USAI Banjarmasin memperpanjang pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), kini disusul tiga daerah penyangga dalam bingkai kota metropolitan Banjarbakula, yakni Kabupaten Banjar, Barito Kuala (Batola) dan Kota Banjarbaru efektif pada Sabtu (17/5/2020) hingga 14 hari ke depan.
BAGAIMANA dampaknya bagi sosial dan ekonomi masyarakat dan apakah efektif menghambat laju penularan virus Corona (Covid-19)? Pengamat kebijakan publik yang juga Ketua Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Kalimantan Selatan Dr Akhmad Murjani mengatakan jika ingin melihat efektif atau tidak, bisa berkaca dari model PSBB Banjarmasin.
“Seharusnya, saat tahap pertama berakhir, hasil PSBB itu dikaji dan dievaluasi dengan menghadirkan berbagai pihak baik akademisi, hingga ahli terkait seperti sosiologi, epidemiologi, ekonom dan tokoh masyarakat. Jadi, dapat diketahui di mana kelemahan dan keberhasilannya,” ucap Akhmad Murjani, dalam acara Palindangan Noorhalis (Majid) di RRI Banjarmasin, Sabtu (17/5/2020).
BACA : Gelar Rapid Test Bersama Banjarmasin, Pemprov Kalsel Sediakan Wadah Karantina Setara Hotel Melati
Mantan Kepala Laboratorium Kesehatan Provinsi Kalsel ini mengatakan jika memilih PSBB, maka persiapan harus maksimal, berdasar data masyarakat terdampak dan cara mengantisipasinya.
“Ketika memasuki PSBB tahap kedua, sudah dilakukan kegiatan rapid test dan diprediksi hasil reaktifnya kurang lebih 10 persen. Lantas dimana mereka itu akan diisolasi? Kalau disuruh isolasi mandiri di rumah masing-masing, apakah ada jaminan mereka tak keluar rumah?” cecar Murjani.
Dosen STIKES Cahaya Bangsa ini mengatakan jika nantinya dari ratusan sampel yang reaktif rapid test Covid-19, ternyata 50 persen positif dari hasil tes swab, apakah rumah sakit masih bisa menampungnya.
“Sebab, rumah sakit milik pemerintah daerah sekarang sudah penuh. Maka solusinya adalah rumah sakit swasta dan bisa berkomunikasi dnengan Persatuan Rumah Sakit Swasta (PERSI) Kalsel. Panggil para pemilik dan direkturnya, sebab izin rumah sakit swasta itu di bawah pemerintah kota,” papar Murjani.
BACA JUGA : Pasien Corona Membludak, Layanan IGD Umum RSUD Ansari Saleh Terpaksa Ditutup
Bagi dia, tidak ada jalan lagi, karena rumah sakit pemerintah sudah penuh menangani pasien Covid-19. Nah, menurut Murjani, hasil rapid test dilanjutkan dengan tes swab akan sia-sia jika ternyata pasien positif Covid-19 itu tak dirawat intensif.
“Kalau hanya menambah angka pasien Covid-19 tentu bikin masalah baru. Sia-sia saja nanti dilakukan rapid test jika tidak ada tindaklanjutnya,” beber Murjani.
Ia menekankan bahwa PSBB yang berlaku di Banjarmasin dan daerah penyangga itu bukan karantina wilayah atau lockdown. Makanya, kata Murjani, tidak perlu berlebihan, karena pemerintah tidak mau memilih lockdown karena ada konsekuensi menyediakan kebutuhan masyarakat.
“Dalam penerapan PSBB di empat daerah ini juga berbeda tradisi, kultur dan demografi. Makanya, antar satu wilayah dengan wilayah lainnya harus berbeda pendekatannya. Ini agar tumbuh kesadaran masyarakat untuk menaati aturan terkait PSBB,” papar Murjani.

Senada itu, pengamat kebijakan publik FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Taufik Arbain menekankan PSBB itu ada dua hal yang dijaga yakni menjaga keamanan dan kesehatan masyarakat agar tidak tertular Covid-19, dan memastikan kebutuhan pangan, khususnya pemberian sembako.
BACA JUGA : Tunggu Hasil Tes Swab, Puluhan WNA Pakistan Sementara Dikarantina Di Ponpes Al Ihsan
“Tetapi harus tetap melihat karakteristik masing-masing daerah. Termsuk, demografi dan waktu pelaksanaannya. Seperti wilayah desa, aktivitas masyarakat agak longgar, sehingga penularannya relatif rendah, saat diberlakukan PSBB, apakah petani tidak bisa pergi ke sawah dan kebun? Disitu letak karakteristik wilayah sangat menentukan satu kebijakan agar tidak asal tiru dari daerah lain,” tutur doktor lulusan UGM Yogyakarta ini.
Menurut Taufik, seperti PSBB yang ada khususnya di Banjarmasin terasa seperti karantina wilayah atau lockdown. Ia mencontohkan bagi wilayah perkotaan, dengan jenis pekerjaan sistem gaji atau upah, sejauh tidak di- PHK tentu tidak masalah.
“Namun bagi pedesaan yang pendapatannya berdasarkan aktivitas harian, mengambil lalu menjual, maka sangat berdampak. Karena itu kebijakan harus melihat ini semua. Hendaknya melibatkan semua pihak agar langkah yang diambil lebih matang. Termasuk dengan melibatkan pakar epidemologi, sehingga diketahui tingkat kecemasan publik atas kebijakan PSBB,” urai Taufik.(jejakrekam)