Sang ‘Pejuang Subuh’ yang Keceplosan

0

Oleh : Rahmat Kamaruddin, S.Th.I., M.H

DUA belas hari setelah Sukhrowardi menginterupsi berjalannya Sidang Paripurna DPRD Kota Banjarmasin, sekelompok massa datang ke depang Gedung DPRD.

MEREKA berkumpul menyampaikan aspirasi dan meminta klarifikas atas ungkapan salah satu anggota DPRD Banjarmasin, Sukhrowardi, yang dianggap menyamakan Tatib (tata tertib) DPRD dengan Alquran.

“Kami datang bukan untuk berdebat, tetapi meluruskan sehingga di kemudian hari tidak melebar,” kata seorang perwakilan massa, sebagaimana dikutip dari klikkalsel.com (24/8/2020).

Bagi umat Islam, teks Alquran tentu sudah final dan tidak bisa diubah. Hal ini mendapatkan garansi oleh Alquran sendiri dalam sebuah ayat yang berbunyi, “Sesungguhnya Kamilah yang menurukan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (al-Hijr, 15:9). Tidak seperti Tatib yang senantiasa bisa diubah berdasarkan kesepakatan bersama.

BACA : Usai Dilepas Ananda, Sukhrowardi Dinilai Layak Duduki Posisi Wakil Ketua DPRD Banjarmasin

Sukhrowardi sejatinya tidak bermaksud menyamakan Tatib dengan Alquran sebagaimana yang dipersepsikan massa yang datang ke DPRD, sebagaimana dilansir jejakrekam.com(24/8/2020).

Sukhrowardi dalam interupsinya beranalogi, jika Alquran adalah pedoman bagi umat Islam, maka dengan perumpaman ini pulalah bagi Anggota DPRD dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Ada Tatib yang harus dipedomani.

Sebagai orang Islam, Sukhrowardi tentu menentang penafsiran bahwa Alquran sama dengan Tatib. Penafsiran semacam itu tentu saja bertentangan dengan kepercayaan Sukhrowardi. Sebagaimana dalam klarifikasinya, “Saya tidak punya maksud untuk hal negatif. Saya menyampaikan hal tersebut apa adanya. Bisa saja orang lain memahami berbeda. Oleh karena itu, saya meminta maaf jika pernyataan saya keliru,” kata Sukhrowardi kepada jejakrekam.com Kamis (13/8/2020).

Tapi kita tentu salut dan apresiasi karena kejadian ini segera berakhir berkat peran berbagai pihak. Mulai dari aparat keamanan, terutama para alim ulama dan habaib. Sebuah pemandangan indah dan contoh yang elok tentunya bagi pembangunankultur demokrasi kita di Banjarmasin, di mana klarifikasi (tabayyun) dan upaya saling memahami menjadi cara kita menyelesaikan persoalan. Sebuah penyelesaian masalah yang elegan dan beradab.

BACA JUGA : Gedung DPRD Banjarmasin Didemo karena Polemik Tatib, Sukhrowardi: Ulun Minta Maaf

“Ternyata, maksud beliau bukan seperti itu. Cuma keceplosan, ternyata ‘begini lho Tata Tertib DPRD dan berpedoman kepada Alquran’. Tentunya semua ini ada hikmahnya,” kata seorang perwakilan dari massa sebagaimana dikutip dari kanalkalaimantan.com (24/8/2020).

Freudian Slip

Saya tidak ingin membahas bagaimana dua belas hari setelah kejadian keceplosan pada Rapat Internal itu, barulah massa kemudian datang ke DPRD Kota Banjarmasin. Namun, peristiwa keceplosan di atas mengingatkan saya pada sebuah teori psikologi yang disebut “Freudian Slip”.

Ini merupakan teori ilmiah tentang keceplosan yang kali pertama disampaikan oleh Sigmund Freud di tahun 1904  dalam bukunya yang telah menjadi klasik berjudul “The Psychopatology of EverydayLife”.

Dalam buku tersebut dijelaskan, ada dua faktor yangmengakibatkan kejadian salah ucap (keceplosan) bagi seorang manusia. Pertama, upaya perhatian. Kedua, faktor penentu batin melekat pada psikis. Kejadian ini membuat kita mengungkapkan apa yang tersembunyi di alam bawah sadar. Fenomena keceplosan ini mengungkapkan pikiran, kepercayaan, atau keinginan yang tidak disadari.

BACA JUGA : Sempat Bikin Gaduh, Sukhrowardi Luruskan Pernyataan Di Sidang Parpurna

‘Interupsi metaforik’ Sukhrowardi memang bisa melahirkan multi-interpretasi yang pada gilirannya dapat menimbulkan kegaduhan.Apalagi konteksnya dia berada di ruang politik.

Melalui teori Freudian Slip di atas saya bisa memahami mengapa Sukhrowardi keceplosan dan lalu mengekspresikan kritiknya kepada Anggota Dewan yang dianggapnya tak mematuhi Tatib, dengan ungkapan yang sarat dengan diskursus keagamaan.

Saya tidak sedang berupaya mengklaim sebagai orang dekat dengan Sukhrowardi. Tapi, saya tentu susah memahami kebenaran atas tuduhan Sukhrowardi melecehkan Alquran. Apalagi tuduhan tersebut setelah diklarifikasi memang tidak benar sama sekali. Pasalnya, saya punya pengalaman pribadi yang membuat saya menjulukinya sebagai “Sang Pejuang Subuh”.

Sukhrowardi sosok yang begitu antusias dengan ajaran Islam. Dia, misalnya, begitu terobsesi seluruh masjid di Kalimantan Selatan, terutama di Banjarmasin, semarak akan kegiatan shalat subuh berjamaah.Bangun pada waktu subuh untuk melaksanakan ibadah punya makna filosofis yang mendalam bagi Sukhrowardi. Sebuah ajaran luhur untuk mengawali hari dengan rasa syukur.

Jika sedang berada di Kalimantan Selatan, Om Sukhro, begitu saya memanggil dia, tak jarang mengajak saya mengikuti gerakan shalat subuh berjamaah. Lebih dua tahun belakangan ini sudah saya mengikuti gerakan ini di dua masjid.

BACA JUGA : Serukan Gerakan Shalat Subuh Berjamaah di Kabupaten Banjar, Sukhrowardi : Ini Soal Kemanusiaan

Pertama, Masjid al-Munir, Sungai Tabuk, Kab. Banjar, yang dibangun Desmond J. Mahesa, Anggota DPR RI Komisi III, tokoh aktivis-politisi nasional asal Kalsel. Satunya lagi di Masjid al-Yaqin, Sungai Jingah, Banjarmasin, yang dibangun Sahbirin Noor atau Paman Birin.

Sukhrowardi menjadi panitia utama peresmian kedua masjid tersebut. Pada 16 September 2018 lalu peresmian masjid al-Munir dihadiri Guru Fadlan Asy’ari dari Martapura. Peresmian Masjid al-Yaqin sendiri mengundang al-maghfurlah Tuan Guru Zuhdi, Senin, 15 Juli 2019.

Di dua masjid tersebutlah, di sela-sela kesibukannya yang kini sebagai anggota DPRD, Sukhrowardi biasanya menjalankan gerakan subuh berjamaah.Tidak rutin, tapi berkala. Dia kini harus berbagi waktu dengan segala tugas dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Semangatmensyiarkan ajaran Islam memenuhi benaknya. Kesadaran inilah kiranya yang melatari interupsi metaforik pada Rapat Paripurna itu.

Ada hal menarik dari gagasan gerakan shalat subuhberjamaah yang Sukhrowardi laksanakan. Secara bergantian dia mengundangakademisi lintas disiplin keilmuan dari beberapa perguruan tinggi di Banjarmasin untuk mengisi pengajian usai shalat subuh. Setelah do’a bersama, ditutup membagikan nasi sarapan pagi kepada seluruh jamaah.

Alasan membawa akademisi, kata Sukhrowadi, agar masjid jangan hanya menjadi tempat ibadah semata. Tapi, menjadi sumber inspirasi bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan membangun peradaban.Menurutnya, masjid harus punya implikasi sosial bagi transformasi masyarakat. Untuk itulah masjid perlu disemarakkan. Tertarik?(jejakrekam)

Penulis adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI 2014-2019 asal Kalsel, H Achmad Yudhi Wahyuni, Komisi VIII Bidang Agama dan Sosial

Ketua Gerakan Milenial Indonesia (GMI) Kalsel

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.