Mampukah ULM Cegah Potensi Kekerasan Seksual?

0

Oleh : Helda Apriliyanti

KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menilai Universitas Lambung Mangkurat (ULM) mampu mencegah potensi kekerasan seksual di lingkungan kampus melalui peran aktif Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS).

SATGAS PPKS yang terbentuk selama setahun terakhir telah melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal hingga mendapatkan penghargaan Kemendikbudristek pada puncak peringatan Bulan Merdeka Belajar 2023. Demikian kata Rektor ULM Ahmad Alim Bachri di Banjarmasin, Jumat, 2 Juni 2023.(Antaranews.com)

ULM sebagai perguruan tinggi negeri (PTN) unggul di Kalimantan Selatan berkomitmen untuk mencegah dan menangani segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Permasalahan kekerasan seksual mungkin tidak tampakdi permukaan namun seperti fenomena gunung es yang sebenarnya banyak terjadi, tetapi tidak terekspose.

BACA : Kasus Kekerasan Seksual dan Unsur Kondisi Psikis dalam Pertanggungjawaban Pidana

Kekerasan seksual di dunia Pendidikan sungguh memprihatinkan, Terkait hal ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), pada 3 Mei 2023 lalu, menyampaikan siaran persnya berjudul “FSGI: Setiap Pekan Terjadi 1 Kasus Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan, dalam 5 Bulan Korban Capai 202 Anak”.

Adapun khusus yang terjadi di satuan pendidikan, Komnas Perempuan menyebut, pada 2020, jumlahnya sekitar 88 persen dari total kasus yang diadukan. Sebanyak 27 persen di antaranya, terjadi di lingkungan perguruan tinggi. (kemendikbud.go.id, 19-1-2023).

BACA JUGA : Tangani Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, ULM Segera Bentuk Satgas PPKS

Berbagai upaya dilakukan pemerintah dalam rangka penangangan kasus kekerasan seksual diantaranya beberapa regulasi dikeluarkan demi menciptakan ekosistem pendidikan yang aman dari kekerasan. Antara lain Permendikbud Nomor 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan (PPKS) di Lingkungan Satuan Pendidikan, serta Permendikbudristek Nomor. 30/2021 tentang PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi berikut pedoman pelaksanaannya.

Sebagaimana yang disampaikan di atas bahwa kampus ULM menjalankan regulasi ini. Pemerintah mengklaim bahwa langkah-langkah strategis tersebut cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Buktinya antara lain makin banyak korban yang berani bicara, bahkan sebagian pelakunya berhasil dilaporkan.

BACA JUGA : Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, Aktivis Perempuan Dorong ULM Segera Bentuk Satgas

Namun pertanyaannya, mengapa kasus-kasus kekerasan seksual yang tetap saja bermunculan, sedangkan kasus-kasus sebelumnya belum tuntas terselesaikan. Mampukan upaya ini mencegah kekerasan seksual? Maraknya kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan justru menjadi bukti penguat atas rusaknya sistem kehidupan yang sedang diterapkan. Saat ini, sistem kehidupan sudah sangat jauh dari nilai halal-haram, mulai dari level individu, keluarga, masyarakat, hingga negara.

Bahkan, negara berperan paling besar dalam menciptakan kehidupan rusak, mengingat posisinya sebagai sumber sekaligus penerap berbagai aturan kehidupan. Negara yang tegak di atas asas sekuler kapitalistik neoliberal tentu akan menerapkan aturan-aturan yang senapas dengan asasnya, padahal aturan sekuler ini dipastikan akan menghasilkan corak hidup yang rusak dan merusak seperti yang kita lihat sekarang.

BACA JUGA : Implikasi Permendikbud Ristek 30/2021 Terhadap Penegakan Etika Dan Norma Serta Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi

Sistem sekuler memberi kebebasan bagi perilaku menyimpang, seperti aktivitas pacaran, elgebete, dan sejenisnya. Belum lagi, peran media yang banyak merangsang pemenuhan naluri seksual secara liar.

Sistem ini telah mengikis ketakwaan individu. Walhasil, kriminalitas marak terjadi, mulai dari perundungan, penganiayaan, pelecehan, intimidasi, hingga pembunuhan. Kasus-kasus seperti ini adalah efek penerapan sistem sekularisme. Tidak akan selesai dengan perubahan UU atau pembuatan RUU yang notabene berasal dari pikiran manusia yang lemah dan terbatas.

Berbeda dengan Islam, manusia diarahkan untuk hidup sesuai fitrahnya dengan berbagai aturan hidup yang menjamin kebahagiaan. Bertindak dengan standar halal dan haram tidak sekedar mengikuti nafsu belaka, menyaring semua informasi yang didapat, dan menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan baik dalam ranah sosial maupun privat.

BACA JUGA: Kalangan Jurnalis Butuh Pelatihan soal Gender dan Kekerasan Seksual

Adanya kontrol sosial di masyarakat dengan aktivitas dakwah amar makruf nahi mungkar. Termasuk satuan pendidikan, benar-benar berfungsi sebagai pilar peradaban karena semua komponen yang ada yaitu pendidik, kurikulum, dan metode pembelajaran terintegrasi demi mencapai tujuan pendidikan Islam.

Adapun negara, konsisten menerapkan aturan Islam kaffah, termasuk sistem perihal media massa dan sanksi yang mencegah terjadinya berbagai penyimpangan sejak awal. Wallahu a’lam bishshawab.(jejakrekam)

Penulis adalah Aktivis Muslimah di Kalimantan Selatan

Editor Ipik Gandamana

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.