Soeharto Lengser, Tapi Agenda Reformasi Tidak Jalan

0

DUA puluh lima tahun yang lalu, api reformasi dinyalakan oleh mahasiswa dan elemen bangsa lainnya untuk meruntuhkan hegemoni penguasa orde baru (orba) yang telah berkuasa 32 tahun lamanya. Kala itu, sejumlah mahasiswa dan rakyat menuntut adanya reformasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.

DALAM gerakannya, mahasiswa Indonesia menyampaikan beberapa tuntutan reformasi, yang kemudian dikenal sebagai enam agenda reformasi 1998.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmon J Mahesa mengatakan, ada enam agenda reformasi yang menjadi tuntutan para demonstran. “Enam agenda itu yakni: adili Soeharto dan kroni kroninya, hapus Dwi Fungsi ABRI, hapus korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN), tegakkan supremasi hukum, amandemen UUD 1945 dan otonomi daerah seluas luasnya,” ujarnya dengan jejakrekam.com, Senin (22/5/2023).

BACA: Belajar dari Orde Baru, Ketika Sang Patron Tumbang

Putra Banua ini menyebutkan, agenda pertama reformasi yaitu adili Soeharto dan kroni kroninya. Dalam hal ini peradilan terhadap Soeharto telah dilakukan ditandai dengan penetapan yang bersangkutan sebagai tersangka. Seperti diketahui, pada 31 Maret 2000, Kejaksaan Agung telah menetapkan Soeharto sebagai tersangka. Namun status tersangka yang disematkan kepadanya hanya sebatas sebagai Ketua Yayasan belaka bukan sebagai mantan presiden Republik Indonesia.

Banyak yang menyayangkan mengapa Kejagung tidak mengadili Soeharto dalam kapasitasnya sebagai mantan Presiden Republik Indonesia yang diduga telah menyalahgunakan kekuasaannya. Padahal selama menjabat sebagai presiden, Soeharto banyak mengeluarkan kebijakan yang berbau abuse of power dalam betuk Keppres dan PP dan sebagainya. Tetapi dugaan penyalahgunaan kekuasaan itu tidak diadili.

Proses peradilan terhadap penguasa orba itu pun terkesan hanya sekadar untuk memenuhi tuntutan publik semata, agar seolah olah proses peradilan telah dijalankan tetapi sebenarnya tidak sampai menyentuh substansinya. Soeharto dengan alasan kesehatan, selalu gagal datang dalam persidangan yang semestinya dihadirinya. Kalau ditanya soal yayasan, Pak Harto selalu menjawab ‘tidak tahu’ atau ‘lupa’. Apalagi pengelolaan yayasan itu memang dilakukan oleh para pembantunya.

Akhirnya dengan selalu gagalnya upaya untuk menghadirkan Soeharto dalam persidangan, maka pada 11 Mei 2006 Kejagung memilih untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan kepadanya. Dan perkara ditutup demi hukum, yaitu karena gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan sebagaimana mestinya.

Sampai dengan meninggalnya penguasa orba tersebut masalah terkait pengadilan terhadap Soeharto masih menyimpan teka teki karena memang belum tuntas pengusutannya. Semoga beliau diampuni dosa-dosanya dan mendapatkan tempat yang layak di sisiNya.

Lalu bagaimana halnya dengan peradilan terhadap para kroni kroninya? Ternyata tokoh-tokoh orba yang berjaya ketika Soeharto berkuasa itu tetap bisa wira-wiri menjadi bagian dari penguasa pasca tumbangnya pemerintahan orba. Gagalnya konsolidasi demokrasi, pasca runtuhnya rejim otoritarianisme Soeharto telah membuat mantan kroni-kroni Cendana itu dengan cepat mengonsolidasi dirinya (untuk beradaptasi), dengan rezim reformasi pasca tumbangnya kekuasaan orba.

Jadi alih-alih ada peradilan terhadap kroni-kroni Cendana, mereka justru menjelma menjadi seolah-olah ikut berperan menumbangkan pemerintah orba, dan pada akhirnya mereka bisa kembali menduduki posisi posisi penting yang dalam banyak hal lebih menguntungkannya. Kenyataan bahwa Indonesia pasca tumbangnya orba kembali dikuasai oleh para mantan penguasa yang telah berkuasa sebelumnya.

BACA JUGA: Apakah Indonesia Sudah Benar-benar Direformasi?

Agenda kedua reformasi yaitu hapus Dwi Fungsi ABRI. Pada masa orba, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sosial politik dan fungsi keamanan negara. Dwi Fungsi menyebutkan, bahwa ABRI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.

Adanya Dwi Fungsi menimbulkan permasalahan pada masa orba. Pasalnya, dapat dikatakan bahwa ABRI menjadi sebuah kekuatan besar yang tidak memihak rakyat sipil pada umumnya. Oleh sebab itu, pada era Reformasi, rakyat meminta Dwi Fungsi ABRI dihapuskan.

Pada akhirnya dalam masa jabatannya yang sangat pendek (1999-2001) karena keburu dilengserkan, pemerintahan Presiden Gus Dur melakukan sejumlah reformasi TNI dimana Polri dipisahkan dari tentara. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin Dwi Fungsi ABRI ini yang selama orba berkuasa menjadi momok bagi warga sipil Indonesia.

Agenda ketiga reformasi adalah menghapus korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Agenda reformasi yaitu penghapusan KKN dinilai gagal dalam pelaksanannya. Alih-alih membaik, nasib pemberantasan KKN justru dinilai kian mundur di periode kedua pemerintah yang sekarang berkuasa. Indeks Persepsi Korupsi tahun 2022 yang baru saja dilansir oleh Transparency International Indonesia (TII), menunjukan skor Indonesia anjlok empat poin yaitu dari 38 menjadi 34.

Selain hal tersebut, peringkat Indonesia pun terjun bebas, dari 96 menjadi 110. Merujuk pada temuan TII, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorikan sebagai salah satu negara terkorup di dunia.

Gagalnya pelaksanaan agenda reformasi untuk pemberantasan KKN barangkali terwakili melalui pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud MD. Beliau mengatakan korupsi di Indonesia saat ini telah terjadi di berbagai sektor. Ia menyebut korupsi sudah menjadi fenomena yang gila.

Sekarang saudara noleh kemana saja ada korupsi kok. Noleh nih ke hutan ada korupsi di hutan, noleh ke udara ke pesawat udara ada korupsi di Garuda, asuransi ada asuransi, koperasi korupsi, semuanya korupsi,” kata Mahfud MD dalam Sarasehan Sinkronisasi Tata Kelola Pertambangan Mineral Utama Perspektif Politik, Hukum dan Keamanan, Selasa (21/3/2023).

BACA LAGI: Mahasiswa Ajak Menolak Lupa Gerakan Reformasi 1998

Agenda ke empat reformasi adalah menegakkan supremasi hukum di Indonesia. Negara yang sudah menjunjung tinggi supremasi hukum adalah negara yang mampu menempatkan ‘hukum’ sebagai panglima. Pada era orde baru supremasi hukum tidak dijalankan sebagaimana mestinya, hukum berada di tangan penguasa sehingga apapun kehendak penguasa adalah final dan tidak ada yang berani menggugatnya.

Kini setelah 25 tahun reformasi, agenda untuk menegakkan supremasi hukum masih juga menjadi suatu kendala. Penegakan hukum masih dirasakan tumpul ke atas tajam kebawah, yang berarti keadilan masih belum bisa didapatkan oleh segenap warga bangsa. Penegakan hukum yang semestinya bisa menghasilkan keadilan seringkali justru malah sebaliknya.

Bahkan akhir-akhir ini ada kecenderungan penegakan hukum dijadikan sarana untuk menyingkirkan lawan-lawan politik yang tidak sejalan dengan kehendak pemerintah yang sedang berkuasa. Fenomena ini memang sulit untuk dibuktikan tapi begitu terasa.

Agenda reformasi yang kelima yaitu amandemen UUD 1945. Sejauh ini sudah empat kali amandemen UUD 1945 yang dirampungkan hingga tahun 2002. Namun poin tersebut terbilang normatif karena isunya baru sebatas selesai dengan perubahan UUD 1945. Bahkan amandemen yang dilakukan justru membuahkan persoalan lainnya.

Ketimpangan peran legislasi bikameral, misalnya. Kehadiran DPD-RI yang semula dicitakan bisa membentuk model legislasi bikameral melalui representasi keterwakilan daerah, justru menampilkan desain bikameralisme yang lemah pada akhirnya.

Amandemen UUD 1945 memang berdampak positif bagi kehidupan demokrasi antara lain dengan adanya pembatasan jabatan presiden dan wakil presiden dan pemilu secara langsung, namun sisi lain amandemen itu telah membuat UUD 1945 semakin berwatak liberal kapiltalistik yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Itulah sebabnya beberapa elemen bangsa ada yang menghendaki untuk kembali ke naskah asli UUD 1945.

Agenda reformasi keenam adalah otonomi daerah yang seluas luasnya. Pada masa reformasi, pemerintah Indonesia melaksanakan otonomi daerah, yaitu penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan kedaerahannya.

Otonomi daerah untuk pertama kalinya mulai diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang hingga saat ini telah mengalami beberapa kali perubahan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yang kemudian juga membawa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat di berbagai bidang. Dalam pelaksanaannya, tentu terdapat tujuan otonomi daerah yang harus dicapai masing-masing pemerintahnya.

Tujuan otonomi daerah ini tidak lain berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum bagi masyarakat, hingga daya saing daerah dengan meningkatkan potensi yang ada. Beberapa tujuan otonomi daerah ini dapat dicapai dengan mudah jika pemerintah dan masyarakat saling mendukung untuk mewujudkannya.

Untuk mewujudkan tujuan otonomi daerah tersebut, pemerintah diberikan beberapa hak yang bisa dilaksanakan. Mulai dari menyusun pengaturan pemerintahan, memilih pimpinan daerah, mengelola aparatur daerah, mengelola kekayaan daerah, hingga mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan sebagainya.

Namun, akhir-akhir ini muncul kegundahan karena otonomi daerah yang menjadi agenda reformasi tersebut terancam pelaksanaannya, terutama dengan disahkannya UU Omnibuslaw cipta kerja, UU minerba dan sebagainya.

Disahkannya RUU Omnibus Law menjadi UU yang isinya antara lain penyederhaaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, kemudahan dan perlindungan UMKM dan sebagainya telah menyebabkan semua perizinan usaha, usaha jasa pertambangan, izin galian C, izin batu kali dan batu kapur dan sebagainya harus izin pemerintah pusat di Jakarta.

Dengan sendirinya daerah kabupaten/kota dan provinsi sudah tidak punya wewenang apa-apa dalam pemberian izin usaha. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa otonomi daerah yang intinya adalah desentralisasi pemerintahan dan ekonomi, sudah mulai dinihilkan keberadaannya.

Memang Undang-undang Otonomi Daerah dalam bidang pemerintahan masih berlaku, tetapi kewenangan bupati/walikota dan gubernur melalui pemberian izin usaha, sudah diamputasi oleh UU Omnibus Law, sehingga bupati/walikota dan gubernur sudah tidak memiliki kewenangan apa-apa untuk mengembangkan dan memajukan daerah masing-masing melalui pemberian izin usaha.

Kalau memang demikian kenyataannya maka agenda reformasi untuk adanya otonomi yang seluas luasnya perlu dipertanyakan kelanjutannya. Apakah cukup sampai di sini saja dan kemudian system pemerintahan akan kembali ke system sentralistik seperti zaman orde baru?(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Ahmad Riyadi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.