Geser Aceh dan Palembang, Abad ke-18 Martapura Menjelma Jadi Kota Peradaban Islam Melayu

0

KAREL Steenbrink, peneliti pendidikan Islam berkebangsaan Belanda asal Universitas Katolik Nijmegen berucap pada abad ke-18, Kota Martapura, Kalimantan Selatan telah menjadi pusat peradaban Islam Melayu, menggeser Aceh dan Palembang.

DALAM bukunya yang terkenal hasil disertasinya berjudul Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) hingga Pesantren, Madrasah, Sekolah; Pendidikan Islam Indonesia dalam Kurun Modern (LP3ES, 1986, Dr Karel Steenbrink menguraikan hasil risetnya.

Dosen IAIN (UIN) Jakarta dan Yogyakarta pada 1981-1988 ini menguraikan pendapatnya, seiring kedatangan dan kuatnya peran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary di Kesultanan Banjar. Ulama paling berpengaruh di Tanah Banjar ini merupakan salah satu jaringan ulama Islam Nusantara di Haramain (Makkah dan Madinah).

Hipotesis Karel Steenbrink ini juga diakuri akademisi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin Humaidy Ibnu Sami. Menurut dia, lembaga pendidikan Islam baik non formal maupun semi formal, termasuk pengajian takhassus di beberapa perkampungan di Martapura, tumbuh berkecambah.

BACA : Berawal dari Dalam Pagar, Lahir Pondok Pesantren di Tanah Banjar

Peneliti senior Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini menyebutkan beberapa kampung yang jadi pusat pembelajaran Islam di Martapura. Di antaranya Kampung Melayu, Kampung Tunggulirang, Kampung Kraton, Kampung Pasayangan, Kampung Kauman, Kampung Astambul, Kampung Dalam Pagar dan lain-lain.

“Bahkan, dari Kota Martapura ini bermunculan dan menyebar pula kitab-kitab karya ulama Nusantara. Apakah berasal dari Aceh, Pattani, Palembang, Kelantan, Betawi, Banten, Sumbawa, Makassar, Sambas, dan tentu saja ulama Banjar sendiri,” urai Humaidy kepada jejakrekam.com, Jumat (17/4/2020).

Khazanah keislaman pun makin terpancar dari Kota Martapura yang berjuluk Kota Serambi Makkah di era Kesultanan Banjar, seperti karya sastra cerita panji, syair, pantun, tutur dan hikayat.

“Tentu saja, matahari Islam dari Tanah Banjar yang menerangi bumi Nusantara dan Asia Tenggara adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary,” kata Humaidy.

BACA JUGA : Manuskrip Kebudayaan Banjar Dibedah di Brunei Darussalam

Magister sejarah pendidikan Islam UIN Kalijaga Yogyakarta ini menegaskan di era Syekh Muhammad Arsyad menjadikan Martapura, umumnya Tanah Banjar melahirkan generasi emas para ulama dan cendikiawan muslim.

Lahirnya banyak kitab yang dikarang atau disusun ulama besar Tanah Banjar ditegaskan Humaidy, harusnya bisa memicu para penerusnya di abad ke-21. Apalagi, magnet itu makin menguat ketika digelar peringatan haul akbar ulama besar di era modern, Syekh Muhammad Zaini Abdul Ghani (Guru Sekumpul) yang dihadiri jutaan orang dari berbagai pelosok.

Hal ini diakui Humaidy, tak terlepas dari peran ulama yang masih garis keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary, hingga hadirnya pondok pesantren besar seperti Darussalam Martapura hingga Dalam Pagar, menyebar ke seantero negeri sebagai tokoh pendidik Islam.

BACA JUGA : Gelar Al Banjary dan Budaya Lokal dalam Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad

Humaidy menyebut situs-situs sejarah kebesaran Kesultanan Banjar juga masih bisa dilacak guna membuktikan Kota Martapura merupakan kota paling bersejarah, khususnya dalam dunia Islam.

Menurut dia, kota-kota lama bekas ibukota Kesultanan Banjar seperti Pingaran, Karang Intan, Teluk Selong, Keraton dan Keliling Benteng, serta situs lembaga pendidikan Islam di Dalam Pagar, dan dua masjid tertua, Masjid Al Karomah dan Tuhfatur Raghibin Dalam Pagar menjadi bukti.

“Inilah mengapa penting sekali mengangkat kembali ruh Kota Martapura sebagai kota perabadan dan studi Islam yang terkenal seantero Nusantara. Tak hanya terkenal dengan permata intan berlian saja,” imbuhnya.

BACA JUGA : Jejak Syekh Muhammad Arsyad di Tanah Betawi

Humaidy juga mengutip karya Prof Alfani Daud, guru besar IAIN Antasari soal kajian Islam Banjar justru lebih berbasis pada hasil riset di Dalam Pagar, Paramasan dan sekitarnya.

“Kota Martapura juga merupakan satu-satunya bangsa rumpun Melayu yang masih mempertahankan dan melestarikan aksara Arab Melayu di Kalsel. Sedangkan, rumpun Melayu seperti Aceh, Palembabg, Riau dan lainnya sekarang ada kurang pemertahanan aksara Arab Melayu dalam memproduksi ilmu pengetahuan,” paparnya.

Humaidy pun menyebut saat ini generasi ulama sekarang di Martapura, seperti Tuan Guru H Syukeri Unus dan Tuan Guru H Munawwar tergolong produktif menulis kitab dan risalah yang menggunakan aksara Arab Melayu.

“Seperti dikatakan Martin van van Bruinessen, karya klasik dan sekarang yang masih menggunakan tulisan Arab Melayu tergolong dalam kitab kuning,” pungkasnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:aceh dan martapura kota kembar,Martapura 1942
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.