Teladan dari Pedagang Karet Gelang: Tak Bisa Berkendara, Pantang Minta-minta

0

DI TENGAH modernisasi dan digital seperti sekarang ini, tentu permainan tradisional macam karet gelang cukup sulit dijumpai. Bahkan boleh dibilang sangat langka.

DENGAN wajah datar, didampingi satu buah tongkat untuk membantu dia berjalan, Supiani Akup tampak setia menunggu pelanggannya. Setiap hari, pria berusia 68 tahun itu dapat dijumpai di pinggiran Sungai Martapura, tepatnya di kawasan Siring dekat Pasar Ujung Murung.

Pada Minggu (4/4/2021) siang ditemui jejakrekam.com, Akup tampak asyik memilah warna-warni karet gelang jualannya. Sembari menganyam satu per satu laiknya tali. Ukurannya bervariasi. Dari satu meter dengan tarif Rp 5 ribu hingga paling panjang lima meter seharga Rp 50 ribu. Akup mengaku sudah lebih dari setahun berjualan karet gelang di Pasar Ujung Murung.

“Kadang laku. Kadang tidak. Kalau laku, syukur. Kalau tidak, besok ya jualan lagi,” bincangnya, sembari tersenyum.

Sebenarnya, Akup bukan hanya satu atau dua tahun saja mangkal di kawasan pasar tradisional di Banjarmasin tersebut. Dia mengaku sudah 35 tahun bolak-balik di Pasar Ujung Murung.

BACA : Butuh Modal, Tak Semua Pengemis Itu dari Keluarga Tak Mampu

Sebelum melakoni kehidupan sebagai pedagang karet gelang, Akup sebenarnya merupakan tukang ojek konvensional di sana. Nahasnya, di tengah usia yang semakin menua, Akup mengalami cedera di bagian kakinya sehingga membuat dia tak bisa lagi berkendara.

Saat itu, sekitar dua tahun lalu, Akup terjatuh dari sepeda motor yang dikendarainya. Kakinya terkilir, membuatnya perlu istirahat beberapa waktu untuk dapat sembuh sepenuhnya.

“Sudah diurut, tapi tak bisa sembuh seperti sedia kala. Untuk berjalan saja, saya harus memakai tongkat,” kisahnya, kemudian tergelak.

Tak lagi bisa mengendarai sepeda motor membuatnya dibayangi kecemasan. Akup harus melakoni pekerjaan lain yang membuatnya mampu bertahan hidup. Ia percaya, selama mau berusaha, pasti rezeki menghampirinya.

Ide untuk berjualan karet gelang pun muncul saat masa beristirahat dari cedera di rumah kontrakannya, di Pekapuran B. Kala itu, Akup melihat karet gelang yang menggantung di dinding kontrakan.

“Di situlah muncul keinginan saya untuk menjual karet gelang. Alhamdulilah laku dan keterusan sampai sekarang,” ujarnya.

Akup mengakui, mulanya, karet gelang dijual untuk menggaet anak-anak sebagai pelanggan. Ia teringat bahwa anak-anak biasanya suka bermain karet gelang.

BACA JUGA : Bukan Lagi Jadi Hiburan, Antropolog ULM Sebut Badut Jalanan Model Pengemis Berbungkus Tokoh Kartun

Tapi semakin sering dirinya berjualan, yang jadi pembeli malah kebanyakan orang dewasa. Kalau mengingat-ingat para pembeli, ia mengaku suka tersenyum sendiri. Di sisi lain, Akup adalah ayah dari empat orang anak. Istrinya, tinggal di rumah. Dan bekerja sebagai pembuat kasur. Tepatnya, memasukkan kapas ke dalam buntelan kain.

“Tentu tak cukup kalau hanya mengandalkan pemasukan istri. Sebagai laki-laki, saya harus bekerja,” yakinnya.

Akup mengaku cukup sadar, berjualan karet gelang di zaman modern seperti sekarang, saat berbagai macam alat untuk bermain diciptakan, tentu lah sulit untuk laku. Namun bagaimana pun juga, usaha itu menurutnya harus dilakoni selama jalan yang ditempuh untuk mencari rezeki masih halal.

“Saya bukan orang yang berpunya. Tapi saya pantang meminta-minta. Kalau meminta-minta, uangnya pasti enggak enak dibelanjakan,” tutupnya, berpesan.(jejakrekam)

Penulis M Syaiful Riki
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.