25 Tahun Reformasi, Desmond: Bandar dan Bandit Kini Pegang Kendali?

0

SAAT reformasi digaungkan oleh mahasiswa dan elemen bangsa lainnya, tentu mereka semua mempunyai angan-angan tentang masa depan Indonesia. Mereka memimpikan Indonesia akan menjadi bangsa besar, dengan kondisi kehidupan rakyat yang makmur sejahtera, secara adil dan merata.

MUNGKIN karena itu pula yang menyebabkan mereka kemudian menyampaikan tuntutan yang diwujudkan dalam bentuk enam agenda reformasi untuk dilaksankan oleh pemimpin terpilih pasca tumbangnya kekuasaan orde baru (orba),” ungkap Wakil Ketua Komisi III DPR RI , Desmond J Mahesa dengan jejakrekam.com, Senin (22/5/2023).

Putra asli Kalmantan Selatan ini menyatakan, tuntutan itu secara substansi memuat agenda tegakan demokrasi, junjung tinggi hak azasi manusia (HAM), berantas korupsi kolusi nepotisme (KKN), tegakan hukum tanpa tebang pilih, dan kehidupan rakyat yang sejahtera sesuai cita-cita konstitusi negara yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945.

BACA: Soeharto Lengser, Tapi Agenda Reformasi Tidak Jalan

Pasca reformasi, presiden sudah silih berganti namun agenda reformasi yang dituntut mahasiswa dan elemen bangsa tidak berjalan sebagaimana harapan bersama. Ada capaian yang membuat kehidupan di Indonesia menjadi lebih demokratis tetapi secara substansi belum menyentuh elemen mendasar yaitu tercapainya kehidupan rakyat yang makmur sejahtera secara adil dan merata.

Karena ternyata pemimpin rakyat yang terpilih tidak sepenuhnya mengabdi untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negaranya. Kepentingan rakyat tidak menjadi orientasi utama untuk disejahterakan sebagaimana misi negara Republik Indonesia.

Faktanya, korupsi semakin merajalela hingga skor indeks korupsi Indonesia jeblok di angka 34, apalagi kini mencuat ada Rp 349 triliun transaksi yang mencurigakan, kejahatan pencucian uang, dan ada ratusan triliun uang APBN yang ikut di korupsi pula.

Indeks hak azasi manusia juga masih merah di bawah 35, ratusan jiwa manusia masih terbunuh tanpa pertanggung jawaban secara komprehensif, nyawa rakyat seperti tak berharga. Indeks demokrasi kita masih DI level flawd democracy (demokrasi cacat) dengan skor masih di bawah 70 dan dengan rapot merah kebebasan sipil 59 (The Economist, 2022).

Di saat yang sama, utang Indonesia semakin membengkak hingga Rp 7.733,99 triliun (Kemenkeu, 2023). Angka pertumbuhan ekonomi masih kalah jauh dibanding Filipina yang sudah 7 persen, Vietnam 13 persen dan Malaysia 14 persen. Kita masih dikisaran 5 persen, padahal hampir Rp 1.000 triliun uang digelontorkan untuk pemulihan ekonomi kita.

BACA JUGA: Mahasiswa Ajak Menolak Lupa Gerakan Reformasi 1998

Sementara, pada sisi lain kemiskinan terus meningkat, ada 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan (BPS, 2022). Pengangguran juga terus bertambah, bahkan 59 persen pengangguran adalah generasi berusia muda (BPS, 2022). Di saat yang sama, justru 70,3 persen pejabat bertambah kaya.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sekitar 52 persen penduduk miskin yang berusia di atas 15 tahun hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang SD/SMP saja. Bahkan, 31 persen lainnya tidak mampu menempuh jenjang Sekolah Dasar.

Hanya 16,7 persen penduduk miskin yang dapat mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA. Padahal di era demokrasi saat ini, memperoleh akses pendidikan yang berkualitas adalah pra-syarat agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses demokrasi dan menjadikan demokrasi lebih meningkat kualitasnya.

Pasca reformasi, jurang ketimpangan justru semakin tinggi. Berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia.

Besarnya ketimpangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Data Lembaga Penjaminan Simpanan menunjukkan bahwa dari total 187,24 juta rekening, 97,8 persennya memiliki nominal di bawah Rp 100 juta. Sementara simpanan dengan nominal di atas Rp 5 miliar hanya 80.829 rekening atau sekitar 0,04 persen dari total rekening dimana nilainya mencapai Rp 2.136,7 triliun atau sekitar 46 persen dari total simpanan perbankan yang ada.

Data kepemilikan lahan juga menunjukkan tingginya angka ketimpangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan yang luasnya bisa ribuan hektar khususnya di Kalimantan dan Sumatera.

Kondisi yang cukup memprihatinkan tersebut bisa jadi menjadi suatu hal yang tak terbayangkan oleh mereka yang dahulu mengusung agenda perubahan melalui gerakan reformasi untuk menumbangkan pemerintah orba. Tadinya keran demokrasi yang telah dibuka pasca tumbangnya pemerintah orba harapkan akan berimbas pada kehidupan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Namun ternyata demokrasi yang dijalankan hanya sebatas demokrasi prosedural belaka bukan demokrasi substansial yang membawa efek bagi peningkatan kehidupan rakyat menjadi makmur dan sejahtera.

Tidak dapat dipungkiri, sejak keran demokrasi dibuka, dalam sekejap, sejumlah proyek penataan ulang institusi dan mesin pemerintahan telah berjalan sampai tingkat desa. Mulai dari pengadaan sistem multipartai, perubahan sistem pemilu yang memungkinkan pemilihan langsung untuk presiden, kepala daerah dan anggota legislatif di tingkat pusat dan daerah, penerapan ‘disentralisasi’, dan pembentukan institusi-institusi baru yang diharapkan dapat menghindari sistem otoritarian dan menciptakan check and balance atau kontrol satu institusi satu dengan yang lainnya.

Namun ternyata reformasi institusional yang telah terjadi tak juga mengubah lingkungan sosial-politik dan ekonomi menjadi lebih baik seperti harapan bersama. Pasca tumbangnya kekuasaan orba, kita masih dihadapkan pada banyak kasus KKN yang melibatkan hubungan antara penguasa politik dan pengusaha rente yang memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingannya.

Perbedaannya dari rezim orba, di era reformasi ini tidak ada pengendali kekuasaan tunggal di tangan satu figur layaknya Soeharto di masanya. Menanggapi rezim yang berkuasa saat ini, Jefrey Winters menyebutnya sebagai rezim ‘oligarki liar’, dimana kekuatan ekonomi (kroni bisnis) terfragmentasi sejalan dengan fragmentasi kekuatan politik hasil dari proses demokratisasi setiap kali pemilu tiba.

BACA LAGI: Apakah Indonesia Sudah Benar-benar Direformasi?

Sementara itu, proses desentralisasi atau otonomi daerah menghasilkan apa yang disebut John T Sidel sebagai local bossism atau dalam istilah Migdal dan Vedi Hadiz disebut sebagai local strongmen, dimana desentralisasi digunakan oleh sebagian elit politik lokal untuk membangun oligarki politik dan ekonomi, sehingga memunculkan orang-orang kuat di tingkat lokal menjadi raja-raja kecil di sana.

Para orang kuat lokal ini seringkali memanfaatkan birokrasi untuk menggalang suara, mendapatkan dana dari proyek pemerintah dan mengatur pejabat-pejabat agar jatuh kepada keluarga atau kroninya serta menjalin kedekatan dengan penyelenggara pemilu daerah dengan tujuan untuk membuat dirinya memperoleh keuntungan dari bisnis perizinan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayahnya.

Alih-alih membawa perubahan, demokrasi elektoral hasil reformasi justru memperkuat siklus hartawan menjadi penguasa. Berpolitik untuk menjadi hartawan, dan berharta demi kekuasaan politik semata. Situasi ini kian mengarahkan kebijakan publik yang seyogyanya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan kebaikan bersama rawan dibajak untuk kepentingan bisnis pribadi segelintir orang dan kelompoknya.

Selama pelaksanaan demokrasi prosedural, mereka akhirnya banyak yang memerankan dirinya sebagai bandar dan bandit dalam penyelenggaraan negara. Dengan kemampuan finansialnya mereka bisa beternak calon penguasa mulai bupati/walikota, gubernur bahkan menjadikan orang nomor satu di Indonesia. Mereka yang kemudian lantas menjelma sebagai bandit bandit yang mengabdikan kekuasaannya untuk kepentingan para bandar yang telah berjasa kepadanya.

Sebagai buntut dari berkuasanya para bandar dan bandit, banyak kebijakan kebijakan yang merugikan rakyat Indonesia disebabkan proses demokrasi substansial tidak berjalan sebagaimana mestinya. Maka lahirlah kebijakan kebijakan aneh yang selalu dipertanyakan sebenarnya untuk kepentingan siapa?

Pengesahan beberapa ketentuan perundang-undangan yang banyak ditanyakan publik barangkali menjadi salah satu contohnya. Seperti pengesahan Perppu Nomor 1 tahun 2020 tentang Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan menjadi undang-undang yang berlangsung mulus mulus saja. Pengesahan berbagai Undang Undang kontroversial lainnya seperti UU Omnibuslaw Cipta Kerja, revisi UU KPK, UU Minerba dan yang lain lainnya.

Pengesahan Undang Undang yang terkesan terburu buru dan tertutup prosesnya ini telah menimbulkan serangkaian pertanyaan ada apa sebenarnya. Artinya, keputusan yang cepat dengan tidak mengindahkan suara rakyat yang berada di luar parlemen, bisa dikatakan mem-baypass demokrasi substansial (Heyness, 2003).

Fenomena tersebut membuktikan kuatnya pengaruh para bandar dalam mengendalikan para bandit yang sedang memegang kuasa. Kuatnya cengkeraman para bandar dan bandit ini telah membuat suara suara penentangan yang terjadi di luar parlemen dianggap sebagai angin lalu saja. Bahkan mereka yang tidak sejalan bisa diperkarakan lewat proses hukum atau instrument politik lainnnya.

Menjelang penghelatan Pemilu 2024 ini nampaknya para bandar dan bandit itu ikut sigap menentukan wajah kepemimpinan Indonesia ke depannya. Mereka tidak rela kehilangan kekuasaaan yang selama ini telah dibangunnya. Sebab kalau sampai kekuasaan itu hilang dari tangannya maka kepentingan para bandar akan terancam pula. Tapi benarkah para bandar dan bandit itu yang sekarang berkuasa di Indonesia.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.