Rukyat Era Raja Banjar Sultan Adam; Tetuha Kampung Wajib Lihat Bulan

0

Oleh : Mansyur ‘Sammy’

TRADISI yang kental dengan napas keislaman diterapkan di era Kesultanan Banjar. Seperti memastikan awal bulan Ramadhan yang diwajibkan bagi umat muslim menjalankan ibadah puasa, ada kebijakan cukup ketat diterapkan era Sultan Adam.

TENTU saja, era sekarang dalam menentukan hilal atau posisi bulan sabit baru, digunakan metode rukyatul hilal maupun hisab.

Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal dengan mata telanjang atau alat bantu optik. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (Maghrib), sebab intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis.

Sementara hisab adalah metode perhitungan hilal secara matematis dan astronomis. Dalam penentuan awal Ramadhan ini, tercatat nama Sulthan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah II, Sultan Banjar yang memerintah tahun 1825-1 November 1857, ternyata sudah memakai metode rukyat.

BACA : Intan Sultan Adam, Rampasan Perang Banjar yang Kini Dikoleksi Museum Belanda

Bahkan untuk mempertegasnya, maka aturan penentuan awal Bulan Ramadhan ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang Sultan Adam (UUSA).

Van der ven (1860), menuliskan bahwa kebijakan Sultan Adam dalam mengatur pelaksanaan Ramadhan adalah pengejawantahan Undang-Undang Sultan Adam (UUSA).

Undang-undang yang dikeluarkan Sultan Adam Al-Wastsiq Billah, setelah baginda memerintah selama 10 tahun dari tahun penobatannya yakni tahun 1835. Undang-Undang Islam ini dalam bidang politik sebagai proses perkembangan hukum Islam dalam Kesultanan Banjar.

Pada batang tubuh UUSA yang terdiri dari 6 bagian, masalah penentuan awal bulan Ramadhan ini menjadi bahasan utama dalam bagian (1) berupa perkara agama dan peribadatan.

Hal ini tentunya karena keberadaan bulan Ramadhan atau bulan Puasa sangat penting. Sebagai bagian dari rukun Islam dan rukun Iman seorang muslim.

BACA JUGA : Islam Banjar Perpaduan Kultur Demak dan Samudera Pasai

Dilengkapi bagian berikutnya, (2) perkara hukum tata pemerintahan, (3) perkara hukum perkawinan, (4) perkara hukum Acara Peradilan, (5) perkara hukum penguasaan atas tanah, dan (6) peraturan peralihan.

Pada bagian 1 perkara 20, dituliskan bahwa “Sakalian banoea tiap tiap tatoeha kam-poeng koesoeroehkan mendjaga malihat 1 boelan pada tiap tiap awal boelan Ramadan anachirnja dan tiap tiap awal boelan Hadji an awal boelan Moeloed maka siapa siapa jang malihat boelan lekas lekas bapadah kapada hakimnja soepaja hakimnja lekas lekas 2 bapadah kajah I akoe maka mana mana banoea jang dilaloeinja ilir itoe ikam kabari semoeanja.”

Dalam Perkara 20 berisi perintah dari Sultan Adam, kepada tetuha kampung untuk menjaga bulan untuk menentukan awal Ramadhan untuk memulai ibadah puasa dan akhir Ramadhan dalam penentuan 1 Syawal atau Hari Raya Idul Fitri. Hingga, awal bulan haji (Hari Raya Haji atau Idul Adha), dan awal bulan Maulid (bulan kelahiran Rasulullah SAW).

Kemudian, tetuha kampung yang melihat bulan diperintahkan pula untuk menyampaikannya lagi kepada hakim dan hakim menyampaikannya pula kepada raja.

BACA JUGA : Desa Barikin dan Lakon Wayang Banjar, Warisan dari Kerajaan Negara Dipa

Dalam menjaga timbulnya bulan, tetuha kampung dibantu oleh warga masyarakat yang ada di kampung. Mereka duduk di pelataran surau atau mesjid atau di tempat-temput terbuka lainnya yang memungkinkan dapat melihat bulan apabila sewaktu-waktu muncul.

Dalam Litera, volume 12, Nomor 2, edisi Oktober 2013 dipaparkan hingga sekarang, tradisi melihat bulan tetap saja dilakukan di kampung-kampung. Bahkan, salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu Nahdhatul Ulama (NU) konsisten menggunakan rukyat (melihat bulan) untuk menentukan awal dan akhir puasa Ramadhan.

Selain masalah Ramadhan yang dibahas dalam UUSA, perkara agama dan peribadatan juga diatur dalam perkara 1, 2, 3, 20. Perkara 1 berisi perintah kepada semua rakyat agar beriktikad (berkeyakinan) ahlusunah waljamaah. Hal ini sangat penting karena pada masa pemerintahan Sultan Adam berkembang aliran yang oleh ulama kerajaan disebut iktikad ahlal albidaah.

Iktikad ini menurut pendapat beberapa versi, dianggap sesat karena kata bidaah adalah perbuatan ibadah yang tidak mengacu pada Alquran dan Alhadits Rasulullah saw. Ahlusunnah waljamaah berarti pengikut ajaran Islam yang melaksanakan ibadah hanya berdasarkan Alquran dan hadits Rasulullah SAW.

BACA JUGA : Di Era Sultan Suriansyah, Kerajaan Banjar Mulai Terapkan Hukum Islam

Iktikad ahlusunnah waljamaah adalah “harga mati” karena hanya iktikad inilah yang dianggap benar dalam agama Islam di Kerajaan Banjar. Walaupun demikian, para pengikut aliran yang disebut ahlal albidaah tetap berupaya merebut simpati rakyat dan menyebarkan ajaran-ajarannya.

Kemudian perkara 2, berisi empat perintah raja, yakni: (1) perintah kepada tetuha kampung untuk membuat surau, (2) perintah kepada semua rakyat agar membawa anak-anaknya untuk sembahyang lima waktu berjamaah, (3) perintah kepada semua rakyat membawa anak-anaknya sembahyang Jumat, dan (4) perintah kepada semua rakyat agar melaporkan kepada raja apabila ada orang atau kelompok orang yang enggan sembahyang berjamaah dan atau sembahyang (shalat) Jumat.(jejakrekam)

Penulis adalah Penasihat Komunitas Historia Indonesia Chapter Kalsel

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan

Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.