Sentralisasi Partai Politik 

0

Oleh : Mohammad Effendy

DALAM pembahasan mengenai konsep negara, terjadi perdebatan pemikiran yang tajam antara Soekarno yang menghendaki negara kesatuan,sementara Bung Hatta lebih cenderung ke bentuk federasi. 

BENTUK negara kesatuan yang digagas Soekarno tidak lepas dari arah pemikiran yang sudah lama menjadi dambaannya, yakni persatuan rakyat.  Sementara Bung Hatta yang lama hidup di Eropa sangat memahami dan mengetahui bahwa di sana tersebar negara dengan wilayah yang relatif kecil.

Dua arus pemikiran yang sama-sama brilian tersebut mencapai titik kompromi yang sangat akomudatif.  Indonesia disepakati menjadi sebuah negara kesatuan sebagaimana gagasan Soekarno, namun akan memberikan otonomi yang luas kepada daerah seperti yang ditawarkan Bung Hatta. 

Dalam perkembangan penyelenggaraan pemerintahan terjadi tarik menarik dan pasang-surut antara dua konsep pemikiran tersebut.  Terkadang sentralisasi kekuasaan yang menguat sebagaimana dipraktikkan oleh rezim Orde Baru, namun sempat berubah ke arah penguatan daerah di awal reformasi.

BACA JUGA : Tunggu Hasil Pileg 2024, Sejumlah Parpol Sepakat Calonkan Kader Sendiri di Pilkada Kalsel

Akan tetapi sekarang sangat dirasakan bagaimana arah pemerintahan dijalankan menuju sentralisasi dengan menempatkan posisi Pusat yang dominan. Praktik penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik ternyata diikuti juga oleh perilaku partai politik yang menempatkan kewenangan pimpinan pusat pada titik dominan dalam semua pengambilan keputusan politik. 

Kedudukan pimpinan parpol tingkat daerah ditempatkan sebagai pelengkap instrument organisasi yang memiliki kewenangan yang sangat terbatas. Ironisnya, pimpinan parpol daerah sama sekali tidak diberi kewenangan untuk menentukan dan memutuskan calon kepala daerah di wilayahnya sendiri.  

BACA JUGA : Pusat Studi KPKP UI Rilis Hasil Survei 5 Besar Parpol Jadi Pilihan di Kalsel, Ini Daftarnya!

Pimpinan parpol daerah hanya sebatas mengusulkan ke DPP agar mendapat restu partai, bahkan sering terjadi nama yang diputuskan oleh DPP berbeda dengan usulan pengurus parpol daerah. Kondisi ini tentu saja kurang sehat, di samping dapat menghambat pembangunan demokrasi juga tidak memberikan pendidikan politik yang baik secara internal maupun bagi masyarakat luas. 

Ke depan dominasi DPP parpol yang sangat berlebihan tersebut sebaiknya dilakukan perubahan.  Jika DPP tidak berkeinginan melakukan perubahan, maka perlu diperjuangkan agar daerah diberi ruang untuk mendirikan partai politik lokal sebagaimana di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD).  Kehadiran partai politik lokal dapat sebagai penyeimbang dan kompetitor terhadap arogansi DPP parpol.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM)

Mantan anggota KPU Provinsi Kalsel

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.