Menajamkan Mata Pena, Bukan Lagi Mengasah Mata Mandau

0

TERBITNYA buku lahir dari buah pengalaman penulis, antropolog muda FKIP Universias Lambung Mangkurat (ULM) Nasrullah yang disarikan dalam buku berjudul Gerakan Laung Bahenda, memantik respon positif.

BUKU berbobot yang menggambarkan perjuangan masyarakat Dayak Bakumpai di Desa Jambu Baru, Kecamatan Kuripan, Barito Kuala, menentang hemogoni korporasi yang ingin menyulap lahan desa menjadi perkebunan sawit pun dikaji dari berbagai sisi.

Akademi hukum pidana Fakultas Hukum ULM, Daddy Fahmanadie pun menilai persoalan konflik memang berkelindan dengan tanggungjawab korporasi dalam mengelola usaha, khususnya hak guna usaha (HGU).

“Dalam buku ini, ada beberapa catatan khusus jika ada indikasi penyerobotan lahan di luar HGU, maka fakta empirik harus dikuatkan sebagai pembuktian unsur dalam ranah hukum,” ucap dosen muda FH ULM ini dalam diskusi virtual membedah buku Gerakan Laung Bahenda karya Nasrullah, belum lama tadi.

BACA : Gerakan Laung Bahenda, Sebuah Perlawanan Simbolik dan Kearifan Dayak

Harus diingat, papar Daddy, dalam UU Perkebunan Nomor 39 Tahun 2014 Pasal 100 menegaskan adanya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perkebunan.

“Bahkan, ada ketentuan pidana pada Pasal 105 UU Perkebunan mengacu pada Pasal 47 ayat (1) bahwa korporasi wajib mengantongi HGU. Jika tanpa izin, maka pidana lima tahun dan denda Rp 10 miliar bisa dikenakan, karena subjek pidananya jelas untuk korporasi,” ucap magister hukum lulusan UGM Yogyakarta ini.

Apalagi, papar Daddy, kewajiban memiliki HGU juga diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2015 memperkuat Permentan Nomor 05 Tahun 2019, mempertegas soal perizinan itu.

Sementara itu, antrolog dari Prodi Sosiologi FISIP ULM, Setia Budhi mengungkapkan gerakan laung bahendra merupakan gerakan sosial masyarakat Dayak Bakumpai, khususnya di Desa Jambu Baru, Kecamatan Kuripan.

“Jadi, gerakan semacam ini bukan lahir tiba-tiba. Sebab, gerakan sosial di Sungai Barito sudah terekam dalam catatan sejarah, seperti Perang Barito (1869) sebagai fase perlawanan terhadap kolonial. Kemudian, pada 1953, Gerakan Mandau Telabang Merdeka (GMT) Dayak Kalimantan yang dimotori Simbar Mandolin, hingga berlanjut pada 1990-an, adanya gerakan menolak eksploitasi sumber daya alam,” papar dokter jebolan University Kebangsaan Malaysia ini.

BACA JUGA : Tak Perlu Hunus Mandau, Perlawanan Masyarakat Dayak Bisa Melalui Buku

Menurut Setia Budhi, bagi perempuan Dayak Bakumpai, tanah bukan sekadar produksi pertanian. Mereka menanam sayur, tempat tumbuh obat herbal untuk penyembuhan sakit, tempat tumbuh purun untuk mereka menganyam.

Tanah juga menyimpan ikan-ikan yang akan dipanen tiap ketika musim kemarau.

“Namun, tanah itu juga memelihara pohon yang kulit (kupak kayu) untuk mereka  membuat dinding rumah, serta tempat rumbia yang daunnya untuk mereka membuat atap rumah,” cetusnya.

Sedangkan, kata Setia Budhi, bagi kaum lelaki Bakumpai memahami benar perkara itu, sehingga diterjemahkan dalam bentuk perlawanan. “Jadi, gerakan laung bahenda merupakan gerakan sosial untuk uma,” tegasnya.

BACA JUGA : Batatamba, Menggali Ritus dan Metode Penyembuhan Penyakit di Tengah Masyarakat Bakumpai

Aktivis lingkungan Adenansi pun mengakui banyak gerakan sosial justru tidak terdokumentasi dengan baik. “Makanya, buku Gerakan Laung Bahenda dapat menjadi inspirasi bagi kalangan aktivis untuk mencatatkan kegiatan advokasi di masyarakat,” kata pria yang juga aktif di Walhi Kalsel ini.

Tokoh intelektual Dayak, Dr Darius Dubut pun mengaku salut dengan lahirnya buku Gerakan Laung Bahenda. Pria yang menempuh pendidikan di Hamburg Jerman pun menegaskan betapa pentingnya tanah bagi masyarakat Dayak.

“Selama ini, memang perlawanan masyarakat Dayak lebih banyak pada fisik atau istilahnya mengasah ketajaman mandau. Namun, lewat buku ini bisa dikatakan mengubah paradigma untu mengasah ketajaman mata mandau dengan mata pena,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor DidI G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.