Bincang Buku Alibi Patriarki Karya Prof Faruk; Membongkar Identitas Kebanjaran

0

BINCANG literasi menjadi agenda rutin yang dihelat Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin. Wadah nongkrong yang dihiasi kios buku di Jalan Sultan Adam Banjarmasin menjadi pilihan bagi para penimba ilmu dan wawasan.

RIZKY A Setiawan, pengelola Kambuk Banjarmasin mengatakan bincang literasi merupakan program rutin bulanan di wadah yang dikelola Ketua Dewan Kesenian Kota Banjarmasin, Hajriansyah.

“Dengan bincang literasi ini bisa memberi akses dan ruang diskusi demi kemajuan literasi di Kota Banjarmasin,” ucap pelukis muda ini kepada jejakrekam.com, Jumat (24/6/2022).

Dalam bulan Juni ini, kata Iki, Kambung menggelar dua program bincang literasi pada Rabu (22/6/2022) malam, membedah buku Alibi Patriarki karya Prof Faruk HT.

BACA : Ersis Sebut Muhammad Arsyad Al-Banjari ‘Datu Literasi Banjar dan Nasional’

Kemudian, berlanjut pada Jumat (24/6/2022) malam, membicarakan buku Pilkada dan Tambang Oligarki yang Makin Menguat karya Dr M Uhaib As’ad dengan narasumber pakar hukum tata negara Prof Denny Indrayana dan Direktur Eksekutif Walhi Kalsel, Kisworo Dwi Cahyono.

Iki Setiawan-sapaan akrabnya mengungkapkan dalam bincang literasi Alibi Patriarki yang merupakan karya Urang Banua di Yogyakarta itu. Menariknya, Hajriansyah pun jadi pemantik diskusi.

Hajriansyah menyampaikan bahwa buku tersebut selain membincangkan persoalan atau wacana feminis dalam bingkai hegemoni, juga membicarakan soal orang Banjar dan identitas globalnya.

“Termasuk pula soal kebudayaan hari ini yang kita temukan sangkan-paran (keasalan) paradigmatiknya melalui buku ini,” tutur Hajri.

BACA JUGA : Fenomena Dunia, Literasi Digital Anak Muda Disebut Masih Rendah

Persoalan identitas ini menjadi hal yang menarik. Itu ketika akademisi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Arif Rahman menjelaskan lebih jauh terkait dengan penelitian S2-nya, beberapa waktu lalu di UGM Yogyakarta.

Buku karya Prof Faruk HT soal Alibi Patriaki yang menjadi bahan perbincangan literasi di Kambuk Banjarmasin. (Foto Kambuk Banjarmasin)

“Saya sepakat dengan Faruk bahwa identitas Kebanjaran yang paling lekat dan mudah dikenali di luar wilayah geografisnya adalah ‘bahasa Banjar’. Ya, tentu saja ada hal lainnya, seperti makanan dan lainnya. Namun ketika bertemu dengan seseorang di luar Kalimantan, misalnya, orang Banjar segera dapat dikenali melalui bahasanya,” beber Arif.

Masih menurut Arif, sejarah Kebanjaran dan madam yang identik dengan merantau, dan lainnya terkait sumber-sumber lama yang ditemukannya, terutama dalam kajian antropologis.

BACA JUGA : Mafindo Targetkan Peningkatan Kompetensi Literasi Digital 4.600 Guru Sekolah Menengah

Selain Arif, penanggap lainnya adalah Intan dan Rifky. Dia mengaku belum membaca buku tersebut. Hanya saja, keduanya tertarik dengan wacana kesetaraan gender dalam bingkai feminologi. Intan mengemukakan pengalamannya berinteraksi dalam aktivisme gender, yang harus disikapi secara kritis pula.

“Demikian pula buku ini dapat dijadikan alat membongkar isu-isu wacana feminis secara historis dan kritis,” kata pria asal Kandangan yang lama kuliah di Universitas Indonesia (UI) Jakarta ini.

OwnerKambuk Banjarmasin, Hajriansyah memastikan pihaknya konsisten mengadakan program-program literasi terkait pengayaan wawasan dan pengetahuan.

“Di sini tidak sekadar menjual buku, namun juga ada kedai kopi dan makanan, dan yang lebih penting lagi diskusi-diskusi yang menarik dan aktual terkait perkembangan literasi dan kebudayaan secara lokal maupun global,” tambah Hajriansyah lagi.(jejakrekam)

Penulis Iman Satria
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.