Bukan Lagi Jadi Hiburan, Antropolog ULM Sebut Badut Jalanan Model Pengemis Berbungkus Tokoh Kartun

1

FENOMENA badut jalanan akhirnya telah sampai ke Kota Banjarmasin, Banjabaru dan meluas ke wilayah Barito Kuala (Batola) terutama kawasan Handil Bakti. Hal menarik dicermati adalah badut jalanan jumlahnya semakin banyak dari hari ke hari.

ANTROPOLOG FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah mengakui para badut jalanan ini lebih banyak memilih tempat strategis terutama kawasan macet bagi pengendara dari arah Handil Bakti memasuki kota Banjarmasin.

“Selain itu, badut juga bisa berdiri di tepi jembatan yang berpotensial terjadi kemacetan. Mereka juga ada di sekitar jalan raya dimana terdapat pusat perbelanjaan baik di kota Banjarmasin atau Banjarbaru. Termasuk, di wilayah keramaian publik seperti siring yang ada di tepian sungai,” ucap Nasrullah kepada jejakrekam.com, Jumat (2/4/2021).

Menurut Nasrullah, keberadaan badut jalanan ini seperti trend di kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Sebab, mereka menggunakan properti pakaian badut tersebut tentu membutuhkan modal tidak sedikit. “Seseorang yang ingin menjadi badut jalanan, maka dia setidak perlu memiliki dua hal yakni pakaian badut dan speaker aktif sebagai pelantang suara untuk memainkan lagu yang berasal dari flashdisk atau memory card,” kata dosen program studi pendidikan sosiologi FKIP ULM ini.

BACA : Pentas Badut Jalanan di Banjarmasin, Sebuah Potret Kemiskinan Kota

Nasrullah mengamati justru pakaian badut itu sendiri, dengan berbagai karakter yang jika dilacak di situs belanja on line. Hingga harganya dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Sedangkan, speaker aktif dengan berbagai merk harga terendah sekitar Rp 200 ribuan.

“Maka kemunculan badut jalanan ini, dari segi bisnis menghasilkan dua usaha. Pertama. usaha penjualan baju badut atau usaha rental pakaian badut. Kedua, bagi pelaku badut jalanan itu sendiri. Sampai di sini, kiranya kita hanya melihat ini dari aspek bisnis belaka,” papar peneliti muda ini.

Namun secara lebih jauh, Nasrullah mengatakan performance badut jalanan jauh dari yang kita harapkan. Sebab, kata dia, menjadi badut sesungguhnya profesi sebagai entertainer (penghibur), yang seseorang dalam tubuh badut mampu menghidupkan badut tersebut dengan koreografi yang menarik, lucu hingga menggemaskan.

“Sebaliknya badut jalanan, yang sering kita lihat ada anak kecil bahkan orang tua. Pertanyaannya bagaimana dengan skill mereka, sebab seseorang yang jadi badut sesungguhnya harus mampu menghidupkan karakter sebagaimana sosok badut yang dikenakannya,” ujar sosiolog dan antropolog lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Melanggar Perda, 20 Badut Jalanan Terjaring Satpol PP

Bagi Nasrullah, badut hanya satu fenomena dari upaya orang mempertaruhkan hidup di jalan raya, dan sayangnya hanya bermodal properti tertentu. “Jadi ada dua hal kembali yang jadi renungan bagi kita,” ucapnya.

Pertama, beber dia, seseorang dalam tubuh badut mestinya meningkatkan skillnya untuk menjadi  badut dengan cara menghidupkan karakter berdasarkan jenis pakaian badut yang dikenakannya. “Tanpa peningkatan koreografi dan kemampuan menghibur, maka tak ubahnya peminta-minta atau pengemis yang berlindung dalam pakaian berukuran longgar dengan bentuk tokoh-tokoh kartun untuk mengharapkan pemberian pengendara di jalan raya,” ungkap Nasrullah.

BACA JUGA : Kian Marak, Pandemi Menuntut Badut Panggilan Harus Turun ke Jalan

Di sisi lain, masih menruut dia, pengamen jalanan sudah menunjukkan transformasi positif mereka menetap diperempatan jalan untuk menggelar pertunjukkan musik dengan peralatan yang mampu mereka miliki.

“Kedua, usaha apapun yang dilakukan tanpa skill memadai hanya akan menambah kuantitas tapi lemah pada sisi kualitas. Semakin tinggi keterampilan yang dimiliki termasuk pada badut akan semakin banyak penghasilan, sebaliknya semakin rendah skill yang dimiliki maka tenaga dan usaha akan diperas habis-habisan,” imbuh Nasrullah.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2021/04/02/bukan-lagi-jadi-hiburan-antropolog-ulm-sebut-badut-jalanan-model-pengemis-berbungkus-tokoh-kartun/,badut pengemis,baju badut pengemis
Penulis Rahm Arza
Editor Didi G Sanusi
1 Komentar
  1. siti puspa berkata

    setuju sekali dg pendapat bapa yang mengatakan bahwa badut jalanan itu mengganggu pengandara jalan dan bisa mengakibatkan kemacetan dijalan. dan saat ini sebagian badut yang didalam nya anak-anak ia lebih memilih menjadi badut dijalanan dari pada sekolah yang menjadi kewajibannya, dan penghasilan menjadi badut dijalanan itu ia salah gunakan. misl membeli sesuatu barang yang terlang, dll nya

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.