bisa dilaksanakan jujur, adil dan tidak ada muatan-muatan yang curang,” ujarnya.

“Selanjutnya saya tegaskan lagi, kita jangan merubah perda ramadhan, bisa saja direvisi tapi jangan dirubah, karena perda itu sudah bagus, kemudian diperkuat,” pintanya.

BACA LAGI: Inisator Awal Perda ‘Sakadup’ Jadi Perda Ramadhan Tentang Jika Dicabut Pemkot- DPRD Banjarmasin

Prof Dr Ichsan Anwari, salah satu narasumber dalam workshop itu mengatakan, perda syariah itu konotasinya menjalankan ibadah fikih sesuai syariat Islam, beda dengan Perda Ramadhan.

“Perda Ramadhan itu dibuat untuk menghormati umat muslim menjalankan ibadah puasa, ada koridor koridor jangan berjualan di singa hari, itu intinya. Sehingga  mendapatkan kehormatan bagi umat muslim yang menjalankan ibadah puasa , jadi sebenarnya itu bukan perda syariah,” bebernya.

“Tetapi kalangan publik menyebut perda itu seolah-olah perda syariah dan diskriminatif, padahal itu tidak,” sambungnya.

“Saya berharap perda ramadhan itu juga perlu diperkuat, boleh direvisi tapi jangan sampai hilang, sebab kita di Kalsel ini mayoritas muslim,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.