Polemik Tambang Bukan Sekadar Masalah Lingkungan

0

DIMULAI dari maraknya aksi penolakan dari berbagai lapisan masyarakat. Hingga kemudian keluar SK Gubernur tentang pencabutan izin tambang PT Silo Group yang berlaku per 26 Januari 2018 lalu. Kemudian PT Silo dalam tiga perusahaan tambangnya menggaet pengacara ahli, Yusril Ihza Mahendra melakukan gugatan banding ke PTUN Banjaramasin.

JIKA Gubernur Kalimantan Selatan beralasan kuat oleh adanya aksi penolakan masyarakat dan rekomendasi beberapa ormas. PT Silo Group justru berpikir sebaliknya, bahwa Pemprov Kalsel tidak memiliki dasar yang kuat terhadap pencabutan izin tersebut. Mereka yakin gugatannya akan berhasil. Perseteruan itu pun masih terus berlangsung.

Demikian juga untuk tambang Pegunungan Meratus. Kisworo Dwi Cahyono berharap bukan cuma Blok Batu Tangga yang dicabut, melainkan Blok Upau juga. Untuk itu, Direktur Walhi Kalsel ini sedang menyiapkan gugatan pada Kementerian ESDM agar mencabut izin PKP2B PT MCM. Yang dinilai sudah serampangan mengeluarkan izin tersebut. (Radar Banjarmasin, 13/02/2018)

Sebenarnya pertambangan di wilayah Kalsel bukanlah perkara baru. Sudah banyak perusahaan yang melakukan ekplorasi sejak lama. Baru kali ini terjadi penolakan serius dan besar-besaran. Salah satu faktor utamanya adalah posisi wilayah tambang yang diduga kuat akan membidani bencana besar.

Untuk di Pulau Laut, meski ada pihak yang mendukung, namun dipihak yang menolak menjadikan kerusakan lingkungan sebagai alasan utama. Begitu pula dengan tambang di Meratus, yang merupakan kawasan hutan lindung. Banjir menjadi ancaman utama.

Adanya berbagai penolakan merupakan penampakan kepedulian pada lingkungan yang patut diapresiasi. Hanya saja jika lebih jauh ditelusuri sebenarnya ada alasan lain yang lebih kuat untuk dijadikan alasan penolakan. Bahkan tidak hanya di dua titik eksplorasi itu melainkan untuk seluruh tambang.

Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar dunia. Peringkat ke-9 pemilik cadangan batubara global. Kalimantan Selatan merupakan pemilik cadangan terbesar kedua batubara nasional. (https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/batu-bara/item236?)

Sedangkan kesejahteraan masyarakat Indonesia dilihat dari kemampuan menjamin kesehatan keluarganya, tergolong rendah. Berdasarkan survei, persepsi masyarakat Indonesia terhadap kesehatan turun cukup signifikan karena faktor finansial. (ekonomi.kompas.com, 29/08/2017)

Kontradiktif ini seharusnya juga menjadi titik kritis penolakan tambang barubara. Bagaimana bisa di wilayah yang kaya batu tingkat kesejahteraanya rendah. Tak jauh beda seperti Papua yang kaya emas, justru menjadi tempat kematian berantai anak akibat gizi buruk. Kemana larinya uang hasil ekplorasi sumber daya alam (SDA) tersebut?

Bukankah ini juga menjadi sumber musibah bagi rakyat? Oleh karenanya selain masalah lingkungan, tidak kalah penting adalah terkait siapa yang seharusnya berwenang mengelolanya. Ini sangat erat kaitannya dengan pendapatan negara yang kemudian bisa digunakan untuk penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat.

Secara matematika jelas keuntungan akan mengalir pada si pengelola. Jika dikelola swasta otamatis negara hanya mendapatkan sedikit royalti dan pajak. Selebihnya menjadi milik penuh pihak pengelola. Bahkan tak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dalam proses rehabilitasi lahan tambang.

Di sisi lain, penyerahan pengelolaan SDA pada pihak swasta merupakan pelanggaran syariat. Sumber daya alam yang nilainya melimpah adalah milik bersama masyarakat. Negara Hanya boleh mengelola. Tidak boleh menyerahkannya pada individu atau perusahaan swasta, apalagi Asing.

Sebagaiamana dahulu Rasulullah SAW pernah memberikan hak eksloitasi tambang garam pada salah satu sahabat. Kemudian ada sahabat lain menyampaikan bahwa garam yang ada di sana jumlahnya seperti air mengalir. Maka Rasulullah SAW langsung menarik kembali izin penguasaan tambang garam tersebut.  Ini sesuai dengan sabdanya

“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api. Dan harganya adalah haram.” Abu Sa’id berkata, Yang dimaksud adalah air yg mengalir. (HR. ibnumajah No.2463).

Bagi masyarakat Kalsel? Tentu kita meyakini bahwa segala yang melanggar syariat pastinya berbuah bencana atau dikenal dengan istilah bala. Maka rendahnya kesejahteraan dan musibah alam sama-sama bala, buah dari tidak diterapkannya pengaturan alam pada syariah.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى.

Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. (QS Thaha [20] : 124).

Sebagai warga Kalsel khususnya dan Indonesia yang notebene negeri muslim. Sangat wajar jika kita menjadikan syariat Islam sebagai dasar penerimaan atau penolakan sebuah kebijakan. Kita menolak tambang batu bara di manapun yang tidak sesuai dengan aturan pengelolaan dalam Islam.

Mengembalikan seluruh pengelolaan SDA kepada negara. Hasilnya dikembalikan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat. Niscaya tidak akan ada polemik lagi terkait tambang. Negeri ini pun tak hanya terhindar dari bencana, namun juga akan menjadi sejahtera. Dan ini akan dinikmati tidak hanya bagi muslim tapi bagi seluruh warga negara. Karena Islam bukan sekadar rahmatan lil muslimin, melainkan rahmatan lil ‘alamin.(jejakrekam)

Penulis : Wati Umi Diwanti

Pengasuh MQ. Khodijah Al-Qubro, Martapura

Foto    : Kabar Paman Anum

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.