Antara Pancasila, Keberagaman dan Perda Syariah
PENERAPAN Peraturan Daerah (Perda) Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003 yang kemudian direvisi dengan Perda Nomor 4 Tahun 2005 tentang Larangan Kegiatan pada Bulan Ramadhan, konon merupakan perda bernuansa syariah pertama di Indonesia.
REGULASI itu lahir mengacu pada kearifan lokal yang ada di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dengan hadirnya warung sakadup (warung tertutup) yang diatur buka selama bulan Ramadhan. Perda yang digodok di era Walikota Sofyan Arpan dan DPRD Banjarmasin hasil Pemilu 1999, kemudian direvisi pada 2005 memang memuat penerapan sanksi yang tegas.
Pengamat hukum tata negara asal Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Ahmad Fikri Hadin, menilai penerapan perda itu sebenarnya hanya mengatur, meskipun ada sanksi di dalamnya. “Anehnya, ketika perda itu ini lahir dan menjadi rujukan berbagai daerah di Indonesia, justru di Presiden Megawati Soekarnoputeri, dilanjutkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tak pernah terjadi kontroversi. Baru sekarang justru memunculkan arus penolakan segelintir kelompok secara nasional terhadap perda-perda yang dianggap diskriminatif,” kata Ahmad Fikri dalam diskusi menjelang buka puasa di Banjar Public Initiative (BIP) bertajuk Ramadhan, Keberagaman dan Perda Syariah di Kalimantan Selatan di Jalan Kayutangi II Jalur IV Banjarmasin, Minggu (4/6/2017).
Memang Perda Ramadhan yang dimiliki Pemkot Banjarmasin ini berisi larangan untuk membuka tempat hiburan, restoran, warung, rombong dan sejenisnya pada siang hari selama bulan Ramadhan. Bagi yang melanggar perda tersebut diancam kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp50 juta. Perda yang telah berumur 14 tahun itu, hanya membolehkan warung, restoran dan tempat berjualan buka pada sore hari, termasuk kegiatan pasar wadai atau pusat jajanan selama Ramadhan.
Fikri juga membeberkan soal adanya isu keberagaman serta Pancasila yang kini kembali mengemuka di publik. “Patut dicatat, perdebatan soal Pancasila itu sudah lama berakhir di era penyusunan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang tercantum soal perumusan Pancasila, kemudian disusul kelahiran Piagam Jakarta, serta gerakan separatisme di Indonesia. Saya sendiri memang membaca ada tiga versi risalah sidang BPUPKI itu. Namun, perdebatan itu sudah berakhir, karena kita sudah sepakat untuk meletakkan Pancasila sebagai dasar negara,” tutur dosen muda jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Ia mengajak agar semua bisa membaca sejarah perjalanan kelahiran Pancasila, sehingga tidak lagi dibenturkan dengan isu intoleran atau sejenisnya. “Perlu diingat kembali, para pendiri bangsa ini menyetujui Pancasila sebagai asas negara dan ideologi Indonesia. Namun, semua itu lahir dalam keberagaman bangsa ini, bukan malah menyeragamkan,” kata Fikri.
Senada Fikri, dosen muda FKIP ULM Reza Fahlevi pun mengungkapkan Pancasila itu merupakan seperti barang temuan dari kearifan lokal yang tumbuh di Indonesia. “Kelahiran Pancasila ini juga menjawab dua kekuatan yang saat itu tengah bertarung, ideologi kapitalisme dan liberalisme melawan sosialisme-komunisme. Makanya, sudah sepatutnya perbedaan siapa yang Pancasilais itu sudah berakhir sejak lama. Bagaimana pun, keberagaman di Indonesia ini merupakan fakta yang harus kita jaga, bukan malah kita memaksakan sesuatu untuk menyeragamkannya,” tuturnya.
Menariknya, Rizali Saputera, mahasiswa dalam FISIP ULM pun mempertanyakan soal keabsahan kelahiran Pancasila itu apakah pada 1 Juni 1945 atau 18 Agustus 1945. “Ya, kita harus sadari sekarang justru malah ada upaya membenturkan bahwa Pancasila hanya memiliki sekelompok orang. Padahal, Pancasila itu milik bersama dan harus dijaga, bukan malah dibentur-benturkan dengan keberagaman yang sudah ada di Indonesia,” ucap Rizali.(jejakrekam)
Penulis : Didi G Sanusi
Editor : Didi G Sanusi
Foto : Didi G Sanusi