Mayoritas Pemerintah Daerah Di Kalsel Berada Di Zona Kuning Pelayanan Publik

0

MAYORITAS Pemerintah Daerah (pemda) di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) berada dalam Zona Kuning Pelayanan Publik. Ini adalah data faktual berdasarkan hasil penilaian dari Ombudsman Republik Indonesia (RI) Tahun 2022.

PENILAIAN yang telah berlangsung sejak 2015 ini menyasar seluruh pemda di Kalsel, baik di tingkat provinsi, kota maupun kabupaten. Hasilnya sudah diserahkan pada pertengahan Februari 2023 yang lalu dimana dari 14 pemda, 9 masuk kategori Zona Kuning, sedangkan 5 sudah di kategori Zona Hijau.

Kelima pemda yang masuk Zona Hijau adalah Pemerintah Kabupaten Tanah Laut (86,61), Pemerintah Kota Banjarbaru (84,74), Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu (84,57), Pemerintah Kabupaten Balangan (80,78), dan Pemerintah Kabupaten Tabalong (79,36).

BACA: Pemprov Kalsel Dorong SKPD Meningkatkan Nilai Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Penilaian Ombudsman RI dilakukan secara serentak di tingkat nasional dan daerah, pada 25 kementerian, 14 lembaga, 34 pemerintah provinsi, 98 pemerintah kota dan 415 pemerintah kabupaten se-Indonesia.

Penilaian dimaksudkan agar kementerian, lembaga dan pemda terus berkomitmen dan berupaya meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama kepatuhan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik.

“Ini adalah bagian dari pelaksanaan fungsi dan tugas Ombudsman RI sebagaimana UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia, serta merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) dalam 7 Agenda Pembangunan yang menyangkut Transformasi Pelayanan Publik sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 18 Tahun 2020,” ungkap Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel Hadi Rahman dengan jejakrekam.com, Rabu (4/4/2023).

Perubahan Penilaian, Opini Pengawasan Ombudsman RI

Tahun 2022, Penilaian Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Ombudsman RI atau yang saat ini dikenalkan dengan sebutan Opini Pengawasan Ombudsman RI mengalami berbagai perubahan.

Pertama dari sisi variabel dan indikator penilaian yang lebih komprehensif. Tidak hanya berfokus pada standar pelayanan yang sifatnya service delivery atau terkait dengan proses penyampaian pelayanan yang berhubungan langsung dengan pengguna pelayanan dan wajib dipublikasikan, tetapi juga mencakup komponen-komponen service manufacturing atau terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi penyelenggara yang perlu
diinformasikan kepada masyarakat serta berdampak terhadap kualitas pelayanan publik.

Wujud konkritnya adalah empat dimensi penilaian dengan masing-masing variabel, yakni:
Input: kompetensi pelaksana dan pemenuhan sarana prasarana pelayanan;
Proses: standar pelayanan publik;
Output: persepsi maladministrasi; dan
Pengaduan: pengelolaan pengaduan.

Kedua dari sisi metodologi. Penilaian tahun 2022 menggunakan pendekatan kuantitatif dengan beberapa teknik dalam pengumpulan data. Selain melalui observasi secara elektronik maupun non elektronik terhadap ketampakan fisik (tangible) produk-produk pelayanan yang paling banyak diakses pengguna layanan, metode penilaian dilengkapi pula dengan wawancara kepada penyelenggara layanan, wawan cara masyarakat sebagai pengguna layanan untuk merekam dimensi output, serta pembuktian dokumen pendukung standar pelayanan.

Ketiga dari aspek substansi penilaian mengalami penambahan. Dalam hal ini ada tambahan substansi untuk penyelenggaraan pelayanan publik di bidang sosial, juga bidang kesehatan yang dilengkapi dengan lokus pada dua puskesmas di setiap kota dan kabupaten. Sementara terhadap substansi yang sudah ada sebelumnya tetap dilakukan penilaian, yaitu perizinan, administrasi kependudukan, pendidikan, dan kesehatan.

Dalam pelaksanaannya, asesor dan enumerator bertugas mengambil data, dengan perolehan sekitar 1029 kertas kerja untuk seluruh pemda. Data kemudian diunggah ke dalam aplikasi, dilanjutkan verifikasi di level perwakilan hingga kontrol kualitas dan pengolahan data di tingkat pusat. Hasil penilaian disimpulkan dalam lima kategori dan tiga zona.

Zona Hijau untuk kategori Kualitas Tertinggi (interval nilai 88,00-100) dan Tinggi (interval nilai 78,00-87,99), Zona Kuning untuk Kualitas Sedang (interval nilai 54,00-77,99) dan Zona Merah untuk Kualitas Rendah (interval nilai 32,00-53,99) dan Terendah (interval nilai 0-31,99).

Hasil penilaian pelayanan publik atau opini pengawasan Ombudsman RI tahun 2022 pada tingkat pemda di Kalsel menyimpulkan dua hal positif. Pertama, jumlah pemda yang meraih predikat Zona Hijau meningkat, dari tiga pemda (2021) menjadi lima pemda (2022). Kedua, tidak ada pemda yang tergolong Zona Merah atau Kualitas Rendah dan Terendah.

Meskipun demikian, data juga menunjukkan pencapaian yang masih belum optimal sekaligus sebagai catatan untuk perbaikan kedepannya.

Pertama, secara rata-rata total nilai pemda se Kalsel menurun, dari 75,05 tahun 2021 menjadi 72,83 pada tahun 2022.

Kedua, belum ada pemda yang bisa beroleh predikat Kualitas Tertinggi dengan nilai minimal 88,00.

Ketiga, belum ada pemda yang masuk setidaknya peringkat 20 besar secara nasional.

Beberapa fakta tersebut tidak lantas diartikan bahwa pelayanan publik di Kalsel buruk, namun semestinya dijadikan sebagai tantangan, motivasi sekaligus alarm pengingat untuk sesegeranya mengupayakan berbagai langkah perbaikan agar pelayanan publik semakin berkualitas dan bermanfaat untuk masyarakat.

Strategi Pelayanan Publik

Disebutkan, upaya strategis yang patut dipikirkan dan dijalankan oleh para penyelenggara pelayanan publik.

Pertama, pembangunan pelayanan publik yang mencakup empat dimensi. Titik perhatian dapat diarahkan terutama pada dimensi input yang secara kumulatif dinilai lebih rendah dibandingkan dimensi proses, output dan pengaduan. Artinya pembenahan yang terkait dengan peningkatan kompetensi pelaksana dan pemenuhan sarana prasarana pelayanan sebagai bagian dari service manufacturing.

Dalam hal ini pemda harus bergerak bersama, tidak bisa bekerja sendiri-sendiri atau diserahkan ke satu satuan kerja saja.
Pelaksanaan pelayanan publik perlu didukung, diarahkan dan dipantau secara berkala oleh kepala daerah maupun pimpinan satuan kerja, serta melibatkan unsur perencanaan, pembinaan dan pengawasan internal secara aktif.

Kedua, pengembangan kegiatan-kegiatan dalam bentuk co-learning atau pembelajaran bersama dan co-working atau sinergi aksi-aksi nyata. Pembelajaran bersama adalah hal yang sangat penting agar pengetahuan dan pemahaman pelaksana pelayanan publik semakin optimal dan merata, tidak dimiliki satu orang saja (one man show).

Contoh aktivitasnya seperti pelatihan (training) berkala, berbagi (sharing) antar satuan kerja, tutorial oleh agen/duta pelayanan, pembinaan langsung (coaching) oleh atasan maupun pimpinan, serta konseling oleh pihak eksternal yang kompeten.

Tidak kalah pentingnya adalah pelibatan masyarakat yang lebih banyak melalui diskusi/konsultas publik sebagai bentuk pembelajaran tersebut. Dengan demikian diharapkan pelaksana pelayanan publik mampu dan mau memberikan pelayanan yang berkualitas serta mewujud dalam tataran praktik yang membawa pada terpenuhinya harapan masyarakat agar pelayanan publik lebih cepat, lebih jelas biayanya, lebih sederhana prosedurnya, serta petugas pelayanan lebih kompeten dan ramah.

Ketiga, peningkatan sensitivitas pelayanan publik. Hal ini menyangkut kepekaan terhadap kondisi dan permasalahan pelayanan publik yang terus berkembang, termasuk pemenuhan sarana prasarana bagi kelompok rentan yang belum memadai.

Kelompok ini antara lain penyandang disabilitas, lanjut usia, wanita hamil dan anak-anak. Maka tepat kiranya jika pimpinan dan pelaksana pelayanan publik turun langsung ke lapangan, memantau jalannya pelayanan sekaligus berkomunikasi dengan masyarakat sebagai pengguna layanan untuk menjaring aspirasi dan harapan mereka serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang muncul.

Keempat, penguatan inovasi. Sumbernya bisa dari hasil survei atau aduan masyarakat yang dikelola dengan efektif. Inovasi diperlukan dalam konteks menciptakan kemudahan, kenyamanan, kecepatan dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan sekaligus beradaptasi terhadap perubahan atau dinamika internal dan eksternal yang terjadi.

Inovasi dapat secara bertahap atau drastis, berwujud kecil atau besar, yang utama adalah mengarah pada prinsip konsisten dalam berkemajuan.

Hasil penilaian Ombudsman RI tahun 2022 menyimpulkan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemda di Kalsel sebagian besar masih berada di Zona Kuning. Atas kondisi ini, pemda wajib berbenah.

Segala sesuatu bisa berubah, sepanjang ada komitmen yang kuat, keterpaduan dari seluruh sumber daya serta langkah-langkah strategis yang inovatif, peka terhadap lingkungan dan berorientasi pada solusi. Harapannya, pelayanan publik makin berkualitas tinggi dan bermanfaat banyak, kepercayaan publik meningkat serta potensi terjadinya maladministrasi dapat dicegah.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.