Nonbar A Forest of Fortune, Walhi Ungkap Kalsel Sudah Darurat Bencana Ekologis

0

WAHANA Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Biji Kopi Borneo mengadakan nonton bareng (nobar) film berjudul: A Forest of Fortune, dalam memperingati hari lingkungan hidup se-dunia.

SEBELUMNYA, mereka melakukan aksi damai, orasi dan pembagian bibit ke jalan raya di kawasan Bundaran Banjarbaru pada pukul 14.00 Wita dan sementara, nobar film diputar sejak pukul 20.00 Wita bersama komunitas, jurnalis hingga akademisi yang turut berdiskusi di Kafe Biji Kopi Borneo, Jalan Sidodadi 2, Kelurahan Loktabat Selatan, Banjarbaru, Sabtu (5/6/2021) malam.

Direktur Walhi Kalimantan Selatan, Kisworo Dwi Cahyono mengungkapkan terkait kondisi lingkungan di 13 kabupaten/kota, mengalami darurat ruang dan darurat bencana ekologis. Lagi-lagi, ia menegaskan kembali kondisi parahnya lingkungan dan tata ruang di Kalsel, 50 persen dibebani izin tambang 33 persen dan perkebunan kelapa sawit 17 persen, belum mengenai HTI dan HPH.

“Belum lagi terkait Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang kebijakannya itu bertentangan dengan kita, mereka dapat memperoleh perpanjangan dua kali masing-masing 10 tahun terkait operasi izin tambang. Dan artinya, perjuangan kita masih 20 tahun lagi dalam melawan itu,” ujar Kisworo kepada jejakrekam.com, Sabtu (5/6/2021) malam.

BACA : Konflik Agraria, Rakyat Selalu Kalah, Walhi Kalsel Desak Pemerintah Usut Perusak Lingkungan

Selain itu, Kisworo bercerita kawasan masyarakat hutan adat Dayak Meratus belum diakui oleh pemerintah. Rata-rata, kata dia, masyarakat Dayak Meratus berada di kawasan hutan lindung.

“Karena, masyarakat Dayak Meratus masih ilegal di tanah mereka. Lokasi mereka berada di hutan lindung, pihak pemerintah cuma mengakui kawasan itu saja bukan orang-orang di dalamnya,” ujarnya.

Padahal, kata Kisworo, wilayah sana terdapat adat-istiadat Dayak Meratus yang dari dahulu telah diwarisi hingga sekarang. Terdapat banyak ritual, serta budaya-budaya yang perlu diketahui pemerintah daerah, provinsi hingga pusat.

“Saya sudah petakan, dan saya bilang kepada mereka bahwa kawasan hutan adat segera diakui oleh pemerintah. Anehnya, di provinsi tetangga sudah terdapat legalitas hutan adat. Kita malah belum,” tuturnya.

BACA JUGA : Lubang Pasca Tambang Jadi ‘Destinasi Maut’, Walhi Kalsel Tuntut Perusahaan Bertanggungjawab

Ada dua kata, Kisworo berharap kepada pemerintah untuk rakyatnya, yaitu adil dan lestari. Bukan cuma hanya lestari, kata dia, namun berkeadilan terhadap rakyat.

Sementara, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalimantan Selatan, Dwi Putra menyampaikan terkait Perda Nomor 2 tahun 2014 tentang Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan (LP2B) itu memiliki kawasan lahan 430 ribu hektare yang dilindungi.

“Berdasar bocoran data yang kami dapatkan dari dinas tanaman pangan dan hortikultura, diprediksi itu akan berkurang menjadi 291 ribu hektare dan lebih anehnya, yang mengusulkan angka itu adalah Kementerian ATR/BPN,” beber Dwi.

BACA JUGA : Geopark Nasional Meratus Ditetapkan, Walhi Kalsel: Lebih Baik Akui Wilayah Adat

Menurutnya, usulan mereka itu tidak ada hubungan sama sekali dengan pihak petani. Ada upaya pengurangan atau diskon, papar Dwi, semestinya jika menilik berdasarkan Perda dan UU, maka harus dihadirkan saksi.

“Seandainya lahan itu mengalami perubahan, dan kurang lebih, kita hampir sama dengan yang dilakukan Walhi Kalsel terhadap kementrian, terlebih terkait kebijakan perda. Itu upaya-upaya yang kita tonjolkan, bahwa tidak rela mengenai lahan petani dikurangi,” tegas Owner Biji Kopi Borneo itu.

Dibandingkan 50 persen izin tambang dan sawit, dijelaskan Dwi, berbeda sekali dengan kasus lahan petani yang sudah sedikit malah minta diskon. Dengan komitmennya, ia berharap dapat terus mengawal dan melindungi para petani di Banua.(jejakrekam)

Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.