Analisis Politik : Figur Calon Wakil Walikota di Suksesi Banjarmasin 2020 Ditakar Tak Menjual

0

PENGAMAT politik dan kebijakan publik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Dr Taufik Arbain menilai dalam menakar kekuatan di suksesi Banjarmasin 1 dan 2, maka kubu penantang incumbent, Walikota Ibnu Sina tak boleh dianggap enteng.

“SEBAB, masing-masing kandidat yang berkompetisi di Pilwali Banjarmasin 2020 masing-masing memiliki nilai jual yang signifikan. Jadi, figur yang sekonyong-konyong hadir di masyarakat, karena mereka sudah melakukan investasi politik jauh-jauh hari,” tutur Taufik Arbain kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Minggu (30/8/2020).

Analis politik dan peneliti senior ini tak memungkiri sesuatu yang relatif sama juga dilakoni petahana, Ibnu Sina dengan menggaet Kepala Dinas PUPR Banjarmasin Arifin Noor sebagai rekan duetnya, karena diuntungkan sebagai sentral politik kekuasan di ibukota Kalsel.

Hanya saja, menurut Taufik, harus diakui ada sosok Hj Ananda yang berpengalaman di parlemen kota. Kemudian, Abdul Haris Makkie yang meniti karier sebagai birokrat ulung hingga terakhir menjabat Sekdaprov Kalsel. Terakhir, dari kubu independen, Khairul Saleh seorang Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Banjarmasin.

BACA : Potensi Kader Beringin ke Lain Hati Diungkap Pengamat Politik Masih Terbuka di Pilwali Banjarmasin

“Tentu, para kandidat ini berani menempatkan diri menjadi calon nomor satu di Kota Banjarmaisn telah memiliki modal,” paparnya.

Taufik mengurai sosok Hj Ananda, sebagai kader Partai Golkar dan berpengalaman di DPRD Banjarmasin memiliki jaringan dan telah familiar di publik. Kemudian, Haris Makkie juga kaya pengalaman birokrasi dan ditopang basis jaringan dan modal sosial kemasyarakatan.

“Sementara, Khairul Saleh sebagai birokrat di Kota Banjarmasin juga memiliki sangu serupa. Nah, di sini lah, peran calon wakil walikota yang direpresentasikan karena dorongan parpol pengusung atau bahasa lain adalah kompensasi politik,” papar Taufik.

Doktor lulusan UGM Yogyakarta ini menegaskan pada aspek ini sejatinya adalah figur yang  menguatkan sang kandidat kepala daerah, bukan sekadar asal pasang.

BACA JUGA : Langkah Khairul Saleh-Habib Ali Mulus, Ajukan Pensiun Dini Maju di Pilwali Banjarmasin

Taufik merujuk dalam pengalaman survei pilkada, dengan model pertanyaan apakah calon pemilih memiliki karena figur kepala daerah atau wakilnya, bisa pula karena pasangan calon ini sudah pas?

“Ternyata, cenderung pada kasus-kasus tertentu jawaban responden hampir 35-45 persen karena calon kepala daerah. Kemudian, sebab faktor pasangan di kisaran 25-35 persen. Sedangkan, faktor sang wakil di angka 20-25 persen. Jadi, sangat sulit menemukan pilihan karena wakilnya dominan,” imbuh Taufik.

Lain kasusnya dengan Pilpres 2019 lalu, justru jatuhnya pilihan masyarakat terhadap pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, lebih dominan pada sosok pendamping incumbent yang merupakan figur ulama dan tokoh NU.

Dalam hal ini, Taufik menguraikan calon kepala daerah memang sangat menentukan, bahkan akan mendapat tumpahan suara jika wakil memiliki nilai jual mumpuni.

“Fakta realistis saat ini, jika memilih calon wakil kepala daerah adalah figur yang tidak dikenal, tiba-tiba diusung di luar aspek sebagai dorongan partai pengusung dan atau anak tokoh atau public figur.  Ini biasanya soal sokongan dana dalam cost politics,” beber Taufik.

BACA JUGA : DPP Golkar Ancam Tak Dukung Ananda-Mushaffa Zakir di Pilwali Banjarmasin 2020 Disanksi

Artinya, masih menurut dia, sang calon kepala daerah tidak memiliki kecukupan realistis soal dana politik, sehingga mengkombinasikan antara nilai jual figur calon dengan nilai kecukupan dana calon wakil kepala daerah.

“Saya kira ini ada sebagian berlaku di beberapa kabupaten/kota di Kalsel yang menyelenggarakan pilkada. Tarik-menarik soal ini sebenarnya berlangsung saat melakukan lobi-lobi dengan partai politik untuk menentukan wakil,”

“Apakah pilihan orang partai atau non partai dan apa konpensasi, Dalam politik itu,  selalu ada istilah tidak ada makan siang gratis!” tegas Taufik.

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik FISIP ULM, Dr Taufk Arbain

Untuk kasus Banjarmasin, Taufik menganalisis figur wakil walikota, baik Ibnu Sina dengan menjagokan Arifin Noor. Kemudian, Hj Ananda dengan figur Mushaffa Zakir yang merupakan kader PKS. Atau, Haris Makkie bersama Sekretaris DPD Partai Gerindra Kalsel, Ilham Noor meski pernah duduk di DPRD Kalsel adalah orang-orang yang tidak dikenal dan tak menjual dalam takaran politik.

“Jadi, nama-nama ini justru terdongrak karena gandengan pada sang calon walikota, bukan sebagaimana teori, turut mendongkrak sebagaimana Ma’ruf Amin atau Sandiaga Uno pada kasus Pilpres 2019 lalu,” cetus Taufik.

BACA JUGA : Tatap Pilwali Banjarmasin, Haris Makkie Ajak Warga Nahdliyin Bergerak Bersama Gerindra

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Politik dan Pembangunan Daerah menegaskan dalam kontestasi Pilkada Banajrmasin, masyarakat akan dihadapkan pada calon yang hadir karena faktor dorongan usungan parpol dan kesanggupan finansial belaka.

“Inilah realitas pilkada hari ini, ketika publik dihadapkan bukan pilihan ibarat menu makanan empat sehat lima sempurna. Namun, justru paket hemat betul tanpa susu,” demikian Taufik beranalogi.

Masih menurut dia, memang ada beberapa calon yang diuntungkan atas kehadiran pasangan ini, ketika tepat memainkan kombinasinya dalam rangka menutupi celah kekurangannya.

“Kondisi ini akan bisa terselesaikan jika pada masa-masa kampanye dan gerakan pemenangan benar-benar massif memainkan langkah-langkah strategis dan jitu,” tandas Taufik.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.