KEANEKARAGAMAN hayati yang ada di Tanah Banjar, Kalimantan Selatan, kian tergerus. Kegelisahan ini disuarakan para sastrawan, seniman, aktivis dan pemerhati budaya Banjar dalam Bapanderan di Ambing Batang, Jalan Veteran, Banjarmasin, Rabu (8/1/2020).
DISKUSI ini menghadirkan empat pemantik, Ali Syamsudin Arsyi (Kindai Seni Kreatif Banjarbaru), sastrawan dan budayawan Imam Bukhori (Kopi Gula Aren Jahe Sungai Andai, Banjarmasin), Faisal Embron (Komunits Cucak Burung, Sungai Tabuk), dan Gusti Ardiansyah, Koordinator Ambin Batang.
Ali Syamsudin Arsyi mengungkapkan karya sastra hijau saat ini justru sangat berpengaruh dalam tatanan kemasyarakatan. Menurut dia, KSK Banjarbaru telah menghimpun karya puisi dalam antalogi Hujan Hutan Tropis, menggambarkan nasib nelangsa Pegunungan Meratus.
“Kami juga menggarap antalogi puisi Sayur-Mayur. Kami mengingatkan bahwa Kalsel merupakan daerah agraris. Sudah sepatutnya, kita dalam karya sastra mengangkat kegelisahan itu. Ternyata, para petani di Kalsel sudah berumur tua, tidak lagi digeluti generasi muda. Lewat karya sastra, kami ingin menyentuh kalangan muda agar mencintai keanekaragaman hayati yang ada di Kalsel,” tutur sastrawan Banjarbaru ini.
BACA : Usai Pegunungan Meratus, KSK Garap Antalogi Puisi Sayur Mayur
Usai antalogi Sayur Mayur, KSK Banjarbaru akan melanjutkan penghimpunan puisi mengangkat buah-buahan. Saat ini, justru buah-buahan lokal Kalsel makin menghilang, dan terbilang langka.
“Inilah pentingnya dalam karya sastra itu bisa mengangkat keunikan buah khas lokal. Ini sangat penting bagi kita untuk edukasi kepada generasi penerus,” ucap Ali.
Sastrawan asal Balangan yang hijrah ke Banjarmasin, Imam Bukhori pun mengatakan saat ini kritik sosial bisa dirangkai dalam karya sastra. Ia mencontohkan filosofi kopi yang pahit, justru banyak penggemarnya. “Cara mengeritik dengan karya sastra jauh lebih mengena, ketika mengeritik dengan bahasa kasar,” tuturnya.
BACA JUGA : Terinspirasi Jembatan Rumpiang, Ada Rahasia di Antologi Puisi EBTAM
Lain lagi dengan Faisal Embron. Pencinta rumah adat Banjar ini mengatakan hubungan flora dan fauna dalam arsitektur rumah Banjar sangat kental. Bahkan, penuh makna, harapan dan manfaat.
“Karena masyarakat Banjar, mayoritas pemeluk Islam dalam gaya pahatan (tatah) dan arsitekturnya akhirnya mengkamuflasekan hewan itu dalam ukiran tetumbuhan,” ucap Faisal.
Hal serupa juga dirasakan Gusti Ardiansyah. Koordinator Komunitas Ambin Batang ini mengungkapkan kegalauan, ketika banyak varietas jeruk lokal seperti Madang, Alalak dan lainnya kian menghilang di pasaran.
“Padahal, Kalsel punya lahan yang luas untuk pengembangan holtikultura. Selama ini, kita lebih menggenjot sektor pertanian, terutama padi. Ke depan, Kabupaten Banjar dan Barito Kuala, harus didorong untuk menjadi agrowisata jeruk. Jangan sampai, warga kita justru akrab dengan jeruk Mandarin, California, dan Australia,” kata Ardiansyah.
Budayawan dan akademisi UIN Antasari, Humaidy Ibnu Sami pun membeberkan banyak karya sastra para ulama justru menggambarkan tingkat kerohaniannya dengan permisalan buah.
“Contohnya, buah kelapa atau nyiur. Buah yang memilik empat lapis ini digambarkan jalan hidup seorang hamba. Bagian luarnya adalah syariat, bagian tempurungnya tarikat. Sedangkan, dagingnya adalah makrifat dan bagian terdalam merupakan hakikat,” kata peneliti senior LK3 Banjarmasin.
BACA LAGI : Amuk Meratus Micky Hidayat, Agus Suseno Suarakan Nelangsanya Loksado
Penggagas Komunitas Ambin Batang, Sri Naida pun juga menyesalkan hilangnya vegetasi khas sungai di Kalsel. Jebolan ITB ini mengatakan sangat sependapat dengan sastrawan kawakan, Samsuni Sarman agar mengedepankan karya sastra hijau.
“Makanya, menghimpun para budayawan dan sastrawan dari berbagai daerah untuk membangun Komunitas Ambin Batang yang lebih mengangkat karya sastra hijau. Ke depan, kegiatan semacam akan terus dilanjutkan,” tutur Sri Naida.(jejakrekam)