Moral Merosot, Akibat Pilih Pemimpin Karena Duit

0

POLA rekrutmen calon pemimpin baik di lembaga legislatif, eksekutif hingga yudikatif tak lagi selektif. Padahal, even seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan umum (pemilu) sejatinya untuk menyodorkan calon pemimpin yang berkualitas agar dipilih rakyat dalam sebuah pesta demokrasi.

KONDISI semacam ini yang kini dikeluhkan sejumlah politisi senior yang sekarang justru menghindari dunia politik sebagai bagian dari karier politik mencapai posisi puncak kepemimpinan.

“Kalau dulu untuk menjabat pejabat di daerah harus melalui kajian litsus (penelitian khusus), seperti dilakukan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) dan sejenisnya. Semua itu dilakukan pemerintah, agar calon pemimpin daerah yang dipilih benar-benar figur yang berkualitas,” ujar mantan politisi Partai Golkar, H Wijaya Kusuma Prawirakarsa kepada wartawan di Banjarmasin, Sabtu (29/4/2017).

Akhirnya, menurut dia, justru dalam suksesi kepemimpin daerah yang mencuat atau menonjol adalah kalangan berduit, sehingga dengan topangan finansial besar bisa menjadi tokoh atau calon pemimpin daerah yang akan dipilih rakyat. “Jadi, jangan heran karena biaya politik yang tinggi, akhirnya banyak pejabat di daerah yang diduga meminta dana kepada pengusaha atau kontraktor untuk memuluskan suatu proyek. Ini bukan rahasia umum lagi,” kata Wakil Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Kontruksi (LPJK) Kalimantan Selatan ini.

Wijaya mengakui walau di era Orde Baru dengan patronnya Soeharto masih plus dan minus dalam berbagai pandangan, toh proses penjenjangan atau kaderisasi kepemimpinan nasional dan daerah justru berjalan efektif. “Saat ini, bagi yang ingin menjadi pejabat tak perlu lagi melalui jenjang pendidikan, cukup punya duit sudah bisa mendapat jabatan. Padahal, bagi kalangan swasta seperti kami ini untuk menyiapkan diri sebagai calon pemimpin, harus menempuh jenjang pendidikan seperti bela negara atau lewat Lemhanas, baru bisa dinyatakan layak untuk menjadi calon pemimpin,” ujar putra tokoh pers Kalsel, Mas Abi Karsa ini.

Kondisi ini makin memprihatinkan adalah ketika banyak pejabat yang terlibat skandal korupsi atau terjebak dalam jaringan narkoba. Hal itu terjadi dinilai Wijaya akibat tak proses penyaringan baik dari masyarakat, terlebih lagi partai politik (parpol) yang sepatutnya menjadi garda terdepan dalam memproses kader yang benar-benar matang menjadi calon pemimpin. “Jadi, kembali lagi, saya katakan tak mengherankan jika ada pejabat meminta jatah dana terlebih dulu kepada pemenang proyek. Ya, semua ini akibat salah pilih pemimpin,” ujar pengusaha senior ini.

Menurut Wijaya, yang makin memilukan adalah moral para pemimpin yang benar-benar merosot, seperti ada yang terjerat skandal perselingkuhan, atau tindakan asusila hingga tindakan koruptif lainnya. “Semua itu ya akibat latar belakang pendidikan yang tak jelas. Saya bisa katakan zaman ini lebih parah dibandingkan era Orde Baru. Semua itu akibat kita memilih pemimpin itu karena duit,” imbuh Wijaya.(jejakrekam)

Penulis   : Afdi NR

Editor     : Didi G Sanusi

Foto        : Merdeka.com

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.