Rumah Adat Banjar yang Kini Berada di Persimpangan Jalan

0

IDENTITAS etnis sangat erat dengan bahasa dan budayanya. Etnis Banjar yang merupakan penduduk mayoritas di Kalimantan Selatan memiliki identitasnya lewat karya rumah atau huniannya yang kaya dengan simbol arkeologi sarat makna.

PADA setiap bentuk bangunan, ruang dan ornamen, ada cerita penuh filosofis yang dapat digali. Bahkan para pegiat kajian simbol, menemukan relasi yang sangat kuat dengan sistem kehidupan yang sedang berlangsung.

Buku berjudul Menggamit Rumah Adat Banjar yang ditulis para peneliti arkeologi, yakni Wasita, Bambang Sugiyanto dan Nasrullah ini dibedah dalam Palindangan Noorhalis, yang diasuh Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel di RRI Pro 1, Banjarmasin, Kamis (12/3/2020).

Menggamit atau manggamit sendiri berarti menyentuh dengan jari dengan maksud memberi isyarat. Seperti mencolek atau mencowel. Maka judul buku ini maksudkan ingin mencolek rumah adat Banjar agar menjadi perhatian bersama. 

Ditulis oleh para peneliti arkeologi. Karena itu, sudut pandang  dominan dari buku ini sudut padang arkeologi. “Semula hanya kumpulan tulisan, tapi kemudian dirasa tidak cukup, akhirnya dilakukan penelitian untuk memperkuat substansi dari buku ini,” kata Nasrullah, dosen FKIP ULM dan peneliti antropologi.

BACA : Museum Wasaka, Rumah Banjar yang Didesain Arsitek Singapura

Nasrullah mengungkapkan semula dirinya melakukan penelitian dan membuat tulisan tentang rumah batu dan rumah ulin. Ia berujar tulisan tersebut lama tersimpan, tidak diterbitkan, akhirnya baru dilanjutkan kembali setelah penulisan buku ini.

“Tulisan dalam buku ini seperti melakukan reproduksi simbolik dari rumah adat Banjar. Makna simboliknya sudah hampir hilang, karena itu harus direproduksi. Karena sekarang ini rumah adat tradisional Banjar sudah bergeser menjadi rumah Banjar,” papar Nasrullah.

Ia menambahkan tulisan-tulisan dalam buku ini mengalami koreksi berkali-kali, agar hasilnya lebih bagus. Karena para penulis arkeologi tersebut, ingin menjadikan buku yang dapat berbicara dari sisi arkeologi menyangkut rumah adat Banjar.

“Walaupun saya menyadari, belum banyak yang bisa diberikan dalam buku ini. Karena pasti masih sangat banyak yang belum mampu digali dari makna filosofis rumah adat banjar. Akan tetapi, buku ini menjadi istimewa karena tidak banyak tulisan mengenai rumah adat Banjar dalam bentuk buku. Yang banyak tersebar itu tulisan dalam bentuk jurnal,” papar sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

BACA JUGA : Cina Banjar dan Sepenggal Kisah dari Rumah Lanting

Menurut Nasrullah, dalam buku itu, dikupas jenis rumah adat banjar. Setidaknya ada 11 jenis, digabung dalam 4 kelompok besar, yaitu rumah bangsawan atau pejabat, rumah ulama dan saudagar, rumah rakyat biasa, dan rumah non Banjar.

“Dari bentuk-bentuk rumah tersebut, tergambar bahwa kebudayaan Banjar menerima  dan terbuka dengan pembauran kebudayaan lainnya. Misalnya menerima pembauran dengan konsep Joglo, dengan rumah Cina, dan konsep lainnya,” ungkap Nasrullah.

Menurut dia, pada pola yang ditemukan adalah model cacak burung, model garis lurus dan model horisontal atau bahalang. Sementara yang menyerap konsep Joglo, bentuknya kotak.

“Yang paling banyak memang cacak burung, seperti tanda tambah. Begitu juga yang paling banyak mendapatkan citra visual adalah model cacak burung dengan bentuk bubungan tinggi. Baik menyangkut bangunan pemerintahan seperti perkantoran dan lain sebagainya. Juga dalam bentuk lambang-lambang instansi. Mungkin karena lebih nyaman dilihat dan khas bagi kebudayaan Banjar,” urai Nasrullah.

Pria yang juga lulusan IAIN (UIN) Antasari Banjarmasin ini mengungkapkan dalam membuat rumah adat Banjar dengan bentuk bubungan tinggi memang mahal, harus besar, memerlukan lahan cukup luas. Karena mahal itulah, rumah ini hanya dibangun oleh para bangsawan.

“Simbol cacak burung, maknanya keseimbangan. Simbol ini menjadi identitas sosial, sekaligus menggambarkan struktur sosial. Dari sisi konstruksi bangunan, ketika seimbang maka akan lebih kuat, apalagi dibangun di lahan rawa atau gambut, memerlukan keseimbangan fisik agar fondasinya bisa saling menopang,” papar Nasrullah.

BACA JUGA : Rumah Berornamen Banjar Sarat Nilai Luhur, Sayang Kini Kian Tersingkir

Dari sisi religi, beber Nasrullah, cacak burung ini juga keseimbangan antara vertikal, hubungan dengan Tuhan, dan horizontal, hubungan dengan sesama. 

“Banjar dengan tradisi dagang yang sangat kuat, memerlukan keterbukaan secara horizontal, agar mudah diterima semua kalangan,” ucapnya.

Nasrullah menegaskan c acak burung bukan hanya pada bangunan rumah,  juga ada pada pengobatan untuk anak yang kapidaraan, panas demam, serta untuk memasak. “Ketika memasak, pada tutup panci diberi cacak burung, jadi ini simbol yang sangat umum bagi masyarakat Banjar,” ucapnya.

Masih menurut Nasrullah, cacak burung juga berarti sangat terbuka. Terutama bila kita melihat pembagian ruangan pada rumah adat Banjar, ada panampik basar, palidangan, dan lain-lain yang menggambarkan keterbukaan pada orang luar, dan tentu secara umum pada kebudayaan luar.

Uraian Nasrullah mendapat respon dari para pendengar setia Palidangan Noorhalis. Azhar dari Banjarmasin, mengungkapkan waktu kecil dan remaja, lama menempati rumah adat Banjar milik kakeknya.

“Rumah banjar itu bentuknya lurus, lalu di ujung ada belokan ke kiri dan ke kanan. Ada anjungan untuk anak-anak. Rumahnya tentu saja sangat besar. Kalau sekarang ini mungkin sangat sulit membangun rumah seperti itu, karena bahannya sangat tidak mudah dicari,” ucapnya.

BACA LAGI : Sarat Makna Filosofis, Sayang Rumah Arsitektur Banjar Makin Terkikis

Begitupula, dr Dhea di Tapin, bertanya dimana mendapatkan buku menggamit rumah adat Banjar. Dia mengaku tidak terlalu paham soal rumah adat Banjar, karena bukan orang Banjar. Orang Yogya yang ditugaskan di Tapin.

Saddam di Banjarmasin, menanyakan soal makna dari bentuk-bentuk rumah adat banjar. Apakah ada pengetahuan masyarakat di balik bentuk-bentuk rumah tersebut.

Rizali di Kandangan, mengatakan menduga, simbol cacak burung adalah adopsi dari tanda tangan Umar Bin Khatab. Ketika Gubernur Mesir Amru bis Ash dilaporkan kepada Umar bin Khattab karena berlaku tidak adil, Umar mengambil tulang onta dan menggoreskannya berbentuk cacak burung.

“Tulang yang sudah digores dan mungkin itu bentuk tanda tangan atau simbol, diantar kepada Gubernur Mesir, membuat sang gubernur menangsi ketakutan. Lurus berarti jujur, dan tanda horisontal berarti hukuman, kalau tidak jujur maka akan dipotong lehernya.

Ratu di Banjarmasin, juga menyampaikan tanggapannya, mengatakan bahwa rumah Banjar tempo dulu dengan bubungan tinggi, membuat rumah tersebut sangat awet, bertahan lama. Rumah tersebut begitu indah. Hanya disayangkan, beberapa rumah tempo dulu tersebut terbengkalai karena soal waris dan tidak punya kemampuan merawatnya.

Nasrullah pun memberikan tanggapan dan jawaban. Menurut dia, bahan utama rumah adat banjar tentu saja kayu ulin. Namun sekarang ulin sangat mahal. sulit mendapatkannya. Memang kalau dilihat dari bentuk cacak burung tadi, selain ada anjung kiri dan kanan, juga ada sentral di bagian tengah sebagai tempat berkumpul bagi keluarga.

“Menggambarkan sistem kekerabatan yang sangat kuat. Pada rumah yang besar ini biasanya dihuni oleh beberapa generasi, bahkan hingga empat generasi, begitu kuatnya ikatan keluarga.   Jauh sebelum rumah susun diperkenalkan, rumah adat banjar, termasuk rumah adat lainnya seperti tumah betang, menggambarkan kehidupan komunal, bukan individual,” beber Nasrullah.

Ia menjelaskan kalau dilihat dari pembagian ruangan, sejak ambin sampai ruangan di dalam rumah, jelas  sekali menggambarkan keterbukaan.

“Begitu juga dengan tangga untuk masuk ke dalam rumah, ada tangga depan dan samping. Bagi keluarga dekat, biasanya menggunakan tangga samping, sedangkan untuk tamu menggunakan tangga depan,” tuturnya.

BACA LAGI : Bahasa Banjar Zaman Dulu dan Rumah Lanting Diusulkan ke Kemendikbud

Bagaimana pelestariannya? Nasrullah menegaskan memang harus ada anggaran dan kemauan yang sangat kuat untuk melestarikan rumah adat Banjar, karena memerlukan dana yang tidak sedikit. Termasuk bila ingin membangun kota tua.

“Hal ini sangat penting karena merawat masa lalu, bagian dari merawat pengetahuan dan tradisi yang sangat mahal dan tinggi nilainya. Saya kira masih sangat dimungkinkan, karena di Marabahan, Martapura dan Banjarmasin sendiri, masih banyak rumah adat Banjar,” imbuhnya.

Ia mengakui sekarang ini tak terhindarkan, rumah adat Banjar bertransformasi menjadi rumah Banjar saja. Secara visual bentuknya rumah adat Banjar, namun bahannya sudah dari benton dan fungsi ruangan yang sebelumnya sarat dengan simbol, sekarang ini hanya menjadi tampilan estetika, tidak lagi bermakna filosofis dengan segala fungsi sosialnya.

“Setidaknya, yang bisa dilakukan hanya merawat ingatan mengenai rumah Banjar, dengan cara menjadikannya logo lembaga atau kantor pemerintah, dibuatkan miniaturnya, miniaturnya semakin kecil hingga berbentuk gantungan kunci,” papar Nasrullah.

Menurut dia, melestarikan sebagaimana bentuk, fungsi dan simbol dengan segala pemaknaannya, sudah sangat berat. “Perlu kerja keras para praktisi dan konseptor untuk mengembalikan rumah adat Banjar sebagaimana makna filosofisnya,” tandasnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2020/03/12/rumah-adat-banjar-yang-kini-berada-di-persimpangan-jalan/
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.