Tumbuh Subur Penyair di Kalsel, Sayang Belum Go Nasional

0

DUNIA sastra tumbuh subur di Kalimantan Selatan. Provinsi ini melahirkan para sastrawan dan penyair andal di zamannya. Pembenahan di internal yang menjadi faktor mandeknya penyair-penyair Tanah Banjar ini berkembang untuk dikenal di kancah nasional bahkan internasional.

SEJAK 1950-an dari Bumi Lambung Mangkurat lahir dan tumbuh subur dunia sastra, terutama syair yang berkembang menjadi puisi atau sajak (sanjak), hingga sang penciptanya disebut sebagai penyair.

“Kita harus ingat banyak penyair yang boleh dibilang era perintis yang membawa pengaruh cukup besar bagi generasi selanjutnya dalam dunia syair di Kalimantan Selatan,” ucap cendikiawan Nahdlatul Ulama (NU) Humaidi di Banjarmasin, Senin (27/2/2017).

Menurutnya, para perintis ini cukup dikenal dan namanya masyhur di kalangan sastrawan dan pencinta syair di Kalimantan Selatan, seperti Bakhtar Suryani, Burhanuddin Soebeli, Hamberan Syahbana, Arsyad Indradi, Iberamsyah Amandit, Iberamsyah Barbary dan lainya.

Kemudian, menurut Humaidi, generasi selanjutnya yang merupaan para seniman puisi dan sajak, hingga memiliki kemampuan multi talenta seperti Ajamuddin Tifani, Tarman Effendy, Rustam Effendy, Haderanie Thalib, Mohammad Radi, Maman S Tawi, Tajuddinnoor Ganie, Micky Hidayat, YS Agus Suseno dan lainnya.

Kesuburan Kalsel dalam mencetak generasi penyair dinilai Humaidi juga terwujud dengan lahirnya generasi berikutnay seperti Imam Bukhari, Hajriansyah, Fahmi Wahid, Sandy Firly dan penyair lainnya. “Tumbuh berkembang atau suburnya cipta puisi ini juga tak terlepas didukungnya panggung-panggung deklamasi. Ya, baik syair itu dibacakan oleh penciptanya, atau para deklamator khusus sendiri,” kata Humaidi.

Budayawan Banjar yang dikenal dengan nama populernya Ibnu Sami ini mengatakan hal itu terjadi dan terus terjaga hingga generasi ke generasi. Mengapa itu bisa ‘abadi’? Menurut Humaidi, semua itu didukung khazanah tradisi yang begitu kaya dan berlimpah di Tanah Banjar.

Sebab, menurut dia, hal itu tak terlepas dari budaya Banjar yang akrab dengan Basyair, Bapantun, Bamaulid, Bamadah, Balamut, Bamadihin, Barudat, Bamamanda, Bajapin dan sebagainya. “Walaupun, kita tak bisa menyangkal budaya Banjar ini sangat terpengaruh dengan perkembangan pelbagai kesusasteraan di Arab, Persia, India dan Barat,” tuturnya.

Jebolan IAIN Antasari Banjarmasin ini mengungkapkan faktor eksternal semacam itu memang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan para penyair di Tanah Banjar. Hanya saja, kata Humaidi, hal itu tidak terlalu signifikan justru yang sangat dominan atau malah determinan (menentukan) adalah faktor internal sendiri.

Namun, di balik suburnya para penyair di Tanah Banjar, Ibnu Sami justru prihatin karena Kalimantan Selatan tak banyak melahirkan biduan atau biduanita yang terkenal hingga merambah kancah nasional, hingga ajang internasional. “Bandingkan dengan tumbuh suburnya dunia sastra dan seni di Jawa Barat, Sumatera Utara, Riau, Ambon, Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Tengah yang melahirkan para seniman berlabel nasional, bahkan ada yang internasional,” cetusnya.

Ia pun teringat kepopuleran maestro lagu Banjar, Anang Ardiansyah di era 1980 hingga 1990-an yang justru terbatas audiensnya, hanya para penikmat lagu tradisional Banjar. “Nah, dengan tumbuh suburnya para penyair dan dunia seni di Kalimantan Selatan sudah sepatutnya melahirkan tokoh-tokoh yang bisa berbicara di kancah nasional, bahkan di even internasional,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis  : Didi GS

Foto     : Dokumen Ibnu Sami

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.