Perlindungan Hukum Khusus bagi Komunitas Disabilitas

Oleh : Hervita Liana

0

BERBAGAI upaya untuk meningkatkan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis sehingga memerlukan  perhatian dari seluruh elemen bangsa.

DALAM Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 – 2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari pembangunan nasional adalah  menempatkan HAM dan supremasi hukum sebagai suatu bidang pembangunan yang  mendapatkan perhatian khusus. Untuk maksud itu diperlukan perwujudan sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan dan kebenaran.

Dalam UU HAM Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.

Macam-macam kelompok rentan di Indonesia seperti yang dijelaskan oleh UU HAM dibagi menjadi empat golongan yaitu: fakir miskin, perempuan hamil, penyandang disabilitas, dan anak. Berbeda dengan UU HAM, di aturan lain yaitu Human Rights Reference menggolongkan kelompok rentan menjadi tujuh golongan yaitu: pengungsi, orang yang tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), bangsa minoritas, buruh migran, orang asli, anak, dan perempuan.

BACA : Predatornya Orang Dekat, Ada 42 Kasus Kekerasan Anak Difabel di Kalsel

Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak, kelompok perempuan rentan, penyandang cacat/ disabilitas dan kelompok minoritas mempunyai arti penting  dalam, masyarakat yang tetap menjunjung tinggi nilai-nilai HAM.

Untuk memberikan gambaran keempat kelompok masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.

Difabel atau disabilitas adalah istilah yang meliputi gangguan, keterbatasan aktivitas, dan pembatasan partisipasi. Gangguan adalah sebuah masalah pada fungsi tubuh atau strukturnya; suatu pembatasan kegiatan adalah kesulitan yang dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan.

BACA JUGA : Hanya Pilpres dan DPD, Pemilih Difabel Sesalkan Surat Suara Braille Terbatas

Sedangkan, pembatasan partisipasi merupakan masalah yang dialami oleh individu dalam keterlibatan dalam situasi kehidupan. Jadi disabilitas adalah sebuah fenomena kompleks, yang mencerminkan interaksi antara ciri dari tubuh seseorang dan ciri dari masyarakat tempat dia tinggal.

Banyak keluarga mereka kurang mendukung dan masyarakat masih malu jika anak mereka penyandang disabilitas. Bahkan anak-anak ini seringkali dikurung, dikucilkan dari sekolah dan masyarakat daripada didukung. Kurangnya masyarakat mendukung integrasi anak penyandang disabilitas telah menambah diskriminasi.

Indonesia sendiri sudah berinvestasi dalam memperkuat kerangka hukum dan meningkatkan kesempatan bagi anak penyandang disabilitas agar mereka dapat tumbuh dan mengembangkan potensi mereka. Namun masih kurangnya dukungan dari keluarga dan masyarakat terhadap kaum disabilitas.

BACA LAGI : Akses dan Pencari Keadilan bagi Penyandang Disabilitas

Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan dari segala bentuk diskriminasi dan kekerasan. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28i yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak bebas dari perilaku diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.

Istilah semua warga negara sama di mata hukum belum dapat menyentuh lapisan masyarakat difabel secara menyeluruh. Masih ada kasus perlakuan diskriminasi, pelecehan, hingga kejahatan seksual menimpa kalangan difabel yang terabaikan. Mengingat tindakan tersebut tidak lagi memandang gender atau jenis kelamin, tingkatan usia maupun kondisi korbannya.

Padahal, mendapatkan perlindungan khusus dari diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual, menjadi salah satu hak masyarakat difabel yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

BACA LAGI : 12 Advokat Muda Dilantik, Termasuk Dua Pengacara Penyandang Disabilitas

Masyarakat difabel memiliki risiko diskriminasi yang lebih tinggi. Selain pelecehan dalam bentuk ucapan atau kata-kata yang merendahkan, mereka juga kerap mengalaminya dalam bentuk sebuah tindakan kekerasan dan pemaksaan.

Jenis kedifabelan yang melekat pada korbannya lebih didominasi oleh mereka yang memiliki hambatan bicara, hambatan dengar atau hambatan intektual. Kemampuan komunikasi yang dianggap rendah, tanggapan kemungkinan sulit diproses secara hukum, kesaksian yang kurang tegas dari pihak korban, kesan tersebut cenderung menjadikan mereka sebagai sasaran tindak kejahatan.

Bila merujuk pada Undang-Undang Penyandang Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016 dan Perda Provinsi Kalsel Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, pada bab tentang Keadilan dan Perlindungan Hukum, menegaskan kasus diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi, serta kekerasan dan kejahatan seksual, yang menimpa masyarakat difabel mendapat perhatian khusus.

BACA JUGA : Perlu “Wasit” dalam Penerapan Hak-hak Penyandang Disabilitas di Banjarmasin

Seperti dalam Pasal 28 menyebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin dan melindungi hak disabilitas sebagai subjek hukum untuk melalulan tindakan hukum yang sama dengan lainnya.

Selain itu, Pasal 29 juga menyatakan pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyediakan bantuan hukum kepada penyandang disabilitas dalam setiap pemeriksaan pada setiap lembaga penegak hukum dalam hal keperdataan dan/atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-undangan.

Contoh kasus disabilitas yang pernah viral di Indonesia dan diunggah di media sosial secara publik yaitu kasus bullying sekelompok mahasiswa di Depok dari Fakultas Ilmu Komputer telah melakukan perundungan (bullying) kepada seorang mahasiswa disabilitas.

BACA LAGI : Penyandang Disabilitas Bisa Mengabdi Kepada Negara dengan Menjadi PNS

Padahal itu tak sepantasnya dilakukan, apalagi sampai harus mempertontonkannya kepada publik.Lebih spesifik Undang-Undang Nomor  8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mengatakan bahwa perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak penyandang disabilitas merupakan tanggung jawab negara.

Berbagai peraturan di atas telah sesuai dengan konsep hak asasi manusia, dimana negara wajib melakukan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan haknya bagi seluruh warga negara tak terkecuali para penyandang disabilitas. Khususnya di Banua kalimantan Selatan ini.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua DPD PPUA Disablitas Kalsel

Advokat Perkumpulan Pengacara dan Penasihat Hukum Indonesia (P3HI) Kalsel

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.