Menyusuri Kenikmatan Secangkir Kopi dari Borneo Bagian Selatan

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

KOPI sudah sejak lama dikonsumsi orang Banjar. Bukan hanya untuk minuman keseharian, kopi pun bahkan dihubungkan dengan hal hal mistik atau gaib.

SEBUT saja, apabila ada yang ‘kesurupan’, seseorang telah dimasuki roh halus yang kadang-kadang meminta sesuatu. Di antaranya gula, santan, kopi dan sebagainya.

Sebelum diberi hidangan ini, roh halus tidak mau pergi. Setali tiga uang dengan tradisi Banjar khususnya dalam aruh penopengan. Seluruh topeng–topeng diberikan persembahan berupa segala jenis, perapian, kemenyan, hingga piduduk dan kopi pahit, dan kopi manis. Kopi juga menjadi obat mencegah step atau karungkup. Pengidap penyakit ini disarankan sering meminum kopi.

Bagaimana asal mula kopi di Borneo? Kopi di wilayah Borneo tercatat mulai dibudidayakan pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman al Mutamidullah pada tahun 1818 dan mengalami peningkatan tahun 1823.

BACA : Mengangkat Kembali Kejayaan Kopi Pengaron, Ikon Kopi Banua Banjar

Budidaya ini tidak terlepas dari ‘legalisasi’ kopi melalui perjanjian dengan sultan. Atas permintaan pemerintah kolonial Belanda, Sultan Banjar berusaha menggalakkan tanaman kopi dan lada sebagai jenis komoditi ekspor yang andalan saat itu.

Perjanjian tersebut adalah Contract Met De Sultan Bandjermasin, tertanggal 1 Januari 1817 yang diperbaharui 29 April 1818 antara Sultan Sulaiman dan van Boekholz yang mewakili pemerintah kolonial Belanda.

Pada pasal (perkara) 29, disinggung bahwa tentang budidaya dan pengiriman lada dan kopi akan dibuat dalam perjanjian tersendiri. Demikian hanya dengan pembaharuan kontrak Belanda dengan Sultan Banjar, pembaharuan kontrak 1 Januari 1817, yang diperbarui tanggal 13 September 1823.

BACA JUGA : Berburu Binatang, Gaya Hidup Para Sultan Banjar

Dalam perjanjian ini juga memaparkan tentang keberadaan tanaman kopi. Pada pasal (perkara) delapan, dituliskan bahwa Paduka Sri Sultan Sulaiman memberikan beberapa wilayah mulai wilayah Paser hingga Tanah Dayak kepada kolonial Belanda. Residen Belanda pun diberikan berhak mengembangkan tanaman lada dan kopi di area tersebut, sekaligus memperdagangkannya.

BACA JUGA : Istana Sultan Banjar Mewah Karena Melimpahnya Lada

Kopi dan lada memang komoditas penting. Wajar kemudian pada pasal yang sama, diuraikan bahwa Sultan Banjar dan pemerintah Hindia Belanda akan mendapatkan bagian dari budidaya dan perdagangan yang dikembangkan.

Cuma ada aturannya. Siapa pun yang menanam kopi atau lada harus membayar “jatah” (semacam pajak) kepada Sultan Banjar dan pemerintah Belanda. Setiap hasil lima pikul kopi maupun lada, maka dua pikul jatah untuk Sultan dan pemerintah kolonial Belanda. Sepikul milik Sultan dan sepikul untuk Belanda.

Sementara pada pasal tigabelas. Sultan Banjar berjanji akan menganjurkan masyarakat di wilayahnya untuk menanam kopi dan lada. Pemerintah kolonial Belanda pun akan membelinya, dengan catatan apabila tidak ada pedagang yang tertarik membelinya.

Sementara itu kalau pemerintah kolonial Belanda yang membeli komoditas tersebut, maka akan mengambil (memotong) pajak lagi sebesar 20 f dalam satu pikul kopi matan (kopi baik dan bersih) dan 12 f untuk satu pikul lada. Dari perjanjian ini terlihat karena langka dan pentingnya kopi, maka pajaknya lebih tinggi dibanding lada.

BACA JUGA : Melacak Istana dan Ibunegeri Sultan Banjar di Tanah Kuin

Dimana sentra kopi pada masa kolonial Belanda? Budidaya kopi ini tersebar di beberapa wilayah di Borneo bagian selatan. Berdasarkan kontrak 4 Mei 1826, yang diperbaharui 29 September 1826 pada pasal (perkara) 6 dituliskan bekas wilayah yang pernah dikuasai Inggris yakni wilayah Tanah Laut, mulai dari wilayah Banyu Irang, Liang Anggang, Selingsing Ujung, Teluk Pulantan dan Maluka harus mengikuti anjuran pemerintah kolonial menanam lada dan kopi. Kemudian hasilnya terdapat potongan untuk pembayaran (pajak) kepada Belanda.

Seperti dijelaskan di awal. Terdapat aturan khusus budidaya kopi. Walaupun aturan ini sifatnya ‘elastis’ kalau ditanam di wilayah Kesultanan Banjar. Pada pasal (perkara) 27, kalau terdapat kegiatan penanaman kopi di wilayah Sultan Banjar, mendapatkan dispensasi untuk tidak menuruti aturan kolonial Belanda.

BACA JUGA : Ada Lada Nagara, Tanah Laut dan Kayutangi yang Bawa Kemakmuran

Sultan Banjar dianjurkan menerima satu orang Eropa dan satu perwakilan Sultan sebagai pemeriksa dan mengatur budidaya lada dan kopi. Masyarakat harus ikuti aturan mereka. Hal lainnya, Sultan boleh memungut hasil (pajak) di dalam wilayahnya sesuai ketentuan. Prosedurnya, seperti aturan sebelumnya, potongan dua pikul dari lima pikul yang dihasilkan.

Pemerintah kolonial Belanda kembali menegaskan janji akan membeli hasil alam ini jika Sultan Banjar tidak suka menjualnya ke pihak lain atau pedagang lain tidak ada yang membelinya.

Mengenai harganya apabila dibeli oleh Belanda akan ditentukan Residen Banjarmasin sesuai perkembangan tiap tahunnya. Kisaran harganya akan diinformasikan kepada Sultan. Aturan budidaya kopi yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda memang tidak dapat terlepas dari kondisi di Jawa.

Pada era ini (1816 – 1830), petani yang menanam kopi di luar lahan pemerintah kolonial dikenakan pajak, menyebabkan banyak petani memboikot tidak menanam kopi. Produksi kopi Hindia Belanda turun. Wajar, dalam perkembangannya tahun 1830-1870 Pemerintah pun menetapkan tanam paksa, petani wajib menanam tanaman yang diminta pemerintah, termasuk kopi.

BACA JUGA : Ditanam Sejak Sultan Suriansyah, Banjarmasin Pusat Lada Dunia

Penerapan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) dilakukan oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Daerah-daerah dari luar Jawa, terutama Sumatera, kemudian diharuskan menanam kopi. Demikian juga dengan wilayah lainnya seperti Kalimantan (Borneo).

Alasannya, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan kopi sebagai salah satu komoditas ekspor yang utama. Sayang, penanaman kopi di Kalimantan (Borneo) memang tidak berkembang pesat seperti daerah yang menjadi sentra kopi di Jawa dan Sumatera. Walaupun kopi sudah dibudidayakan masyarakat Banjar era itu, penduduk di wilayah Borneo bagian selatan dan timur tetap mengimpor kopi sejak tahun 1850.

Seperti data pemerintah kolonial tentang Komoditas Impor kopi dan Nilainya (dalam florins/ ƒ) tahun 1850 mengimpor kopi senilai 220 f. Kemudian tahun 1860, mengalami kenaikan hingga 4.494 f, selanjutnya tahun 1861 nilai impor kopi naik beberapa kali lipat hingga mengalami penurunan tahun 1867 dengan nilai 15.640 f.

Dalam laporan Algemeene Verslag, tahun 1850, dituliskan bahwa pemerintah kolonial juga berusaha mengembangkan tanaman kopi dan lada. Namun tidak berhasil karena penanaman kedua produk yang melibatkan banyak tenaga ini menghasilkan produksi yang tidak signifikan dan proporsional dengan kebutuhan modal.

Alhasil, upaya pemerintah dengan memaksa penduduk untuk memperluas dan memelihara kedua produk ini mengakibatkan penduduk meninggalkan tanah gubernemen. Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada tanaman kopi yang bisa berkembang di Borneo bagian selatan. Bleeker menuliskan bahwa pada tahun 1854, sebagian kecil penduduk wilayah onderafdeeling Amoentai (Amuntai) telah membudidayakan tanaman kopi.

Kopi tersebut dijual 50 sen per gantang (atau ƒ 10 per pikol) di pasaran. Hal ini dituliskannya dalam “Tijdschrift Voor Sederlandsch Indie” van Dr. W. R. Baron van Hoevell, Serie 4de Jaargang, Tweede Deel, (te Zalt-Bommel bij Joh. Noman en Zoon, 1866).

BACA JUGA : Blunder Van Twist Dudukkan Tamjidillah sebagai Sultan Muda Kerajaan Banjar

Secara umum tanam paksa kopi di wilayah Hindia Belanda berakhir tahun 1916. Walaupun berakhir, kopi “tidak ada matinya”. Kopi tetap menjadi tanaman unggulan di beberapa wilayah di Borneo. Pada tahun 1936, Schophuys dalam Het Stroomgebied Van De Barito menuliskan beberapa tahun terakhir budaya kopi robusta (coffea robusta), terpusat di Barabai. Budidaya kopi ini memiliki peluang besar.

Selanjutnya kopi robusta juga mulai dibudidayakan di banyak tempat, seperti Martapoera dan Hulu Sungai yang dibudidayakan turun temurun. Dalam beberapa tahun terakhir, bibit kopi bahkan telah diperkenalkan ke wilayah wilayah di sekitar pesisir Sungai Barito.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.