495 Tahun Usia Banjarmasin, Mengapa Calap/Banjir Masih (akan) Terjadi (1)?

0

Oleh : Subhan Syarief

BULAN ini Banjarmasin akan menapak usia ke 495. Ya, setiap tanggal 24 bulan September , ibukota Kalimantan Selatan ini akan merayakan pertambahan usianya. Usia yang tentu tak lagi muda, usia yang sudah semakin sepuh dan tua. 

SAYANG..., pertambahan usia ini belumlah mampu membuat Banjarmasin menjadi kota mapan, matang, nyaman, produktif, kreatif  terkhusus mampu memberikan nilai tambah bagi warganya.

Keinginan baik untuk menjadikan kota ini baiman (barasih dan nyaman) patutlah dihargai, tapi bagi yang sedikit cermat menyimak perjalanan kota ini pasti menyatakan hal tersebut masihlah jauh dari harapan. Ini tentu lebih terasa bagi yang paham kondisi yang terjadi dan bakal di hadapi oleh Banjarmasin kedepan.

Akan tetapi bagi yang tak paham dan hanya sekedar bermimpi , atau bahkan beretorika untuk sekedar membuat ‘citra’ maka ‘mereka’ akan selalu berkata bahwa kota Banjarmasin sudah lebih bagus , lebih nyaman dan lebih modern , lebih maju di Bandingkan waktu lalu.

Secara umum bila bicara masa depan sebuah kota maka ada 3 (tiga) aspek penting yang akan selalu meliputi nya.

Pertumbuhan , Perubahan dan Konflik akibat benturan antara pertumbuhan dan perubahan. Ketiga aspek ini mestinya menjadi dasar utama ketika mau menata kota , yaa.., tentu termasuk ketika mau menata ataupun membangun kota Banjarmasin.

Secara alamiah Pertumbuhan yang pesat , Perubahan yang terjadi akibat dari pertumbuhan tersebut pasti akan membuat konflik dari segi lingkungan baik fisik ataupun non fisik , budaya , sosial , ekonomi , politik , bahkan prilaku hidup warga kota. Pertemuan antara Pertumbuhan dan Perubahan ini ujungnya memunculkan Konflik. Konflik yang kadang kala memunculkan hal yang negativ , seperti perubahan rona ekologis kota , hilangnya furniture khas kota. Dan bahkan merubah karakter geografis sebuah kota , seperti kota Banjarmasin dimana dulunya di dominasi oleh area resapan / rawa dan sungai akhirnya berubah menjadi di dominasi oleh daratan yang terbentuk dari hasil reklamasi atau pengurugan tanah. 

Sisi lain kebutuhan hunian akibat banyaknya pendatang juga berakibat daerah daerah bantaran sungai , bahkan sungaipun banyak yang menyempit dan mati akibat korban pembangunan rumah , gedung dan berbagai infrastruktur nya seperti jalan , parkir , taman dllnya yang sejenis. Ujungnya kondisi lingkungan kota pun menjadi berubah. Limpahan air yang dahulu mudah di salurkan menjadi terhambat atau tak mampu ditampung oleh area yang dulunya menjadi ‘rumah’ dan ‘jalan’ air untuk menuju sungai besar dan menuju kelaut. Akibat konflik yang terjadi memunculkan masalah baru , antara lain adalah masalah calap / banjir akibat kawasan lahan dan furniture alam kota Banjarmasin tak lagi bisa berfungsi seperti dahulunya.

BACA: Jadi Langganan Calap, Warga Kawasan Kelayan Dalam Minta Perhatian Pemkot Banjarmasin

Mengapa ini terjadi , yaa…., tak lepas diakibatkan karena kota Banjarmasin telah gagal memetakan dan menganalisis kemungkinan berbagai konflik yang muncul sebagai dampak perubahan akibat dari pertumbuhan yang pesat dan dinamis tersebut. Dalam bahasa ilmiah nya , bisa dikatakan pemerintah kota Banjarmasin belum memiliki atau belum mampu melakukan manajemen terhadap 3 (tiga) aspek masalah utama yang selalu ada dan meliputi setiap Kota. Sepanjang tak bisa memanajemen hal tersebut maka sangat sulit berharaf Banjarmasin bisa menjadi kota yang terbaik yang mampu memberikan kenyamanan , keamanan , kemajuan dan meningkatkan produktivitas hidup bagi warga penghuni kota ; termasuk untuk bisa imun terhadap 3 masalah utama kota , seperti MCK alias Macet , Calap / Banjir dan Kumuh.

Kembali ke kondisi kekinian kota Banjarmasin dgn slogan baru ber tagline Baiman atau Barasih wan Nyaman , yang  sejak 5 (lima) tahun lalu mulai dicanangkan oleh pemerintah kota untuk agar kota Banjarmasin bisa menjadi kota yang menampilkan kondisi barasih wan nyaman. Menjadi menarik ketika di kaitkan dengan satu aspek masalah utama kota Banjarmasin , misalnya saja hal penangganan limpahan air yang sering menimbulkan kecalapan alias banjir.

Bicara nyaman tentu tak lepas dari hal kesan psikologi yang dirasakan ketika tinggal disebuah kota.

Kota yang nyaman bila ditinjau dari hal terkait dengan persolan kebanjiran / calap tentu sangatlah erat hubungannya. Bagaimana bisa di katakan nyaman bila setiap hujan deras mendera 1 atau 2 jam maka kemudian sebagian daratan kota atau permukiman selalu terjadi genangan. Ini jelas mengambarkan sebuah kondisi yang tidak nyaman , atau bahkan jauh dari rasa nyaman. Dan kemudian bila ini selalu terjadi tak pernah berhenti , bahkan dari tahun ketahun semakin parah maka tentu akan membuat tagline bercita ‘nyaman’ yang dibanggakan tersebut akanlah menjadi kata yang tak punya arti dan makna. Hanya sebatas retorika belaka. 

Sayangnya memang , fakta yang terjadi menunjukan bahwa hal kecalapan / banjir tidaklah mampu untuk di hilangkan bahkan dikurangi. Jadi harapan cita nyaman sangatlah jauh dari harapan bila di lihat dari aspek imunitas kota terhadap serbuan limpahan air yang dari tahun ke tahun semakin menjadi.

Bahkan , puncaknya ketika Januari 2021 telah terjadi tragedi banjir menerjang Kota Banjarmasin yang tak pernah terjadi sepanjang waktu sejak berdirinya atau adanya kota Banjarmasin.

(jejakrekam/bersambung)

Penulis ada seorang doktor dan pengamat perkotaan tinggal di Banjarmasin

(Isi dari artikel ini sepenuhnya tanggungjawab penulis bukan tanggung jawab media)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.