Berburu Binatang, Gaya Hidup Para Sultan Banjar
BERBURU binatang pada masa lalu merupakan dari olahraga ketangkasan maupun kesenangan. Sejak 4.000 tahun lalu, raja-raja di kawasan Assyria hingga Babylonia di belahan Asia Barat Daya, sudah melazimkan perburuan. Hewan buruan ini mulai dari gajah, singa, banteng hingga kambing gunung. Uniknya, perburuan itu pun menjadi tontonan.
DI SATU sisi berburu adalah kegiatan berbahaya dan membutuhkan nyali besar. Sedangkan di sisi lain, berburu menjadi ajang hiburan bagi para raja maupun bangsawan, sekaligus memamerkan ketangkasan.
Berburu adalah penampilan kekuatan si pemburu menaklukkan binatang liar. Sebagai bagian budaya patriarki, tentunya ini menjadi taruhan prestise dan status sosial. Pertunjukan sekaligus pemberitahuan secara tidak langsung kepada khalayak, inilah pemimpin yang berani mengambil risiko.
Untuk mengabadikannya, dibuatlah lukisan kegiatan berburu oleh raja maupun bangsawan di media dinding gua hingga kanvas. Sampai era kekinian lukisan ini masih bisa dinikmati di berbagai belahan dunia.
Demikian pula dengan tradisi berburu di Nusantara. Gaya hidup berburu memang sudah menjadi hobi raja-raja di bumi gemah ripah loh jinawi. Sebut saja kalangan raja maupun bangsawan di Jawa. Seperti dicatat dalam Kitab Negarakertagama, gubahan Prapanca tahun 1365. Raja tersohor Majapahit Hayam Wuruk terhitung beberapa kali menggelar ritual perburuan di wilayah Kerajaan Majapahit.
BACA : Keraton Dibumihanguskan, Belanda Sita Regalia Kesultanan Banjar
Berlanjut pada era Mataram Islam. Kegiatan berburu seakan menjadi bagian gaya hidup para sultan. Baik di lokasi tertentu seperti wilayah Krapyak, maupun di hutan bebas. Hanya saja yang diburu binatang tertentu yakni jenis babi liar atau babi hutan.
Pada Abad ke -18, binatang buruan didominasi spesies babi hutan dan menjangan (rusa). Karena itulah perburuan menjadi favorit raja-raja Mataram. Bukan hanya di Jawa, pada wilayah Borneo/Kalimantan pun para Sultan Banjar juga memiliki gaya hidup sama. Apalagi di Borneo tidak kalah banyaknya jumlah spesies yang menjadi binatang buruan.
Kegiatan berburu ini sempat direkan C.A.L.M. Schwaner, dalam bukunya berjudul Borneo yang diterbitkan van Kampen di Amsterdam tahun 1843. Dalam buku tersebut terdapat lukisan bertitel “Eene Hertenjagd in de Nabijheid van Martapoera” (perburuan rusa di sekitar Martapura), pada 1843.
Apabila dianalisa era tahun tersebut, merupakan masa kekuasaan Sultan Adam. Dapat dianalisa bahwa pada masa sultan yang terkenal dengan Undang-Undang Sultan Adam-nya ini perburuan sudah marak dilakukan.
Dalam lukisan Schwaner tersebut menggambarkan sebuah padang perburuan Kesultanan Banjar yang luas dikelilingi pepohonan. Pada padang perburuan itu dibangun rumah panggung tempat raja dan bangsawan menonton. Kemudian muncul di kanvas beberapa pemburu mengendarai kuda dan bersenjatakan tombak memburu beberapa ekor rusa (menjangan).
BACA JUGA : Surat Wasiat Sultan Adam dan Regalia Kesultanan Banjar
Tampak dua orang pembantu sedang membawakan makanan dalam nampan untuk sajian kepada sultan dan bangsawan yang sedang menonton di rumah panggung. Schwaner tidak menuliskan spesifik padang perburuan dimaksud.
Dalam judul lukisan pun hanya menyebut perburuan rusa di dekat Martapura. Walaupun demikian mengindikasikan semaraknya kegiatan berburu di era Sultan Adam tersebut.
Van der ven dalam artikelnya “Pengaturan Pemerintahan Dalam Negeri Kesultanan Banjar di Martapura”, menuliskan bahwa Sulthan Adam pada tahun 1855, usianya 84 tahun.
Kemudian permaisurinya, Njai Ratoe Kamala berusia 90 tahun. Keduanya selaku Raja dan Permaisuri Kesultanan Banjar masih dalam kepemilikan penuh atas aset di wilayah kekuasaannya.
Walaupun sudah dalam hitungan uzur, ternyata Sultan Adam tetap hobi berburu. Sultan Adam bahkan dua sampai tiga kali dalam seminggu menunggang kuda dan berburu rusa. Biasanya ditemani cucu kesayangannya, Pangeran Hidayat.
Solomon Muller (1840), mendeskripsikan keberadaan binatang buruan yakni rusa memang tak terhitung banyaknya di bagian tenggara Kalimantan. Khususnya di wilayah Poeloe-Lampej dan Mataraman. Oleh Panembanan Adam (Sultan Adam) dari Martapura, memang telah memerintahkan bahwa spesies rusa ini, dibiarkan hidup bebas di dataran rumput tak berpenghuni yang luas di dekat Poeloe-Lampej.
BACA JUGA : UU Sultan Adam, Misi Zending dan Kebebasan Non Muslim
Hal ini sebenarnya menjadi kebijakan yang dimulai sejak masanya Sultan Suriansyah dan turun temurun hingga tiga belas pangeran terakhir memerintah. Tidak jauh berbeda dengan Marten Douwes Teenstra (1846) yang menngemukakan bahwa terdapat tempat bernama Kalie-woengo yang menjadi tempat kecil dan terbuka untuk hobi berburu para Pangeran dan bangsawan di Borneo bagian tenggara. Pada wilayah ini terdapat banyak rusa.
Dari sumber lain, dituliskan memang terdapat beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi turun temurun sebagai ajang perburuan. Wilayahnya meliputi Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka, Padang Bajingah dan Padang Penggantihan. Kemudian, Padang Munggu Basung, Padang Taluk Batangang, Padang Atirak, Padang Pacakan, Padang Simupuran serta Padang Ujung Karangan.
BACA JUGA : Jaga Suasana Ramadhan, Sultan Adam Larang Bunyikan Petasan
Sebenarnya padang perburuan Sultan Banjar cukup luas. Sayangnya, beberapa padang perburuan sudah diambil alih sebelumnya oleh Belanda, berdasarkan Perjanjian tanggal 4 Mei 1826 (26 Ramadhan 1241 H). Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin.
Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan para Pangeran lainnya.
Dalam perjanjian ini, Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Isi perjanjian 1826, satu diantaranya beberapa daerah padang perburuan Sultan, diserahkan pada Belanda.
Sayangnya, setelah Sultan Adam meninggal, gaya hidup berburu ini hanya dilanjutkan Pangeran Hidajat/ Pangeran Hidayatullah. Helius Syamsudin (2001) menuliskan Sultan Hidayatullah di Martapura, pekerjaannya pada tiap hari ialah berburu dan gemar sekali bergaul dengan rakyat kebanyakan.
BACA LAGI : Pemprov Kalsel Restorasi Pesanggrahan Belanda di Tahura Sultan Adam
Hal ini terbukti ketika Kolonel Andresen menggagas perundingan dengan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah medio tahun 1858-1859. Ternyata Pangeran Hidayatullah tidak ada di tempat.
Hidayatullah saat itu meninggalkan Martapura karena sedang berburu rusa di Padang Atirak, salah satu tempat berburu bagi para sultan dan bangsawan Banjar. Demikian yang dilaporkan oleh Haji Isa dan Pangeran Syarif Husin kepada Andresen.
Sayangnya, gaya hidup berburu oleh sultan dan para bangsawan Banjar ini pun akhirnya berakhir. Tepatnya, pada tahun 1860, setelah Kesultanan Banjar dihapuskan secara sepihak oleh Pemerintah Hindia Belanda. Status padang perburuan pun dalam penguasaan pemerintah kolonial. Semua padang perburuan lalu dilarang bagi penduduk pribumi, hanya boleh dimasuki dan dimanfaatkan oleh orang-orang Belanda.(jejakrekam)
Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin
Pencarian populer:litograf banjar