Demokrasi 4.0 dan Media (Kesalehan) Sosial Kita

0

Oleh: Dr Muhammad Suriani Shiddiq

MASIH ingat cerita tentang Rizkia Dzatil?  Seperti pernah ditulis berbagai media, terdiam kaku, tertunduk malu, wajahnya yang ditutup masker tampak memelas.

DI HADAPAN banyak wartawan dan polisi perempuan paruh baya asal Bogor itu sambil menangis berkali-kali menyampaikan permohonan maaf kepada Tri Rismaharini yang kala itu masih menjabat sebagai Walikota Surabaya, setelah ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian melalui media sosial dan penemaran nama baik.

Usahanya meminta pengampunan berhasil, wanita yang akrab disapa Bu Risma dengan segudang prestasi itupun luluh, memaafkan sekaligus mencabut laporan ujaran kebencian yang dilakukan Rizkia.

Rizkia adalah satu di antara ratusan bahkan mungkin ribuan warga bangsa kita yang gagal memahami fungsi media sosial dalam kehidupan sehari-harinya. Media sosial yang sejak generasi 2.0 hingga generasi 4.0 sejatinya digunakan sebagai sarana membangun konektivitas dan kebersamaan, sharing pengalaman dan pengetahuan secara digital beralih fungsi menjadi sarana penyebar kebencian, caci-maki, hujatan dan fitnah tanpa kendali.

Hingga medio April 2021, data yang dihimpun Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) peredaran hoaks, misinformasi, dan disinformasi memang tak mudah dibendung. Dalam tiga tahun terakhir, jumlah hoaks yang tersebar di berbagai platform di Indonesia selalu meningkat hingga mencapai 2.024. Jumlah itu terhitung sejak tanggal 1 Januari-16 November 2020 (Kompas, 20/11/20).

BACA : Etika dalam Bermedia Sosial

Angka tersebut naik dari tahun 2019 yang mencapai 1.221 hoaks, di mana jumlah ini juga meningkat dari tahun 2018 yang mencapai 997 hoaks. Bahkan menurut survei Katadata Insight Center (KIC) yang bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika serta SiBerkreasi, 30% hingga 60% orang Indonesia terpapar hoaks ketika mengakses dan berkomunikasi melalui dunia maya.

Sementara hanya 21% sampai 36% saja yang mampu mengenali hoaks. Kebanyakan hoaks yang ditemukan terkait isu politik, kesehatan dan agama. Jika mengacu data itu dapat diasumsikan rata-rata dari setiap 312 orang ada satu penyebar virus hoaks dan ujaran kebencian. Memprihatinkan!

Demokrasi 4.0

Dewasa ini hoaks yang beredar di masyarakat bagai hantu yang menakutkan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mastel (2019) menyebutkan bahwa saluran yang banyak digunakan dalam penyebaran hoaks adalah situs web, sebesar 34,90%, aplikasi chatting (Whatsapp, Line, Telegram) sebesar 62,80%, dan melalui media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) yang merupakan media terbanyak digunakan yaitu mencapai 92,40%.

Sementara itu, data yang dipaparkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebut ada sebanyak 800 ribu situs di Indonesia yang terindikasi sebagai penyebar hoaks dan ujaran kebencian (Pratama, 2019).

Fenomena hoaks di Indonesia ini sudah menimbulkan beragam masalah. Kemunculannya semakin banyak pada saat Pemilihan Umum Presiden atau Pemilihan Kepala Daerah berlangsung. Ini dapat dilihat saat Pilkada DKI Jakarta 2017 dan semakin massif lagi pada masa Pileg, pilpres 2019 dan Pilkada serentak 2020.

Dewan Pers Indonesia menilai hoaks sudah memasuki tahap serius, apalagi hoaks memiliki rentang yang sangat lebar, mulai dari yang satir untuk menyindir sampai yang dipublikasikan melalui berbagai kanal informasi. Awalnya masyarakat mencari kebenaran atas informasi melalui media mainstream. Namun saat ini hoaks justru masuk ke dimensi lain di media sosial dan diadopsi begitu saja di media mainstream tanpa klarifikasi (Jemadu, 2019).

BACA JUGA : Agar Tak Stres Corona, Antropolog ULM Sarankan Jaga Jarak Bermedia Sosial

Presiden Joko Widodo sendiri pernah menyatakan bahwa hoaks merupakan bagian dari era keterbukaan yang harus dihadapi. Presiden meminta seluruh pihak menghentikan penyebaran hoaks dan fitnah yang dapat memecah bangsa, terutama yang beredar melalui media sosial (Widodo, 2019).

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Prof Mahfud MD mengatakan masyarakat akan dirugikan dengan banyaknya persebaran berita yang tidak jelas, di antaranya, dengan adanya keraguan terhadap segala informasi yang diterima, masyarakat menjadi bingung.

Kebingungan masyarakat ini dapat dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab untuk menanamkan kebencian, Ini mengancam sendi-sendi demokrasi yang sudah terbina cukup baik di negara kita.

Kemajuan dan ragam media komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat menyebabkan masyarakat dan negara menghadapi efek hoaks sebagai akibat communication jammed yang terjadi di masyarakat. Communication jammed disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang tidak bisa dikontrol lagi. Communication traffic yang sangat rumit menyebabkan berita-berita hoaks sebagai suatu tindakan konstruksi sosial sederhana, namun menjadi musuh masyarakat dan negara, mudah bermunculan (Bungin, 2017).

Berdasarkan pemahaman ini, penulis melihat ada relasi yang kuat antara komunikasi hoaks yang terjadi di media sosial dengan perubahan cara kita berdemokrasi di era masyarakat industri 4.0.

Mengingat media sosial adalah media yang paling banyak digunakan dalam penyebaran hoaks. Interaksi komunikasi ini menyangkut pengirim dan penerima pesan hoaks, medium yang digunakan, isi pesan dan penetapan lingkungan dan waktu yang berhubungan erat dengan proses produksi, penyebaran dan dampak hoaks bagi masyarakat.

BACA JUGA : Literasi Media Sosial

Karena itu tulisan ini mencoba menelisik secara mendalam mengenai cara penyebaran tipuan informasi dalam bentuk gosip dan rumor di media sosial, dengan mengamati kasus empiris di Indonesia. Penulis bahkan menilai sudah terjadi epidemiologi tipuan propagasi yang cukup parah sebelum dan sesudah tipuan informasi itu diklarifikasi di media massa konvensional.

Dibandingkan dengan media konvensional, memang sebaran tipuan informasi yang dilakukan media sosial kalau dibiarkan berpotensi lebih besar secara eksponensial, kecuali jika media konvensional berperan menjadi trigger penyebaran hoaks tersebut.

Selain media konvensional, generasi milenial juga memiliki peran yang sangat strategis dalam menyukseskan pembangunan demokrasi di era masyarakat industri 4.0 ini.

Perkembangan teknologi dan era disrupsi saat ini memungkinkan generasi penerus bangsa ini mengambil dan memerankan fungsinya sebagai pilar kebangsaan, terutama dengan cara aktif, kreatif dan arif dalam memanfaatkan berbagai fasilitas teknologi yang disediakan zamannya.

Generasi milenial bisa mengambil peran sebagai trigger bagi terbangunnya demokrasi yang berkualitas, manakala mereka mau dan terkelola dalam alam dan dimensinya oleh sistem serta instrumen-instrumen negara sebagai media demokrasi.

BACA JUGA : Divisi Humas Polri Sosialisasi Pemantauan Siber dan Analisa Media

Hal ini setidaknya sudah terbukti dari peran pemilih milenial pada Pemilu yang lalu yang jumlahnya mendekati angka 40 persen dari total warga negara yang menggunakan hak pilihnya. Artinya terdapat hampir 70 juta pemilih milenial yang dapat menggunakan hak kenegaraannya dalam proses pembangunan demokrasi yang sehat dan cerdas.

Peningkatan angka partisipasi pemilih pada Pemilu kemarin yang hampir mencapai angka 81 persen membuktikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara demokrasi besar yang tingkat konsolidasinya demokrasinya mengalami peningkatan tajam.

Hal ini tidak terlepas dari peran pemilih muda. Untuk itu, di era teknologi saat ini, kalangan pemilih muda merupakan segmen yang harus dikelola sedemikian rupa dengan cara dan sudut pandang era 4.0.

Dengan mengedepankan mediasi dan mengelola bakat politik serta masuknya teknologi digital dalam ruang demokrasi, maka peningkatan literasi bagi kaum milenial harus terus dilakukan sehingga mampu memainkan perannya sebagai pemilih yang cakap media, tanggap, kreatif dan advokatif. Jika ini bisa dilakukan, maka gerakan demokrasi kita yang penuh kesalehan sosial, melalui pemilu gotong royong, niscaya bisa diwujudkan.

Generasi Saleh

Kecenderungan dan fenomena yang dialami Rizkia seperti diuraikan di awal, hingga berujung masalah hukum, adalah sisi lain dari kedunguan dan kekurang-cerdasan kita memaknai fungsi media sosial melalui teknologi pintar yang ada di genggaman. Menurut Kingley Davis (2009), ini lantaran pola perilaku masyarakat kita sudah mengalami pergeseran baik budaya, etikan dan norma yang ada.

Tabiat media sosial sebagai konsekuensi pertumbuhan teknologi informasi yang awalnya menawarkan kesalehan sosial, di mana pengguna dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, menciptakan dan saling bertukar pesan secara virtual, berubah menjadi bengis dan tak berhati-nurani, karena tampil di hadapan kita seperti hendak menjagal kebaikan dan bunuh diri massal dari nilai-nilai kesalehan sosial kita.

Kehadiran media sosial sedianya sudah merubah pola hubungan sosial (social relationship) dan keseimbangan (equlibrium) yang terjadi dalam masyarakat kita. Perubahan yang cukup jelas adalah cara memahami mana yang penting dan tidak penting, bermanfaat dan tidak bermanfaat, semuanya menjadi sangat sumir, karena masyarakat kehilangan fondasi dasar dalam memahami fungsi kehadiran media sosial itu.

Tetapi kenyataan ini tidak akan terjadi selama kita bersama generasi milenial saling bahu-membahu menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kebersamaan yang saling mengingatkan, saling mengoreksi, tanpa harus menyebar benci dan caci. 

BACA JUGA : Waspadai Berita Hoax dan Paham Radikalisme, Dit Intelkam Polda Kalsel Gelar Sosialisasi ke Ponpes

Dengan begitu, semua perilaku penyebaran informasi apapun yang berhamburan di media sosial tanpa analisa menyebabkan pertukaran informasi dan pengalaman yang terjadi di jagat maya tidak terkontrol itu dapat kita hindari. Pun, demikian juga, dikresi opini masyarakat melalui media yang tak terkendali tersebut perlahan akan bisa kita kurangi.

Sebagai penutup, penulis ingin mengutip Andreas Kaplan dan Michael Haenlein (2010) yang menganggap bahwa media sosial tidak semata “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun jejaring Web 4.0 ideologi dan teknologi, akan tetapi sebuah sistem sosio-kultur masyarakat kita di era baru yang meniscayakan perlunya pertukaran user-generated content dan transfer knowledge secara sehat dan mencerdaskan.

Inilah media sosial baru yang penuh dengan kesalehan sosial. Jauh dari seburuk-buruknya kesalahan. Momen ramadhan tahun ini yang penuh dengan keprihatinan, semoga pilihan terbaik kita menggunakan media (sosial) secara waras dan cerdas dapat membentuk pribadi kita menjadi manusia demokrasi Indonesia yang seutuhnya. Wallahu’ A’lam.(jejakrekam)

Penulis adalah Penelitia Media dan Komunikasi Politik, Ketua Umum Jaringan Intelektual Muda Kalimantan/JIMKA.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.