8 Fraksi DPRD Banjarmasin Dukung Judicial Review UU Provinsi Kalsel ke Mahkamah Konstitusi

0

DELAPAN fraksi partai di DPRD Banjarmasin mendukung permohonan judicial review UU Ibukota Provinsi Kalsel ke Mahkamah Konstitusi yang rencananya dilayangkan oleh sejumlah pihak.

BANYAK pihak, termasuk Pemkot Banjarmasin, tidak merasa dilibatkan dalam penggodokan UU tersebut sehingga beleid ini ditentang.

Adapun fraksi partai yang mendukung upaya judicial review UU ini yakni Golkar, Gerindra, PAN, PDI-P, PKS, PKB, Demokrat, dan Bintang Restorasi.

BACA JUGA: Proses Legislasi Ugal-Ugalan, BLF Yakin 8 Pasal UU Provinsi Kalsel Nomor 8/2022 Dibatalkan MK

Walikota Banjarmasin, Ibnu Sina, bersyukur ke delapan fraksi partai mendukung atas pengajuan gugatan Judicial Review terkait Undang-undang (UU) Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Undang-Undang tentang Provinsi Kalsel itu sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo. Diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai UU Nomor 8 Tahun 2022 pada 16 Maret lalu.

“Alhamdulillah hari ini ulun (saya) menyampaikan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) sesuai undang-undang, dan setelah kami meminta DPRD Kota Banjarmasin melakukan penilaian dalam bentuk pansus ataukah pembahasan dimasing-masing komisi,” ucap Ibnu Sina kepada jejakrekam.com, pada Kamis (24/3/2022) siang.

BACA JUGA: Resmi! UU Provinsi Kalsel Bermuatan Pemindahan Ibukota Dikasih Nomor 8 Tahun 2022

Menurutnya, apabila kurang dari kurun 30 hari maka otomatis dianggap setuju dengan pengajuan uji materil UU Provinsi Kalimantan Selatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Ketua DPRD Banjarmasin, Harry Wijaya menyetujui sikap Pemkot Banjarmasin dalam pengajuan gugatan Judical Review ke MK. Terlebih, kata dia, masyarakat Banjarmasin tidak dilibatkan sama sekali sehingga aspirasi warga juga perlu disuarakan lewat rapat paripurna tersebut.

“Kita ingin mempertahankan status ibukota Provinsi Kalimantan Selatan ini di Banjarmasin, mudahan-mudahan perjuangan kita mendapatkan hasil yang sesuai,” ungkap Harry.

Kata Harry, mekanisme pembentukan dalam perundang-undangan dianggap tidak sesuai prosedural UU yang berlaku. “Hampir tidak ada yang dilibatkannya masyarakat Banjarmasin, selaku ibukota yang sebelum disahkannya Banjarbaru. Terutama soal sosialisasi,” ujarnya. (jejakrekam)

Penulis M Rahim Arza
Editor Donny

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.