Implikasi Permendikbud Ristek 30/2021 terhadap Penegakan Etika dan Norma serta Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi

0

Oleh : Fadilla Ashifa

RANCANGAN Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) oleh Komnas Perempuan yang menyatakan bahwa kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang.

HAL itu menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

Kekerasan seksual dapat terjadi oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, bahkan salah satunya kekerasan seksual dapat terjadi di lingkungan kampus atau perguruan tinggi.

BACA : Kalangan Jurnalis Butuh Pelatihan soal Gender dan Kekerasan Seksual

Berdasarkan laporan survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020, menunjukkan sebanyak 77% tenaga pengajar kampus menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di perguruan tinggi dan 63% di antaranya enggan untuk menyuarakan sebab adanya rasa ketakutan akan mendapatkan stigma negatif.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menanggapi realitas kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kemendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Permendikbud Ristek menjadi pedoman perguruan tinggi dalam menyusun kebijakan dan mengambil tindakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang ada di lingkungan kampus.

Pro-Kontra terhadap Pengesahan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021

Kontra

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) hingga saat ini masih menuai pro dan kontra yang dari masyarakat.

Salah satunya yang berasal dari Persyarikatan Muhammadiyah yang menyatakan bahwa Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 memiliki beberapa masalah dari aspek formil dan materiil.

BACA JUGA : Cegah Kekerasan Seksual di Kampus, Aktivis Perempuan Dorong ULM Segera Bentuk Satgas

Dari segi formil, Peraturan Menteri ini dianggap tidak memenuhi asas keterbukaan dalam pembuatannya karena pihak-pihak yang terkait dengan materi Permendikbud Ristek ini tidak dilibatkan secara meluas dan minimnya informasi dari tahap penyusunannya.

Selain itu, Permendikbud Ristek ini dinyatakan tidak tertib materi muatan karena ada beberapa kesalahan terkait pengaturan yang melampaui kewenangan. Dari segi materiil, dianggap terdapat beberapa masalah di beberapa poin pasal-pasal Permendikbud Ristek ini, seperti yang ada di Pasal 1 Angka 1 terkait kalimat “ketimpangan relasi kuasa” dan Pasal 5 Ayat (2) terkait frasa “tanpa persetujuan korban”, rumusan Permendikbud Ristek ini juga dapat memicu makna melegalkan perbuatan seks bebas yang berdasarkan persetujuan.

Faktor lain menurut Persyarikatan Muhammadiyah yang terdapat masalah materiil adalah adanya pelanggaran nilai agama dan sila ke-1 Pancasila.

Kemudian, sanksi pada Pasal 19 Permendikbud Ristek terkait penghentian bantuan dan penurunan tingkat akreditasi bagi kampus yang tidak melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dinyatakan tidak proporsional.

BACA JUGA : Korban Catcalling Uniska Masih Belum Menampakkan Diri, Ini Kata Rektor

Guru Besar IPB, Prof. Euis Sunarti  juga berpendapat bahwa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 masih membutuhkan pembenahan. Beliau berpendapat terdapat tiga poin yang harus direvisi dan pelurusan mengenai sexual consent, sehingga tidak menimbulkan pemahaman-pemahaman yang lain, dan tidak adanya perlindungan terhadap identitas gender yang didefinisikan dapat berubah-ubah.

Dia mengatakan bahwa Permendikbud Ristek ini harus dirancang sesuai dengan sila pertama dari Pancasila maupun nilai-nilai agama.

Pro

Ungkapan pro terhadap Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 ini disampaikan oleh Menteri Agama Indonesia,  Yaqut Cholil Qoumas. Dia menyampaikan ujaran dukungannya ini karena menganggap pentingnya Permendikbud Ristek ini sebagai landasan hukum untuk mengatasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.

Menurutnya, tidak ada alasan untuk tidak mendukung Permendikbud Ristek ini karena hal ini merupakan langkah yang revolutif dan dapat menyelesaikan kebekuan permasalahan kekerasan seksual di kampus.

BACA JUGA : Jadi Korban Kekerasan Seksual Ayah Tiri, Gadis Pengemis Ditampung di Rumah Singgah

Selain itu, dukungannya juga diwujudkan dengan mengeluarkan Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemenag tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (PTKN).

Ujaran dukungan lain terkait Permendikbud Ristek ini juga berasal dari koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) yang menyatakan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 merupakan sebuah hal strategis yang dilakukan pemerintah dalam membuktikan keseriusannya menghadapi permasalahan terkait kasus kekerasan seksual dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Hubungan antara Kekerasan Seksual dan Penegakan Etika dan Norma

Etika dan norma tidak akan pernah meluruskan dan membenarkan tindakan kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan etika, norma agama dan norma lainnya, serta tidak sesuai melanggar nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Pada umumnya untuk menegakkan norma-norma tersebut organisasi memberlakukan suatu aturan kode etik yang harus dijalankan oleh anggota organisasinya, tidak terkecuali di dalam lingkungan kampus.

Kode etik di dalam lingkungan kampus menjadi alat penuntun bagi seluruh sivitas akademika untuk berperilaku dan bertindak. Jika, kode etik itu dilanggar akan mendapatkan sanksi dan hukuman sesuai dengan ketentuan yang disepakati.

BACA JUGA : RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) Melanggengkan Liberalisme

Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021 merupakan perwujudan nyata dari adanya norma hukum. Permendikbud Ristek ini menjadi landasan hukum yang butuh ditegakkan untuk mewujudkan keadilan terhadap tindakan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Pelanggaran atas Permendikbud Ristek ini akan mendapatkan sanksi secara tegas sehingga harapannya pelaku mendapatkan efek jera dan angka kekerasan seksual dapat menurun.

Keterkaitan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 terhadap Kasus Kekerasan Seksual Universitas Riau

Kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sekarang ini semakin banyak bermunculan. Salah satunya yang terjadi di Universitas Riau yang terungkap pada tanggal 27 Oktober 2021 yang dialami oleh mahasiswi berinisial “L” jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

Kasus ini bermula pada saat mahasiswi tersebut hendak melakukan bimbingan skripsi kepada dosen berinisial “SH” yang merupakan seorang dekan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau.

Keterkaitan kasus kekerasan seksual di Universitas Riau terhadap Permendikbud Ristek No.30/2021 bisa memuat ke dalam beberapa hal. Saat ini Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa tidak akan memberikan toleransi terhadap kasus kekerasan seksual di kampus.

BACA JUGA : Bekas Luka Korban Kekerasan Perempuan dalam Lukisan Kelinci Karya Dhea

Dalam kasus kekerasan seksual di UNRI, koordinasi antara Kemendibud Ristek dan rektor UNRI terus dilakukan untuk mencari jalan penyelesaian yang mengacu pada Permendikbud Ristek No.30 Tahun 2021.

Rektor UNRI menanggapi kasus ini dengan serius dan akan menyelesaikan kasus kekerasan seksual tersebut untuk mewujudkan keadilan kepada korban. Data juga menunjukkan pihak UNRI menyarankan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk membuat tim khusus untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang terjadi.

Tindakan yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus ini melanggar Permendikbud Ristek Pasal Pasal 5 ayat (2) huruf C, D, dan L. Pelaku mengucapkan kata-kata merayu kepada korban tanpa persetujuan, seperti  mengatakan “I Love You”. Pelaku juga menatap korban dan meminta untuk mendongakan kepalanya yang menimbulkan rasa tidak nyaman pada korban.

Kemudian, pelaku juga menyentuh, memegang, dan mencium tanpa persetujuan korban yang mana hal ini tampak jelas dari tindakan pelaku yang menggenggam bahu dan kepala korban, serta mengusap kepala korban pada saat itu.

BACA JUGA : Penanganan Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Banjarmasin Banyak Tak Tuntas

Pasca terjadinya insiden tersebut, berdasarkan data yang telah didapatkan saat ini korban mengalami ketakutan dan trauma berat. Oleh demikian, jika mengacu pada Permendikbud Ristek No.30/2021, korban berhak mendapatkan penanganan yang tertulis pada Pasal 10 yaitu pemulihan korban dan Pasal 11 yaitu bentuk penanganan korban seperti, konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi dan/atau bimbingan sosial dan rohani.

Hal ini membutuhkan persetujuan korban atas segala penanganan yang akan diberikan, namun persetujuan ini bisa diwakilkan kepada orang tua/wali korban jika korban berada di situasi dan kondisi yang tidak bisa memberikan persetujuan.

Saat ini korban masih dilanda rasa takut dan trauma berat, maka sesuai dengan Permendikbud Ristek korban patut diberi penanganan berupa pemulihan sesuai dengan yang tertera pada Pasal 20, yaitu pemulihan seperti tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis dan/atau bimbingan sosial dan rohani.

BACA JUGA : Narasi Perempuan Tuntut Kekerasan Berbasis Gender Dihentikan lewat Aksi 16HAKtP

Berdasarkan Pasal 12, sebagaimana korban masih berstatus sebagai mahasiswa maka berhak untuk mendapatkan jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan, jaminan perlindungan dari ancaman fisik dan ari pelaku atau pihak lain, jaminan kerahasiaan identitas, perlindungan korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana, dan lain-lain.

Sanksi dapat dikenakan kepada pelaku sebagaimana yang tercantum pada Pasal 13 tentang pengenaan sanksi administratif karena pelaku merupakan seorang pendidik. Jenis sanksi yang dapat diterima pelaku tercantum pada Pasal 14 yang terdiri dari teguran tertulis dan pernyataan permohonan maaf (sanksi ringan), diberhentikan sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan (sanksi sedang), dan pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik (sanksi berat).

Sanksi juga dapat diberikan kepada pihak Universitas Riau jika terbukti tidak melakukan penanganan kasus ini sesuai yang tercantum pada Pasal 19. Sanksi yang dapat diberikan adalah penghentian bantuan keuangan kepada pihak UNRI dan penurunan akreditasi untuk perguruan tinggi.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia

Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.