Ajukan 7 Dalil dan 610 Bukti, H2D Bersikukuh Minta Diskualifikasi ‘Pemenang’ Pilgub Kalsel
SIDANG perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan sengketa hasil pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur (Pilgub) Kalsel pasca pemungutan suara ulang (PSU) berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu (21/7/2021).
KUASA hukum pemohon atau penggugat, Denny Indrayana-Difriadi Darjat (H2D0 dalam sidang perkara bernomor 24/PHP.GUB-XIX/2021 ini, Bambang Widjojanto (BWI) meminta agar hakim MK mengesampingkan syarat ambang batas permohonan sengketa hasil pemilihan sebagaimana diatur Pasal 158 UU Pilkada.
Ada 7 dalil diungkap mantan Wakil Ketua KPK bersama 610 alat bukti yang bisa menjadi dasar MK untuk melanjutkan pokok permohonan sengketa diajukan H2D versus KPU Kalsel bersama pihak terkait, Bawaslu Provinsi Kalsel dan pasangan calon nomor urut 01 atau peraih suara terbanyak Pilgub Kalsel, Sahbirin Noor-Muhidin (BirinMu).
610 alat bukti itu berupa kesaksian, termasuk dari tim BirinMu, handphone, video, rekaman suara, serta dokumen yang menggambarkan peristiwa pelanggaran dan kecurangan selama PSU Pilgub Kalsel.
“Tujuh dalil pelanggaran dan kecurangan PSU yang kami hadirkan kepada majelis hakim konstitusi ini bukanlah by accident, tetapi by design. Penyebabnya, peristiwa kecurangannya tidak hanya berulang sejak pemilihan 9 Desember 2020, tetapi sebarannya juga merata di seluruh wilayah PSU,” ujar BW.
BACA : Rabu 21 Juli Nanti Sidang Perdana, KPU Kalsel Yakin Gugatan H2D Ditolak MK
Anehnya, beber BWI, justru Bawaslu Kalsel mengatakan tidak ada kecurangan, tidak ada politik uang. Lebih aneh lagi, Bawaslu menyatakan untuk memenuhi syarat masif, pelanggaran politik uang harus terjadi di minimal 50 persen dari total 13 Kabupaten/Kota di Kalsel. Padahal wilayah PSU hanya terjadi di tiga kabupaten/kota. Syarat Bawaslu itu tentu saja tidak logis dan tidak rasional.
BW menegaskan, 7 dalil pelanggaran dan kecurangan PSU mencakup politik uang di seluruh kecamatan, peraih suara terbanyak Pilgub Kalsel ditengarai melakukan politik uang, menggunakan birokrasi dan aparat desa sebagai tim sukses, intimidasi dan premanisme, penegakan hukum Bawaslu tak berjalan, KPU Kalsel dituding berpihak, mengacaukan daftar pemilih tetap (DPT) hingga kehadiran pemilih yang berbeda dengan absen dan C hasil, serta NIK pemilih yang sengaja berbeda antara undangan dan KTP.
BW mencontohkan di Martapura, ada 26 desa terpapar politik uang yang melibatkan oknum RT dan aparat desa yang digaji Rp 2,5 hingga Rp 5 juta per bulan. Modus kecurangan dan pelanggaran ini dilakukan begitu rapi di seluruh kecamatan PSU. “Mereka bahkan terlibat dari mulai tahap perencanaan hingga eksekusi,” ujar mantan Ketua YLBHI ini.
BACA : Sanggah Gugatan H2D di MK, Siapkan Dalil Hukum, KPU Kalsel Kumpulkan KPU Kabupaten/Kota
BW menambahkan, para oknum RT/Koordinator RT ini juga menandatangani “Fakta Integritas”, layaknya sebuah sumpah atau bai’at berisi jaminan data pemilih yang akan memberikan suara kepada BirinMu.
Ia juga mengungkapnama-nama oknum RT yang menjadi tim sukses paslon 1 tersebut adalah KPPS yang bertugas sebagai penyelenggara pemilihan baik pada pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember 2020 maupun PSU pada 9 Juni 2021.
BACA JUGA : Kunci Gugatan H2D di Tangan Bawaslu, Fikri Hadin : Putusan Diskualifikasi Langka!
“Itu artinya, terjadi kecurangan dan pelanggaran yang sangat serius, karena KPPS yang merupakan kepanjangan tangan KPU, justru berkhianat dengan menjadi bagian dari pelaku kejahatan pemilu. Maka, dalam petitum permohonan kami tidak meminta putusan PSU, tetapi meminta kepada MK menjatuhkan putusan pembatalan sebagai paslon nomor urut 01 atau penihilan suaranya. PSU jilid dua hanya akan mengulang kecurangan-kecurangan,” papar pendiri Indonesia Corruption Watch dan Kontras ini. (jejakrekam)