Pilgub Kalsel Dalam Pertaruhan Bermartabat
Oleh : Dr Martadani Noor MA
SENGKETA Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kalsel tahun 2021 mengungkapkan wajah demokrasi yang buram sebagaimana keputusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan keputusan KPUD Kalsel atas pemenangan perhitungan suara pada paslon no 1 berdasarkan gugatan dari paslon no 2 atas dugaan penyimpangan suara pemilih.
ATAS adanya pembuktian suara yang tidak syah tersebut, MK memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang cukup luas dalam puluhan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang tersebar di 3 Kabupaten/ Kota dan mencakup di 7 kecamatan yang menyentuh ribuan hak suara pemilih.
Keputusan MK tersebut merupakan pukulan telak terhadap demokrasi sebagai cerminan kedaulatan rakyat bahkan memberikan gambaran keterpurukan profesionalisme hingga pemberangusan moralitas politik. Beruntung lah wajah buruk demokrasi itu, diawali ada komitmen, keberanian dan tentu kecerdasan serta kejelian dari paslon no 2 membongkar fakta penyimpangan kedaulatan rakyat tersebut agar martabat demokrasi terjaga. Meskipun fakta penyimpangan itu berpotensi “dijual-belikan” sebagaimana dalam endapan pengetahuan publik.
BACA: Tiga Gugatan Pilkada di Kalsel Segera Diputus MK, Pengamat Hukum : Jangan Berharap Putusan Ideal
Dalam pandangan sosiologi politik bahwa penohokan martabat demokrasi dapat melalui perencanaan yang matang, pengorganisian yang rapi, pengerahan sumber daya yang besar, termasuk modal ekonomi yang tidak sedikit dan berpotensi dengan aksi tipu daya serta intimidasi. Seluruh hal tersebut yang dengan sadar, aktor dan pelaku tidak peduli terhadap keluhuran dan harapan kedaulatan suara pemilih yang seharusnya dijunjung tinggi. Bukankah perilaku demikian bagai kejahatan kerah putih ? dan bagaimana menyelamatkan martabat demokrasi berhadapan dengan kejahatan tersebut?.
Kejahatan kerah putih (white collar crime) menurut temuan Hazel Croall merupakan tindakan pengrusakan untuk menjelaskan ragam aksi kejahatan elit politik ekonomi dalam urusan publik yang melibatkan sekelompok orang maupun individu. Faktor utama kejahatan kerah putih yaitu persekongkolan kepentingan kerakusan dan penyalahgunaan jabatan publik yang syah (Firdausi, F., Asih W.L., 2015).
Kejahatan demikian didesain dalam atmosfhir tertutup yang beroperasional dalam hubungan kerja sama (patronnase) transaksional antara elit dengan individu maupun kelompok non elit yang memasung dan memanfaatkan keberadaan rakyat yang kurang kesadaran dan melek politik maupun hukum. Hubungan operasional kerja sama elit dan non elit tersebut semakin samar – samar ketika elit merupakan atasan, anak buah, tersandra hutang budi maupun terikat dan atau tekanan ekonomi.
Bahkan dampak kejahatan kerah putih ini lebih dari aksi terorisme dan masuk dalam kategori kejahatan luar biasa ( extra ordinary crime). Karena aksi kejahatan elit demikian, bisa dalam bentuk terstruktur, sistematis dan masif dan gerakan sepi serta luput dalam kontrol publik (Kamasa,.F. 2016: Muhammad. H., 2019)
Warga negara yang memegang keyakinan rasionalitas bahwa, demokrasi bagian dari strategi dan alat untuk mencapai berbangsa dan bernegara yang sejahtera dan setara yang berkeadilan maka, pemilu nasional maupun lokal, harus dijaga martabat dan profesionalisme pelaksanaan demokrasi Pilgub/ Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah).
BACA JUGA: Aktivis GMNI Sebut Kota Banjarmasin Masih Kesulitan Gelar Pilkada dengan Prinsip Jurdil
Memelihara martabat demokrasi merupakan proses dan hasil dari interaksi sedikit 7 elemen utama yaitu masyarakat, eksekutif, legislatif dan yudikatif/ penegakan hukum, media masa, para paslon dan penyelenggara Pilgub/ Pilkada. Ke tujuh elemen tersebut harus memiliki pandangan dan komitmen bersama melawan kejahatan kerah putih sebagai musuh bersama. Komitmen yang sekaligus kemauan untuk teguh menerapkan penegakan hukum.
Pada elemen masyarakat, khususnya melawan kejahatan kerap putih pada Pilkada/ Pilgub, tentu membangun kesadaran dan melek atas potensi organ kejahatan kerah putih ini dan modus tipu dayanya. Kesadaran dan pengetahuan bahwa kemenangan kejahatan kerah putih akan berlanjut dalam dinamika politik dan ekonomi pasca Pilkada/ Pilgub dengan ragam penyimpangan kebijakan dan atau regulasi. Selain itu, tidaklah kalah pentingnya, meneguhkan simpul simpul kekuatan masyarakat sehingga menyatu dalam melawan kejahatan elit tersebut. Ada simpul profesional/ pekerjaan, simpul pemuda, simpul tokoh masyarakat, simpul pemuka agama dan simpul simpul lainnya di dalam masyarakat.
Terakhir, perlawanan kejahatan tersebut hendaknya dalam kepemimpinan yang secara kelembagaan ada pada pemerintah (daerah). Oleh karena itu simbol, pesan, indikator aksi pada elit daerah harus bersih dari kejahatan tersebut, agar kepemimpinannya efektif dan dipercaya oleh segenap pemangku kepentingan (stakeholder) dalam rangka menjaga Pilgub/ Pilkada yang bermartabat. Waallhu ‘alam bisawab. (jejakrekam)
Penulis adalah Akademisi, kelahiran Kalsel dan berdomisili di Yogyakarta.
(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)