Oleh : Akbar Rahman, Ph.D
MESKIPUN pandemi Covid-19 belum berujung. Kesadaraan pola hidup sehat semakin deras. Covid-19 menyadarkan kita untuk peduli kesehatan tubuh dan lingkungan. Sebab lainnya, kampanye pemerintah juga berperan penting mensosialisasikan pola hidup sehat.
COVID-19 banyak merubah kebiasaan dan berdampak besar pada kehidupan. Arus deras perubahan ini perlu disiapkan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam konteks kota, konsep perencanaan berbasis kesehatan sudah wajib diterapkan untuk hidup berkelanjutan.
Konsep kota sehat bukanlah hal baru, Word Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia, pernah melakukan pilot project untuk Healthy City pada tahun 1986 di beberapa kota Eropa. Tujuan WHO untuk melegitimasi, memelihara, dan mendukung proses pemberdayaan masyarakat (‘a means of legitimizing, nurturing, and supporting the process of community empowerment’). Kemudian diimplementasikan dalam Piagam Ottawa sebagi bentuk promosi kesehatan. Ini adalah awal peletakan konsep Healthy City oleh WHO.
BACA : Gaya Hidup Kekinian: Save Our Earth!
Healthy city sendiri merupakan praktik pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan mulai didengungkan pada konfrensi pertama dunia tentang The Environment and Sustainable Development di Stockholm, 1972. Setelah hampir 50 tahun, upaya untuk menggalakan konsep berkelanjutan masih banyak kendala, terkhusus di negara-negara ‘middle countries’. Hal ini menjadi dilematis karena terbentur kepentingan ekonomis untuk pemenuhan kebutuhan masyarakatnya.
Masih kurangnya SDM dalam pengelolaan pembangunan berkelanjutan menyebabkan eksploitasi SDA yang sporadis, mengenyampingkan faktor lingkungan dan keadilan sosial serta budaya masyarakat lokal. Kerusakan alam tidak terkendali dan gejolak sosial serta konflik budaya masyarakat adat tak terhidar. Padahal 3 pilar utama perencanaan pembangunan harus meperhatikan lingkungan (environments), ekonomi (economic) dan sosial budaya (equivalents). 3E ini menjadi pondasi dalam menciptakan pembangunan berkelanjutan yang sehat.
Ada dua persoalan utama penataan kawasan perkotaan di ‘middle countries’, pertama permasalahan kekumuhan dan ketersedian hunian layak untuk masyarakat. Kedua, kurang maksimalnya sarpras sebagai infrastructure supporting di ruang publik.
BACA JUGA : Sulap Kawasan Kumuh, Model Rusunawa Tepat Kurangi Kepadatan Bangunan di Banjarmasin
Solusi menuju kota sehat pertama adalah pengentasan kawasan komuh perkotaan. Pemerintah dan masyarakat harus bahu membahu dalam penanganan dan peningkatan hunian layak bagi kesehatan masyarakat. Perkuatan infrastruktur sarpras dan sistem utilitas perkotaan patut menjadi perhatian utama. Kemudian usaha mengurangi kepadatan penduduk di kawasan-kawasan permukiman yang tidak layak huni tadi, untuk selanjutnya ditata sesuai dengan standar WHO dan SNI.
Solusi kedua adalah, pemerintah menyediakan ruang publik yang sehat untuk warga kota. Upaya ini melalui peningkatan sarpras diruang-ruang publik untuk warga nyaman beraktivitas dan berolahraga, termasuk rekreasi. Ruang publik patut menjadi perhatian karena menjadi ruang relaksasi warga kota dari kepenatan dan kesibukan. Infrastruktur pendukung untuk ruang publik misalnya, akses pencapaian yang nyaman dan mudah. Sistem transportasi publik yang ramah lingkungan juga patut diperhatikan untuk mengurasi polusi udara perkotaan.
BACA JUGA : Banjir Rob Landa Banjarmasin, Akademi ULM Sarankan Pengurangan Kepadatan Bangunan
Dari kedua hal di atas, kita patut memikirkan untuk dapat hidup berdampingan dengan Covid-19 dengan menjalankan prokes yang disiplin. Semua infrastruktur perkotaan wajib mengakomodir dan menyiapkan agar masyarakat tetap dapat terlindungi oleh virus Covid-19. Healty City perlu diterapkan untuk penangan terhadap pandemi melalui program jangka pendek, menengah dan panjang.(jejakrekam)
Penulis adalah Dosen Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat
Doktor Lulusan Saga University Jepang
Arsitek di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi Kalimantan Selatan
(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)